Halte bis
Seorang pria muda tampak berdiri di sebuah halte bis, sambil menentang tas berisi benda-benda wajibnya.
Sebenarnya, ia bisa saja membawa mobilnya. Namun entah mengapa, ia ingin sekali menaiki bis untuk menuju café setelah berkunjung ke perusahaan keluarganya, yang saat ini dikelola oleh sang kakak dan nantinya akan dipegang olehnya juga.
Getaran pada handphone di saku celana membuatnya tersentak kecil, dibarengi dengan kedatangan sebuah bis yang akhrinya berhenti di depannya.
Ia mengalah dan jadi orang yang terakhir naik ke bis, seraya menerima panggilan dari sang kakak sehingga ia tidak mempedulikan sekitar, fokus dengan sambungan setelah berdiri dengan satu tangan berpegangan.
"Hn, aku sedang di bis, Kak," sahutnya saat kakaknya menanyakan dirinya di mana.
[Kamu bisa ke kantor kembali?]
Dengkusan tidak bisa dicegahnya, saat mendengar perintah seenaknya dari sang kakak. Kenapa saat ia di kantor, kakaknya ini tidak sekalian menyelesaikan masalah dengannya.
"Apakah sangat penting?" baliknya bertanya.
[Tidak juga. Hanya ingin memperlihatkan sesuatu, tadi aku lupa.]
Ia kembali mendengkus mendengarnya, padahal kakaknya tidak tua-tua banget, hanya berbeda delapan tahun darinya. Tapi sepertinya kakaknya ini sudah menderita penyakit pikun, sepertinya ya.
"Kalau begitu tidak janji dan ini salahmu sendiri, kuso aniki (Kakak sialan). Aku sudah sangat telat melihatnya," tukasnya menolak dengan umpatan.
[Melihat siapa?]
Crap!
Ia kelepasan berbicara tentang seseorang yang memang saat ini sedang menjadi tujuannya pergi ke café. Dan sialnya, sang kakak yang memiliki penyakit selain pikun juga suka ikut campur masalahnya.
"Tidak, bukan siapa-siapa. Sudah ya, aku sedang di bis. Aku akan menemuimu di apartemen, bye."
Tut!
Panggilan diputus sepihak olehnya, kembali helaan napas kasar keluar dari hidung mancungnya. Ia mengernyit saat mendengar bisik-bisik penumpang di sekitarnya, yang membicarakan seseorang di belakangnya.
"Wanita itu cantik sekali, seksi dan juga mulus. Lihat punggungnya, aku yakin licin jika dipegang."
"Benar, aku jadi berkenalan dengannya."
Aku terlalu fokus dengan sambungan bersama kakak, batinnya.
Bukan hanya bisikan seperti itu yang membuatnya penasaran, namun juga tatapan para penumpang lainnya yang seakan terpesona. Ia pun iseng ikut menoleh dan ingin tahu secantik apa wanita yang dimaksud para penumpang di depannya saat ini.
Kepalanya menoleh dan seketika netranya membulat sempurna saat melihat wanita—gadis muda yang sebenarnya ingin ditemuinya di café.
Lihat, wajahnya yang menghadap jendela samping membuat si gadis tampak seperti patung porselen, dengan hidung mancung yang terpampang sempurna.
Diam-diam pipinya memerah, saat melihat punggung dan lengan yang saat ini dibicarakan orang-orang.
Pantas lah mereka berbicara seperti itu, karena memang gadis yang dikenalnya itu memang cantik dengan aura Aphrodite yang tidak diragukan lagi.
Telinganya seketika tegak, saat mendengar lagi bisik-bisik semakin kurang ajar dari penumpang lainnya. Hatinya meradang dan rasa tidak suka menguasai hati, hingga kakinya kini bergerak susah payah membelah penumpang yang sengaja mengerumuni si gadis,
"Minggir," desisnya seraya menatap tajam seorang pria yang sama sekali tidak mengalihkan tatapan dari punggung gadis yang jadi tujuannya.
Si pria ini mengalah dengan decihan sinis sebelum menyingkir dari sisi si gadis yang sama sekali terganggu.
Entah apa yang dipikirkan si gadis, tapi yang jelas ia segera membuka jaket yang dipakainya dan menyampirkan di bahu sempit si gadis yang segera menoleh ke arahnya, belum lagi tatapan kaget saat melihatnya.
