Duuh kok pelit komen dan gift ya pembacanya
Apa kurang greget ya tulisannya
Jangan lupa komen dan giftnya ya
⭐⭐⭐⭐
Happy Reading ❤
Pagi itu Banyu sengaja tidak berjualan karena kebetulan Mila, dosen pembimbingnya meminta bertemu jam 8 pagi.
"Mas, nggak jualan?" Tanya Nabila yang pagi itu sudah terlihat segar. Jam dinding menunjukkan pukul 5 pagi.
"Nggak, dek." jawab Banyu singkat sambil menyeruput teh manis hangat yang tersedia di meja makan.
"Mas... hmm... boleh adek nanya?"
"Tentang apa?"
"Tentang kak Gladys.... Apa benar kak Gladys hamil?" tanya Nabila hati-hati. Banyu hanya tersenyum dan tak menjawab pertanyaan sang adik. "Mas, kok nggak dijawab?"
"Memangnya dia bilang kalau dia hamil?" Banyu balik bertanya.
"Itu ibu bilang ada bayi dalam perut kak Gladys." Sekali lagi Banyu hanya tersenyum. "Mas, kalau ada bayi dalam perut kak Gladys, itu artinya kalian sudah melakukan 'itu'."
"Itu apa sih, dek. Mas Banyu malah nggak ngerti." Goda Banyu sambil berusaha memasang wajah serius. Padahal sebenarnya ia ingin tertawa.
"Aah.. mas Banyu pura-pura nggak ngerti nih. Mas, walaupun kalian sudah sama-sama dewasa bukan berarti kalian boleh melakukannya. Kalian itu kan belum menikah. Itu jadinya zina, mas. Kata ustadzah Fatimah, zina itu dosa besar lho."
"Duuh, pintarnya adik mas Banyu," Banyu mencubit kedua pipi Nabila dengan gemas.
"Nyu, ibu mau bicara," Aminah yang baru keluar dari kamar langsung menghampiri mereka dengan wajah serius. Tak ada senyum hangat seperti biasanya. Wajahnya tampak khawatir.
"Ibu mau membahas masalah malam itu?" tanya Banyu. "Nggak ada yang perlu dikhawatirkan kok bu."
"Mas, nggak mungkinlah ibu nggak khawatir. Mas kan sudah menghamili kak Gladys," timpal Aidan yang baru keluar dari kamarnya. Ia juga sudah rapi. "Mas, kami bukan anak kecil lagi. Aku dan Bila tahu apa yang terjadi."
"Nyu, kamu jangan lari dari tanggung jawabmu. Jangan lagi menambah dosa dengan tidak mau bertanggung jawab dan menyakiti hati gadis itu."
Banyu menarik nafas panjang sebelum menjawab, "Ibu dan adik-adikku tersayang, nggak ada yang perlu dipertanggungjawabkan. Everything will be alright."
"Bagaimana bisa? Kamu nggak menyuruh dia menggugurkan kandungannya kan?" tanya Aminah terkejut. "Ya Allah Nyu.. apa dosa ibu sampai kamu tega melakukan hal itu. Ya Allah maafkan kami."
"Ibu jangan histeris gitu dong." Banyu berusaha menenangkan Aminah yang tampak terguncang.
"Bagaimana ibu nggak histeris kalau kalian mau mengaborsi bayi itu. Itu dosa besar lho, Nyu. Kalian melakukan hal itu saja sudah dosa besar. Sekarang kamu mau membunuh bayi tak berdosa itu." Aminah mulai sesenggukan. Banyu segera memeluk ibunya.
Tiba-tiba.....
"Assalaamu'alaykum.. "
"Wa'alaykumussalaam," jawab semuanya serempak. Mereka semua menoleh ke arah pintu depan yang memang tidak tertutup. Tampaklah seorang gadis cantik berdiri di depan pintu.
"Kamu... ngapain pagi-pagi kamu kesini?" tanya Banyu heran seraya melepaskan pelukannya.
"Nyu, kok gitu nanyanya? Sini masuk nak. Ayo, nggak usah malu-malu." Aminah bangkit menyambut Gladys lalu mengajaknya duduk di kursi sederhana di ruang tamu. "Dek, tolong buatan teh manis hangat buat kak Gladys."
"Kak Gladys sama siapa pagi-pagi kesini?" tanya Aidan. "Jam berapa kakak dari rumah? Ada yang penting kak?"
"Huush kamu tuh kepo banget deh. Biarkan kak Gladys duduk dan minum dulu."
"Silahkan kak," Nabila membawakan teh manis hangat dan beberapa potong lontong. "Mumpung masih hangat, dicobain kak. Ini ibu sendiri yang buat."
