Elanda melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Sudah lewat dua puluh menit ia menunggu di dalam mobil, untuk memberi jeda waktu antara kedatangannya dan Lita tadi.
Satu jarinya mengetuk-ngetuk di atas dashboard mobil, lalu ia mengambil telepon genggamnya untuk menghubungi seseorang.
"Dirg-"
"Enggak mau, lagi sibuk."
Elanda mendesah berat, ia bahkan belum selesai berbicara tapi Dirga sudah menolaknya.
"Minum, di Bali Cuisine." ajak Elanda
"Enggak bisa, lagi sibuk pacaran." jawab Dirga ketus.
"Pacaran sama siapa?"
"Rangking. Udah ya, nanti kalau emang mau, gue dateng. Kalau enggak dateng ya enggak mau berarti."
"Dir, yah ... Dir gue kesepian,-"
"BO aja ya, bye." Dirga mengakhiri panggilan itu.
Dengan malas Elanda melangkah ke arah pintu restoran dua lantai dengan nuansa taman hijau dan banyak lampu sorot itu.
Elanda melangkahkan kakinya ke arah Bar, seraya menengok kanan kiri yang sepi tepat pada saat itu barulah ia melihat seorang wanita dengan gaun yang ia kenal tengah duduk menatap ke arah kaleng bir di hadapannya dengan tatapan kosong.
"Udah beres acaranya?" Elanda menarik kursi di samping wanita itu tanpa menyapa.
"Saya tunggu dari tadi lho Pak. Saya mau traktir Bapak, karena Bapak udah buat saya cantik malam ini." Lita mengarahkan tangannya ke arah deretan botol minuman di rak bar.
"Neng Lita, ini bajunya."
Seorang pria paruh baya menghampiri Lita memberikan sebuah baju putih seperti kemeja karyawan.
"Saya ganti baju dulu bentar Pak, saya titip baju Mas Dirga nanti ke Bapak. Bapak minum dulu aja di sini ya." Pinta Lita diangguki Elanda yang bingung dengan ekspresi wajah Lita. Jika malam ini adalah acara pertunangannya, bukankah seharusnya ia terlihat bahagia?
Elanda melirik dua kaleng bir yang berada di meja tepat di mana tadi Lita duduk di kursinya. Lita tadi mengatakan akan mentraktirnya apakah ia mentraktirnya bir?
"Pelanggan tadi, di sini sama temannya?" Tanya Elanda pada bartender yang sedang menata rak wine.
"Katanya itu buat teman cowoknya, Pak." Sahut si bartender. Elanda mengernyit, apakah yang di maksud temannya itu adalah dirinya?
"Bapak temannya Mbak Lita?" Tanya Bartender itu diangguki Elanda.
"Oh, berarti itu buat Bapak."
Elanda terdiam sejenak. Jadi karyawan itu benar-benar mau mentraktirnya sekaleng bir? Sebenarnya Elanda tidak terlalu menyukai bir, haruskah ia menolaknya? Tapi ia jadi teringat dengan teguran seseorang tentang sifat bersosialisasinya yang buruk. Yah, anggap saja ini latihan menghargai usaha dan niat baik seseorang.
Elanda menyambar bir itu lalu meminumnya setengah sekali tenggak. Rasanya sedikit pahit, itulah yang membuatnya tidak menyukai bir. Ia lebih menyukai wine apalagi jika di fermentasi dengan baik. Terada manis, dan menyegarkan.
"Harga wine mahal, ya?" tanpa sadar Elanda bergumam dan tepat pada saat itu Lita muncul memberikan paper bag berisi gaun Dirga.
"Bapak jangan ngerendahin saya gitu dong. Saya mampu kok beli wine, pilih aja Bapak mau yang mana. Rif, tagihan Bapak ini masukin punya gue, ya." Ujar Lita lalu mengangkat dua bir di atas meja tadi.
