"Pa, sebaiknya kita ke rumah keluarga Fabian saja sekarang. Kita harus menjelaskan pada mereka tentang apa yang terjadi pada Sherly," kata Lenna saat menduduki sofa ruang tamu.
Harry yang juga sedang duduk di sebelahnya tampak sedang berpikir. Masalah ini cukup menguras pikirannya. Dengan kasar ia membuang napas. "Seandainya Sherly tidak se-impulsif itu, penjelasan kita pasti akan diterima oleh Charles dan Lisa. Aku takut kalau seandainya kita menjelaskan yang sebenarnya, mereka malah tidak akan percaya. Apalagi alasannya hanya karena hasutan orang lain, orang yang tidak dikenal oleh Sherly."
Lenna tampak murung. "Aku kasihan pada Tommy. Dia pasti akan kecewa mendengar kabar ini."
Harry menatap istrinya. "Apa kau sudah menanyakan pada Sherly tentang gadis itu?"
Lenna balas menatapnya. "Dia tidak mengenalnya. Mereka hanya bertemu di Caffe saat makan siang."
Harry mengendus dan mengusapkan wajahnya dengan kasar. "Sherly, Sherly, kenapa kau sebodoh itu?"
"Dari pada kita diam saja, lebih baik kita ke rumah Charles. Kita harus menjelaskan masalah ini pada mereka, sebelum Tommy tahu."
"Ma, cepat atau lambat Tommy pasti akan tahu."
"Mama tahu, tapi setidaknya Sherly bisa mendapatkan pembelaan dari Lisa dan Charles." Ia berdiri sambil menatap Harry yang masih duduk. "Kalau Papa tidak mau pergi, biar Mama yang akan pergi sendiri!"
"Ma, tunggu, Ma! Papa ikut."
Di sisi lain.
Sherly tampak gelisah. Sejak masuk kamar dirinya terus memikirkan Tommy. "Apa sebaiknya aku jujur padanya?" katanya pelan, "Tapi aku takut kalau dia akan marah dan benci padaku." Ingatan Sherly tertuju pada perkataan ibunya saat sebelum keluar kamar. Dengan cepat ia pun bangkit dari ranjang untuk mengambil ponselnya di dalam lemari.
Dengan perasaan khawatir dan tangan gemetar Sherly menekan tombol on-off untuk menghidupkan ponselnya. Karena terlalu gugup, ia kembali ke atas ranjang dan berbaring sambil menatap layar ponsel yang masih berproses itu.
Ting!
Satu notifikasi membuat Sherly semakin gugup. Dengan lincah ia menggerakkan jemarinya untuk membuka isi pesan itu. "Jovita?" katanya dengan alis berkerut. Dilihatnya isi pesan yang membuat hati Sherly semakin khawatir.
"Sherly, ternyata kau calon istrinya Tommy Fabian, ya? Ya ampun, aku baru tahu dari Andin."
Sherly semakin heran. "Andin?" Ia bergerak dan mendudukan diri di atas ranjang. Sambil menyadarkan tubuhnya ke sandaran, ia mulai membalas pesan Jovita. "Andin siapa?" Sherly mengetik pesan singkat itu dan langsung mengirimnya. Sambil menatap layar, ia bertanya-tanya dalam hati, "Apa yang dia maksud adalah Andin anaknya Om Ferry, ya?"
Ting!
Balasan pesan dari Jovita membuat jantung Sherly semakin berdetak. Dibukanya pesan itu yang lagi-lagi membuatnya semakin penasaran. "Andin Azkia, anaknya Om Ferry. Memangnya Tommy tidak menceritakan tentang Andin padamu?"
Sherly membalas pesan itu. "Oh dia. Aku mengenalnya. Orangtua kami saat ini sedang bekerja sama di satu proyek. Tommy juga pernah menceritakan tentang dia. Katanya mereka teman dekat sejak kecil." Setelah membaca lagi pesan itu, Sherly menekan tombol kirim. Ia kembali berpikir. "Apa jangan-jangan Jovita menceritakan masalah ini pada Andin, sampai-sampai Andin bilang kalau dia mengenalku?" Jantung Sherly semakin berdetak. "Tidak! Dia tidak boleh mengatakan masalah ini pada Tommy." Sherly dengan cepat mencari kontak Tommy. "Aku harus lebih dulu menjelaskannya pada Tommy."
Ting!
Balasan pesan dari Andin membuat Sherly penasaran, sehingga ia tak jadi mencari kontak Tommy, malah menekan logo pesan untuk mengintip balasan apa yang dikirimkan Jovita padanya.
"Berarti kau tidak tahu ya kalau mereka pernah pacaran? Andin itu mantannya Tommy. Apa Tommy tidak menceritakannya padamu?"
Pesan itu membuat Sherly terkejut. "Mantan? Pantasan Andin selalu mengejar Tommy. Tapi kenapa Tommy tidak mengatakannya padaku?" Dengan gemetar Sherly menekan huruf-huruf di layar ponselnya untuk membalas pesan Jovita. "Tidak, Tommy tidak pernah mengatakannya. Dari mana Kak Jovita tahu mereka sudah mantan?" Hati Sherly seakan teriris saat mengirim pesan itu. "Tom, kenapa kau tidak jujur padaku?" Ia ingin menghubungi Tommy, tapi lagi-lagi bunyi pesan balasan dari Jovita membuatnya penasaran.