"Terima kasih." Gladys meneguk teh hangat tersebut. Banyu hanya memperhatikan sambil berdiam diri. Gladys datang ke rumahnya, subuh-subuh begini, sendirian. Ada apa ini? Apakah mau melanjutkan drama yang waktu itu?
"Maaf saya pagi-pagi kesini nggak kasih tahu mas Banyu. Saya cuma mau menjelaskan masalah yang waktu itu. Tolong ibu jangan berprasangka buruk terhadap mas Banyu."
"Nggak ada yang perlu dijelaskan lagi, nak. Maaf kalau sampai hari ini kami belum bertandang ke rumah orang tuamu. Ibu masih berusaha mencerna semua permasalahan ini. Terus terang saja ibu sangat kaget menerima berita ini. Ibu mau minta tolong sama kamu, tolong jangan bunuh bayi itu. Kalau kamu nggak mau memeliharanya, biar ibu yang memelihara bayi tak berdosa itu. Jangan tambah lagi dosa kalian dengan membunuh bayi itu."
"Ibu, siapa sih yang mau membunuh bayi?" tanya Banyu dengan nada tak sabar.
"Jadi kamu mau mempertahankan bayi kalian? Alhamdulillah. Kalau kalian belum siap, biar ibu yang akan mengurusnya. Ayo nanti malam kita ke rumah orang tua Gladys untuk melamar." Aminah tampak bahagia saat mendengar ucapan Banyu.
"Beberapa hari ini saya nggak bisa tidur memikirkan semua ini. Di satu sisi saya ingin mas Banyu menjadi suami saya, tapi di sisi lain saya nggak mau memulainya seperti ini."
"Nak, walaupun kalian memulainya dengan suatu kesalahan, tidak ada salahnya memperbaiki keadaan itu dengan mengambil jalan yang baik. Nyu, ibu minta tolong. Terima Gladys menjadi calon istrimu."
"Ibu, tolong dengarkan penjelasan Banyu. Disini tidak ada yang hamil. Tidak ada bayi di dalam perut dia." Ucap Banyu sambil menunjuk Gladys yang hanya bisa tertunduk. "Ibu saja yang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Malah sekarang ibu pake acara nyebut-nyebut aborsi. Ya Allah bu, kalaupun memang dia hamil nggak akan mungkin Banyu menyuruh dia menggugurkan kandungannya. Banyu pasti akan bertanggung jawab."
"Maksud kamu?" Aminah, Aidan dan Nabila terlihat bingung. Banyu menatap Gladys yang dari tadi hanya diam saja.
Gladys mengambil nafas panjang sebelum mulai bicara. "Ibu, Gladys mohon maaf kalau sudah menimbulkan kehebohan di rumah ini. Benar apa kata mas Banyu. Tidak ada bayi di dalam perut saya."
"Kamu keguguran?"
"Ibu.. please jangan ambil kesimpulan sendiri. Dengarkan penjelasan Gladys sampai selesai."
"Tidak ada yang keguguran, Bu. Bahkan saya pun tidak hamil. Saya mengatakan ini bukan untuk menutupi aib ataupun melindungi mas Banyu."
"Ini beneran mas?" tanya Aidan dan Nabila kompak. Sementara itu Aminah terlihat lega walaupun masih bingung.
"Iya. Gladys tidak hamil."
"Apakah testpacknya salah?" tanya Nabila penasaran.
"Walaupun kak Gladys tidak hamil, apa yang kalian lakukan tetap nggak dibenarkan oleh agama. Kalian belum menikah, tapi sudah melakukan hubungan suami istri." Ucap Aidan dengan nada kecewa. "Aidan kecewa sama mas Banyu."
"Astaghfirullah, prasangka apalagi ini? Kata siapa kami pernah melakukan hal itu?" tukas Banyu mulai kesal. "Dys, kamu jelaskan semuanya kepada mereka supaya nggak ada lagi prasangka buruk terhadap kita."
Semua mata memandang Gladys.
"Seperti yang tadi saya bilang bahwa saya tidak hamil. Mas Banyu bukan pria seperti itu. Kami berdua tidak pernah tidur bersama."
"Jadi....?"
"Ya tidak ada yang hamil. Tidak ada yang melakukan hubungan di luar nikah." jawab Banyu tak sabar.
"Tapi kamu bilang, kalian pernah berciuman."
"Iya. Hanya berciuman. Itupun tanpa direncanakan. Banyu khilaf, Bu." Aidan dan Nabila cekikikan mendengar ucapan sang kakak. "Kalian nggak ke sekolah? Ini sudah jam 6 kurang."