"Itu bir saya, kan?" Tanya pak Elanda yang seketika membuat Lita melongo saat menyadari bahwa salah satu kaleng bir itu terasa lebih ringan.
"Bapak minum ini?!" pekik Lita. Sementara Elanda menarik kaleng yang tadi dipegang Lita.
"Kamu mampunya traktir saya ini. Saya tahu nominal gaji kamu, saya enggak akan bikin kamu tekor kok." Elanda kembali menenggak minuman itu santai.
"Duh Pak, kenapa Bapak main minum aja? Rif! Kan gue udah ngomong titip minuman ini bentar, kok lo biarin ada yang minum? Enggak amanat banget sih jadi orang!" bentak Lita pada sang bartender membuat Elanda bingung bercampur kaget.
"Apa yang kamu masukkan di minuman saya?" tanya Elanda menatap Lita tajam.
"Lah gue kira lo mau godain Bapak ini pake itu obat, makannya gue kasihin!" Seru Rifki yang membuat Lita menepuk wajahnya frustrasi. Bagaimana ia harus menjelaskan situasi ini pada pak Elanda? Haruskah ia jujur mengatakan minuman itu racun untuk mantan tunangannya?
"Bapak pernah minum obat kuat?" Tanya Lita ragu campur takut sementara wajah Elanda memerah.
"Apa maksud kamu?" tanya Elanda Sinis."Kamu menghina saya? Kamu pikir saya disfungsi seksual sampai harus minum obat kuat?"
"Bapak ada riwayat penyakit jantung?" Bukannya menjawab pertanyaan sang Bos, Lita malah menanyakan yang lain membuat Elanda kesal.
"Kamu campurin obat kuat di minuman saya?" tebak Elanda curiga. Lita segera membawa tubuhnya di hadapan Elanda untuk menjelaskan keadaan yang sedang terjadi.
"Ini enggak seperti yang Bapak pikirkan. Saya bukan mau buat Bapak turn on kayak yang Rifki bilang, Sumpah demi Tuhan, enggak begitu Pak!" Lita memejamkan matanya memikirkan alasan yang paling tepat.
"Tapi kamu campur obat kuat di minuman saya. Kamu bisa jelasin, itu tujuannya buat apa?" desak Elanda membuat Lita panik.
"Di minuman Bapak memang ada viagranya, tapi i-itu, s-saya berniat meracuni mantan pacar saya, tapi Bapak malah nyelonong aja minum itu. Saya minta maaf Pak! Tapi please jangan laporin saya ke polisi dengan tuduhan pembunuhan berencana Pak!" Lita memilih jujur, merendahkan tubuhnya untuk memohon.
"Kamu mau meracuni saya?" Tanya Elanda.
"Itu bukan racun! Itu Pil Biru Pak! Bapak tahu kan? K-kalau Bapak enggak ada penyakit jantung Bapak aman, tapi p-paling cuma t-turn on...." Lita tercicit dengan rona merah di wajahnya.
"Kalo gitu kamu harus tanggung jawab, nih kamu juga minum." Elanda menyodorkan minumannya.
"Tapi Pak itu pil biru buat cowok." Lita berusaha menolak.
"Bagaimana saya bisa yakin kamu enggak meracuni saya kalau kamu bahkan enggak mau minum juga?" Elanda terus mendesak
"Enggak gitu, Pak!" elak Lita.
"Kalo itu racun saya mati, tapi ditemenin kamu, kalo itu pil biru saya turn on, ditemenin kamu juga, kita turn on bersama. adil kan?" ujar Elanda tak terbantahkan.
"T-turn on bersama? Tapi Pak kalau khilaf-" Lita panik.
"Kalau khilaf, ya sudah." Elanda kembali menenggak minuman campuran viagranya.
"T-tapi Pak, EEHH?!"
"Kamu cekokin saya racun dan minta supaya saya enggak lapor polisi? Kamu gila ya?" Elanda kembali membentak hendak beranjak dari tempat duduknya.