"Kamu!?"
"Hn," gumam si pria muda ini singkat, kemudian berdiri melindungi si gadis dari sisi lain agar tidak ada yang mendekati lagi.
"Kamu ada di sini?"
Pertanyaan kembali terdengar, ia pun menurunkan pandanganya dan segera melengos saat netranya tidak sengaja melihat aset yang terlihat dari belahan dress si gadis.
Sial, umpatnya.
"Aku baru pulang bekerja," jawabnya tanpa menatap si gadis.
"Ah! Seperti itu…"
Sret!
Kembali ia menoleh ke arah si gadis dan fokusnya bukan pada belahan baju, namun wajah si gadis yang terlihat murung di sampingnya.
"Apa apa, Gretta?" tanyanya bingung.
"Eh!"
Si gadis—Gretta yang namanya dipanggil lirih segera menengadah dan menatap si pria muda ini dengan gelengan kepala, serta tatapan murung yang kentara sebelum kembali menoleh melihat ke pemandangan di luar "Tidak ada."
"Apa kamu mau ke café?" tanyanya memastikan.
"Sepertinya tidak, aku ingin ke tempat yang jauh hari ini," jawab Gretta kembali menggelengkan kepala, menoleh ke atas dan menatap si pria muda ini dengan senyum kecil "Apa kamu mau ke sana?"
Si pria ini tidak langsung menjawabnya, melainkan menatap wajah cantik berpoles make-up natural Gretta yang masih tersenyum kecil, namun netranya sama sekali tidak memancarkan itu.
Akhirnya ia pun menggelengkan kepalanya, mengingat jika Gretta pun tidak ke café hari ini. Jadi, untuk apa ia ada di sana, iya kan?
"Tidak, sepertinya aku juga ingin mengunjungi tempat jauh," jawabnya berbohong lihai.
"Benarkah? Kemana? Aku bahkan belum tahu mau ke mana," tanya Gretta antusias, sebelum akhirnya kembali murung.
"Aku pun belum tahu," jawabnya cepat.
"Loh! Berarti kita sama-sama belum ada tujuan dong?" sahut Gretta bertanya bingung.
"Tidak juga, aku punya tempat biasa aku menyindiri," tukasnya menyangkal.
"Hee! Benarkah? Bagaimana kalau kita ke sana?" ajak Gretta segera, menatap pria pelanggan ini dengan berbinar senang.
Ah! Si pria ini bahkan tidak bisa menahan senyumnya saat mengangguk menjawab ajakan si gadis kesukaanya.
Kesukaan ya, sepertinya memang begitu.
"Baiklah, kalau begitu kita akan berhenti di halte selanjutnya setelah café. Setuju?" jawabnya memastikan.
"Um. Setuju!"
Gretta mengangguk senang, ia kira hari ini akan menjadi hari menyedihkan dalam hidupnya. Namun ternyata tidak juga, saat ia bertemu pria yang meskipun belum diketahui namanya tapi membuatnya merasa aman.
Setelahnya, tidak ada lagi obrolan dari mereka. Keduanya sibuk menoleh ke arah lain dan memikirkan hal yang berbeda. Gretta dengan rasa penasarannya ingin kemana dan si pria yang menoleh ke sekitar seraya menatap tajam, sebelum akhirnya memberhentikan bis yang melaju.
Ckitt!
"Sudah sampai, yuk!" ajaknya kepad Gretta yang mengangguk kecil.
Kemudian, keduanya pun turun dari bis diiringi tatapan kecewa dari para penumpang yang melihatnya.
Brummm!
Bis kembali jalan meninggalkan tempat si pria memberhentikannya, hingga kini menyisakan jalanan ramai dengan kendaraan lalu lalang dan si pria yang menatap Gretta serius.
"Kamu percaya kan, kalau aku akan membawamu ke tempat yang tenang, bukan ke tempat aneh," kata si pria sebelum benar-benar membawa Gretta pergi.
"Umm, jika tidak untuk apa aku mengikutimu," jawab Gretta lugas, mengangguk yakin.
"Kalau begitu, kita akan berjalan jauh ke dalam sana. Lalu setelahnya, aku yakin kamu suka," timpal si pria dan tersenyum kecil, senyum yang membuat Gretta sedikit tersipu.
Dia sangat tampan saat tersenyum.
Bersambung