"Aidan, Nabila, kalian berangkat duluan ya. Ibu dan mas Banyu masih harus bicara dengan nak Gladys." Aidan dan Nabila tanpa banyak membantah menuruti perintah Aminah. "Jangan lupa kalian bawa bekal untuk sarapan. Untuk makan siang, biar nanti mas kalian yang antar sekalian dia ke kampus."
Sepeninggal Aidan dan Nabila, suasana terasa canggung. Ketiganya hanya berdiam diri.
"Hmm.. ibu nggak ngajar?" tanya Banyu memecah keheningan. "Nanti ibu terlambat."
"Ibu mau ngomong sama kalian berdua." sahut Aminah. "Tolong kalian jelaskan sekali lagi."
"Ibu, sekali lagi Gladys minta maaf. Seperti yang tadi sudah dijelaskan. Kami nggak pernah melakukan hal di luar batas. Kami hanya pernah berciuman sekali. Itu pun hanya sebentar."
"Iya bu, soalnya habis itu pipi Banyu dapat kenang-kenangan dari dia."
"Maksud kamu?"
"Aku ditampar, Bu." Aminah terkejut mendengar ucapan Banyu, namun tak lama kemudian Aminah tertawa. "Ibu kok malah ngetawain Banyu?"
"Kamu pasti langsung nyosor begitu saja ya. Nggak pakai ijin dulu."
"Hmm.. itu salah Gladys bu, makanya mas Banyu langsung nyium saya tanpa ijin. Soalnya saya ngomong sesuatu yang bikin mas Banyu tersinggung?" bela Gladys.
"Ya nggak gitu juga cara membuat seseorang berhenti bicara, Nyu." Aminah kembali tertawa. "Sekarang coba kalian jelaskan sama ibu kenapa tiba-tiba anak ibu yang ganteng ini dilamar gadis secantik kamu."
"Karena mas Banyu sudah mencuri ciuman pertama saya, Bu." Jawab Gladys pelan. Aminah kembali tergelak mendengar jawaban Gladys.
"Hanya karena itu?" Gladys mengangguk. "Tidak ada alasan lain?"
"Untuk saat ini tidak ada bu."
"Astagaa.. ibu nggak tau harus ngomong apa. Alasan kamu meminta Banyu untuk menjadi suamimu agak absurd ya."
"Jadi ibu nggak setuju aku menjadi istri mas Banyu?"
"Nak Gladys, bukannya ibu nggak setuju. Tapi semua itu tergantung pada Banyu. Dia yang akan menjalani perannya sebagai suamimu." Aminah pindah ke samping Gladys dan mengelus rambut panjang gadis itu. "Mungkin sebaiknya kamu berpikir ulang mengenai 'lamaranmu' itu. Apakah orang tuamu tau mengenai hal ini?"
"Dia meminta Banyu menjadi calon suami karena dia nggak mau dijodohkan dengan pria pilihan maminya." ucap Banyu. "Banyu sudah bilang sama dia kalau nggak mungkin Banyu menjadi suami dia. Dunia kita jauh berbeda."
"Nah, kamu sudah mendengar sendiri bagaimana jawaban Banyu. Lagipula alasan kamu melamar anak ibu tidak kuat. Bila dipaksakan maka pernikahan di antara kalian hanya akan menjadi malapetaka. Kamu sebagai wanita akan dirugikan denga status janda bila nanti kalian berpisah."
"Waktu itu aku sudah bilang kalau aku nggak mungkin menerima kamu, karena di antara kita berdua juga nggak ada perasaan apapun." ucap Banyu.
"Lho, bukannya kalian pacaran?" tanya Aminah heran. Keduanya saling berpandangan mendengar pertanyaan Aminah. Kompak keduanya menggeleng. "Astagaaaa... lalu bagaimana bisa Banyu mencium kamu yang bukan pacarnya. Pantas saja kamu ditampar oleh Gladys."
Banyu hanya nyengir mendengar komentar Aminah. "Bu, aku masuk dulu ya. Mau siap-siap ke kampus. Kebetulan Mila hanya ada waktu jam 8 sampai jam 10."
Sepeninggal Banyu, Aminah mengajak Gladys ke ruang makan.
"Ayo kita sarapan dulu. Ibu yakin kamu pasti belum sarapan. Tapi maaf sarapan di rumah kami hanya makanan sederhana seperti ini." Gladys melihat menu nasi goreng dengan telor mata sapi serta teh manis hangat. Menu yang sederhana.