Ting!
Dengan air mata yang mulai mengenang di pelupuk mata, Sherly mulai membaca pesan itu. "Andin dan aku sudah sejak lama berteman. Maafkan aku, Sherly, seharusnya aku tidak memberitahukan hal ini padamu. Tapi sesama wanita kita harus saling mengingatkan. Andin dan Tommy pacaran sejak pria itu SMA dan Andin masih SMP. Tapi karena Tommy berangkat keluar kota, hubungan mereka jadi berantakan. Mereka tidak putus, hanya saja Tommy mendiamkan Andin karena ponselnya tidak aktif. Andin sebenarnya tidak berniat seperti itu, tapi dia kesal karena Tommy pergi tanpa berpamitan padanya. Padahal sebelum itu mereka sempat bermesraan di sebuah pondok, sehingga Andin tidak curiga sama sekali kalau Tommy akan meninggalkannya. Dan lebih parah lagi, Andin mendengar dari ayahnya bila mana Tommy sudah dijodohkan denganmu, padahal mereka saling mencintai lho, Sherly. Tapi ya namanya lelaki, di mana-mana selalu saja mata keranjang."
Air mata Sherly merebak. "Jadi selama ini Tommy berbohong padaku?" Ia melemparkan ponselnya ke lantai. "Dasar brengsek! Laki-laki pembohong!" Dengan cepat Sherly beranjak dari kasur. "Kau harus merasakan akibatnya. Kau harus merasakan akibatnya, Tommy!" Ia meraih kembali puing-puing ponselnya yang sempat berantakan. Setelah benda itu stabil kembali, ia mencari kontak saudaranya untuk di hubungi. "Halo, Kak?"
"Sherly? Ada apa, Dek?"
"Aku ingin ke tempat Kakak. Aku ingin tinggal dan berdiam diri di sana."
"Tinggal di sini? Bukannya sebentar lagi kau akan ujian?"
"Ceritanya panjang, nanti aku jelaskan."
"Mama dan Papa tahu?"
"Belum, nanti aku akan pamitan pada mereka."
"Ya ampun, Dek, ada apa sebenarnya? Apa Tommy tahu kalau kau mau ke sini?"
"Justru karena dia aku ingin ke sana."
"Kalian bertengkar, ya?"
"Nanti aku jelaskan di sana. Sekarang aku beres-beres dulu."
"Ya sudah, jangan lupa pamitan pada Mama dan Papa biar mereka tidak khawatir."
"Iya."
Tut! Tut!
Sherly memutuskan panggilannya. Dengan cepat ia bergerak dan mulai mengeluarkan semua pakaiannya dari dalam lemari. "Kau harus merasakan bagaimana rasanya ditinggalkan, Tommy! Bagaimana kau membuatku sakit, begitu juga yang akan kau rasakan."
Di sisi lain.
"Kau kenapa senyam-senyum dari tadi?" tanya Andin pada Jovita. Mereka kini sedang berada di Menk's Caffe. "Pesan dari pacar, ya?" ledeknya.
Jovita menelepaskan ponsel itu lalu menenggak isi gelasnya. Setelah menelan semua minumannya hingga habis, ia menatap Andin dan berkata, "Pacar, memangnya kau tahu aku punya pacar?" Jovita tersenyum.
"Kan siapa tahu pria yang mungkin sebentar lagi akan menjadu pacarmu," ledek Andin lagi.
Jovita terbahak. "Bukan, tapi dia adalah orang yang sangat mudah dibodohi. Kau lihat saja nanti apa yang akan terjadi ke depannya. Yang jelas kau pasti akan sangat berterima kasih padaku nanti."
Alis Andin berkerut-kerut. "Apa maksudmu?"
"Rahasia," katanya santai, "Pokoknya sebentar lagi kau akan mendapatkan kejutan yang wow."
Wajah Andin berbinar-binar. "Kejutan apa itu, Vi? Aku penasaran."
"Kalau aku bilang sekarang, namanya bukab kejutan, dong." Mereka berdua tertawa. "Ya sudah, sekarang aku ingin pulang dan tidur," kata Jovita lalu berdiri.
Andin juga ikut berdiri. "Iya, aku juga mau balik. Aku ada janji bertemu Papa. Hari ini papaku akan memperkenalkanku pada bosnya."
"Bos ayahmu? Pak Malik, ya?"
"Iya, hari ini aku akan direferensikan untuk bekerja di perusahannya."
"Wow," ledek Jovita, "Dengar-dengar dia itu belum menikah, lho."
Mereka berjalan meninggalkan meja makan. "Apaan, sih! Dia itu sudah tua, tahu!" kata Andin.
Jovita terbahak. "Gak apa biar tua, yang penting uangnya banyak!"
Mereka berdua sama-sama terbahak sebelum akhirnya masuk mobil dan meninggalkan tempat itu.
Continued___
Maaf ya, kemarin sempat hiatua karena sedang tidak enak badan. Insyaallah hari ini dan seterusnya dah gak akan bolong lagi updatenya.
Terima kasih juga buat para pembacaku yang masih setia. Semoga Allah memberikan kelimpahan rejeki dan kesehatan pada kalian semua dan keluarga. Amin ^^