"Udah saya jelasin enggak gitu Pak! Bapak tahu Pil biru kan? Tadi saya udah jelasin, kan?"
"Saya enggak akan panik kalo kamu enggak panik duluan. Kalo memang ini cuma obat kuat kenapa sepanik itu?" Elanda menatap Lita yang menggigit bibir takut.
"Minum Lita!" Elanda menyodorkan bir itu namun Lita terlihat enggan. Elanda semakin yakin bahwa karyawan itu mau meracuninya. Apakah gadis ini dikirim untuk membunuhnya?
Elanda menenggak minuman itu lalu menarik wajah Lita agar mendekat kepadanya sebelum detik selanjutnya ia mempertemukan bibirnya dengan bibir Lita, lalu mencekoki Lita dengan minuman bercampur pil biru tadi dengan mulut dan lidahnya.
"Bapak! Itu pelecehan!" Lita mengusap bibirnya kasar membentak Sang Bos setelah menelan bir itu.
"Kenapa? Kamu mau laporin saya? Saya bisa laporkan kamu dengan dua pasal." Tanya Elanda yang membuat Lita tidak bisa berkutik.
"Sekarang impas. Kalau itu racun kita mati berdua."
"Tapi Pak, kan saya sudah bilang itu pil biru! Bukan racun. Bapak bener-bener enggak percaya sama saya?"
"Kamu tahu ayah saya mengidap jantung, kalau saya bener-bener keracunan seperti rencana kamu bagaimana?"
"Hah? Jadi Bapak benaran ada riwayat jantung? Duh, mampus deh!" gerutu Lita lalu segera menghampiri Sang Bos seraya mendekatkan telinganya pada dada Sang Bos.
"Bapak ngerasa ada peningkatan degup jantung? Deg-degan berlebihan? Sesak? Ada kayak pelebaran pembuluh darah? Panas?" Cerocos Lita seraya sibuk terus menyentuh bagian-bagian tubuh Elanda yang bersangkutan dengan gejala yang disebutkannya, membuat Elanda yang semula tenang malah jadi merasakan gejala-gejala yang disebutkan Lita.
"Kamu harus tanggung jawab, kamu harus menunggui saya semalaman ini." Elanda menarik wajah Lita untuk menatapnya.
"Pak mending kita ke rumah sakit, ya-"
"Boleh. Saya akan menuntut kamu, saya akan mengatakan rencana pembunuhan-"
"Enggak usah ke rumah sakit kalo gitu. Tapi kalau Bapak meninggal jangan hantui saya-" ujar Lita masih dengan kepanikan.
"Lita, berisik!" Elanda tiba-tiba sempoyongan lalu memegangi kepalanya membuat Lita panik.
"Antar saya pulang dulu. Kepala saya berat-"
"Ke rumah sakit aja ya Pak-"
"Kamu dengar apa yang saya perintahkan?" nada Elanda meninggi membuat Lita kikuk campur panik. Ia segera membawa pria itu ke alamat yang ia sebutkan saat memapahnya.
Selama di perjalanan tadi, Lita panik karena seluruh wajah Pak Elanda memerah, pupil nya membesar dan mengecil tak fokus, lenguh napas berat terus terdengar seperti menahan sesuatu.
"Pak rebahan dulu, ya." dengan tertatih Lita berusaha membaringkan sang bos, ia melucuti sepatu, jas, dasi dan tiga kancing teratas kemejanya.
"Duh Pak, kata saya juga kita harusnya ke rumah sakit. Bapak butuh dokt-" Lita tak bisa melanjutkan ucapannya saat Elanda tiba-tiba menarik tangan Lita hingga tubuhnya terdorong ke dada bidang Elanda.
"Enggak perlu, saya enggak butuh." Bisik Elanda di telinga Lita seduksi. Lita bergerak tak nyaman berusaha melepaskan cengkraman Elanda namun Elanda malah tiba-tiba memutar posisi mereka hingga Lita berada di bawah kungkungan sang bos.
"Saya butuhnya kamu."