"Apakah kamu mencintai Banyu?" Tanya Aminah. Gladys terdiam mendapat pertanyaan seperti itu dari Aminah. "Apakah hanya karena alasan-alasan tadi kamu memilih Banyu?"
"Saat ini saya sendiri belum yakin dengan apa yang saya rasakan bu. Kami belum lama bertemu dan pertemuan-pertemuan kami terjadi bukan dalam situasi yang nyaman. Kalau boleh terus terang, kami selalu bertengkar saat bertemu." Aminah tersenyum mendengar jawaban Gladys. "Tapi entah mengapa saat situasi mengharuskan saya untuk segera mencari calon suami, hanya anak ibu yang terlintas dalam pikiran Gladys."
"Nak Gladys sudah lihat bagaimana kondisi keluarga kami. Apakah kamu tahu apa pekerjaan anak ibu?" Gladys mengangguk. "Kamu nggak keberatan dengan hal tersebut?"
"Boleh Gladys jujur? Pekerjaan mas Banyu memang bukan pekerjaan yang saya inginkan dari seorang suami. Tapi buat saya itu nggak jadi masalah, karena saya toh juga bekerja menjalankan butik dan cafe."
"'Tapi nak Gladys, kamu akan direndahkan oleh lingkungan sosialmu kalau memaksakan menikah dengan Banyu. Orang tua kamu pasti nggak akan pernah menyetujui pilihanmu. Dunia kalian amat sangat berbeda." Gladys kembali terdiam.
"Saya sadar akan hal tersebut."
"Lalu kenapa tetap meminta Banyu untuk menjadi suamimu. Apalagi gaya hidup kalian sangat berbeda. Kalau kamu menikah dengan Banyu, maka hidup kamu nggak akan senyaman sekarang. Apakah kamu siap?"
"Bu, Banyu berangkat ya." Pamit Banyu yang saat itu sudah terlihat rapi. "Nggak enak sama Mila kalau sampai terlambat."
"Nak Gladys, tolong pikirkan lagi percakapan kita tadi. Bukan ibu melarang, tapi banyak hal yang harus kamu pertimbangkan mengenai keputusan besar ini. Mohon maaf, ibu juga harus berangkat mengajar. Nyu, sini kamu sarapan dulu, sementara ibu bersiap-siap. Oh ya, jangan lupa bekal adik-adikmu dibawa dan antarkan ke sekolah mereka."
Gladys masih duduk terdiam di ruang makan saat Aminah sibuk mempersiapkan bekal. Banyu menghampiri dan duduk di sebelah Gladys.
"Bisa tolong ambilkan sarapan untukku?" bisik Banyu. Gladys terjengit kaget mendengar bisikan Banyu. Ditatapnya Banyu dengan heran.
"Kenapa nggak ambil sendiri?"
"Katanya mau jadi calon istri. Kalau mau jadi calon istri harus bisa melayani suami. Salah satunya menyiapkan sarapan. Termasuk memasak." Tanpa banyak kata Gladys mengambilkan nasi goreng dan telor mata sapi lalu meletakkannya di hadapan Banyu.
"Terima kasih. Kamu sudah makan?" tanya Banyu lagi. "Suka nasi goreng kan? Kamu harus mencoba nasi goreng buatan ibu supaya nanti kamu bisa membuatkannya untukku, CALON SUAMIMU."
Gladys masih terdiam mendengar ucapan Banyu. Calon suami, memasak, melayani suami. Ah, apa aku sudah siap? Memasak? Itu tugas mbok Siti dan mbok Parmi. Mana aku bisa, Gladys sibuk berperang dengan pikirannya.
"Buka mulut. Sini aku suapi." Gladys kembali terkejut saat Banyu menyodorkan sendok berisi nasi goreng ke depan mulutnya. "Aku nggak mau punya calon istri yang kurus kering."
"Langsing, bukan kurus. Kamu sendiri yang bilang kalau aku berat." omel Gladys sambil menerima makanan yang disuapi oleh Banyu.
"Kamu itu baperan banget ya. Masa diledek kayak gitu aja bikin kamu nggak mau makan. Kamu itu kurus dan kecil. Imut. Tinggi kamu dan Nabila yang anak SMP nggak jauh beda. Nanti disangkain aku nikah sama anak kecil. Nanti aku dibilang pedofil."
"Memang kamu mau menikah sama aku?"
"Hmm... " Hanya itu jawaban Banyu.
Dari depan kamar Aminah memperhatikan interaksi antara keduanya. Hatinya cemas namun disaat bersamaan juga merasa senang kalau akhirnya Banyu mau melupakan kisah lamanya dan menikah.