Di kamar besar yang dibiaskan cahaya matahari cerah, Sherly sedang duduk di kursi goyang yang letaknya ada di balkon kamarnya. Sambil menatap indahnya pemandangan pagi dengan pohon-pohon dan kicauan burung yang saling bersahutan, Sherly menghidup udara segar pagi hari sekaligus mendinginkan pikirannya yang sejak semalam terus menggelisahkannya. Ia tidak tidur.
Pikiran soal kehamilan membuat Sherly gelisah. Ia takut kalau-kalau Tommy tidak akan bertanggung jawab, meski sebenarnya sedikit kemungkinan hal itu akan terjadi.
Tok... Tok...
Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sherly. "Siapa?" serunya lalu bangkit dari kursi menuju pintu.
Clek!
"Sayang, ayo..." Lenna terkejut melihatnya. "Sherly, kenapa... kau tidak tidur, ya?" tanyanya begitu melihat mata Sherly yang hitam di bagian bawah.
"Aku tidak bisa tidur, Ma."
Lenna membimbing Sherly ke kasur. Setelah dirinya dan Sherly duduk, ia pun berkata, "Ada apa? Apa yang membuatmu tidak bisa tidur? Ceritakan pada mama, Sayang."
Sherly mengendus. "Aku takut kalau aku benar-benar hamil, Ma."
Lenna menarik napas panjang. "Apa yang membuatu takut, hah? Hari ini mama dan papa akan bicara dengan keluarga Fabian. Kami akan membicarakan masalah ini dengan mereka. Mama dan papa juga akan..."
"Apa Mama sudah bicarakan masalah ini dengan papa?" tanya Sherly sambil menatap Lenna.
Lenna mengangguk. Sambil tersenyum ia menepiskan anak rambut Sherly yang menjuntai. "Kau tenang saja. Papa setuju, Kok."
Mata Sherly cemerlang. "Benarkah? Papa bilang apa, Ma?"
Lenna mendapati rona merah di wajah Sherly. Ia tersenyum. "Papa setuju. Itu sebabnya nanti setelah kau pulang dari dokter dan memastikan bahwa hasilnya benar-benar positif, mama dan papa akan mengundang keluarga Fabian untuk makan malam sekaligus membicarakan masalah ini."
Sherly bernapas lega. Ketegangan yang semalam ditahannya akhirnya bisa terlepas. Ia tersenyum. "Jujur, selama ini aku khawatir kalau papa akan marah dan menyalahkan Tommy. Ini semua kesalahanku, Ma. Aku yang meminta Tommy untuk melakukannya."
Seandainya Tommy bukan laki-laki pilihan mereka, mungkin Lenna sudah menampar wajah anaknya karena berani melontarkan hal seperti itu. Tapi karena Tommy memang adalah menantu idaman mereka, ia pun hanya tersenyum dan berkata, "Waktu muda dulu mama juga sepertimu, Sayang. Saking cintanya pada seseorang, kadang kita berusaha merelakan yang sebenarnya sangat berharga dalam diri kita. Dan sebagai perempuan, kita harus bersyukur karena memiliki pria yang bertanggung jawab dan tulus mencintai kita. Seperti Papa dan Tommy."
Sherly tersenyum lebar. "Oh, Mama, terima kasih banyak."
Mereka pun berpelukan. "Ayo kita turun sarapan," ajak Lenna.
"Aku ganti baju dulu, Ma."
"Baiklah. Mama tunggu di bawah, ya?"
***
Jam sudah menunjukan pukul delapan pagi. Setelah mendapat pencerahan dari sang mama, Sherly akhirnya bisa lega. Ia bisa menjalani harinya tanpa beban lagi. Terlepas dari positif atau tidak, ia tetap berharap bahwa Tommy akan menikahinya.
Dengan tubuh yang segar dan dibalutkan pakaian santai, Sherly menuruni tangga dengan langkah gontai ia menuruni tangga dengan langkah "Tommy?" Dilihatnya laki-laki itu sedang duduk di ruang tamu bersama kedua orangtuanya juga keluarga Fabian.
"Sherly?" pekik Lenna yang membuat empat pasang mata menoleh padanya.
Tommy yang melihatnya pun langsung berdiri dan menghampirinya. "Sayang, bagaimana keadaanmu? Apa kau masih mual? Pusing?" kata Tommy mendadak khawatir.
Mata Sherly nanar. Bukannya menjawab pertanyaan Tommy, ia malah memeluk lelaki itu dan langsung menangis.
Tommy terkejut dan membalas pelukannya. "Ada apa? Kenapa kau menangis, hah?" Tommy memeluknya erat-erat.
Lenna dan Lisa pun ikut menangis. Mereka bisa meraskasan bagaimana kesedihan dan kerinduan yang dialami Sherly selama jauh dari Tommy.
Tak ingin kesedihan itu berkepanjangan, Lisa pun berjalan mendekati kedua anak itu. "Sherly," panggilnya sambil berdiri di belakang mereka.
Sherly melepaskan pelukannya dan menghadap Lisa. "Ya, Tante?" katanya sambil menghapus air mata.
Lisa tersenyum lalu meraih tubuh Sherly dan membawanya ke dalam pelukan. "Mulai sekarang jangan panggil tante lagi, ya? Tapi panggil mami."
Sherly terkejut. Dilepaskannya tubuh Lisa dan menatap wanita yang lebih pendek darinya. "Mami?" Ia menatap Lisa dan Tommy secara bergantian.
Tommy yang merasa lucu melihat ekpresi polos di wajah Sherly hanya bisa tertawa.
"Jadi begini, Sayang," kata Lenna yang tiba-tiba muncul dari belakang Lisa. "Kedatangan keluarga Fabian ke sini pagi-pagi begini untuk membicarakan masalah yang kita bahas kemarin."
Sherly terkejut. Ia menatap Tommy dan Lisa secara bergantian. "Tan... eh, maksudku Mami dan Tommy tahu dari mana?"
Tommy dan Lenna tersenyum.
"Kau tidak perlu tahu. Sebaiknya sekarang kau saparan dulu. Mami sudah janjian dengan salah satu teman mami yang kebetulan adalah dokter kandungan. Jadi, setelah sarapan nanti kita akan langsung ke sana."
"Iya, mama dan Tante Lisa yang akan menemanimu ke dokter. Tommy akan ikut bersama Papa dan Om Charles untuk bertemu Pak Malik."
Tommy merangkulnya. "Kau tidak apa-apa kan pergi sama Mama dan Mami?" bisiknya pelan sambil mengusap pipi Sherly. Sherly mengangguk. "Nanti siang setelah urusanku dengan Pak Malik selesai, aku akan langsung ke sini."
***
Tibanya di rumah sakit, Lisa dan Lenna pun tak perlu menunggu antrian. Dokter kandungan yang akan memeriksa Sherly kebetulan adalah teman kuliah yang kebetulan juga baru tiba, langsung menyuruh mereka masuk ke ruangannya begitu dikabarkan bahwa mereka sudah tiba. Sherly pun langsung masuk ke ruangan diikuti Lenna dan Lisa.
"Selamat pagi," sapa sosok wanita dari dalam ruangan. Ia mengenakan terusan hitam dan jubah putih. Rambutnya yang panjang dikuncir kuda, sedangkan matanya yang berkaca mata menatap sosok Sherly. "Biar aku tebak, pasti dia ini ya menantumu?" tanya dokter sambil tersenyum lebar.
Lisa tersenyum. "Iya, dia menantu saya. Sayang, kenalkan," kata Lisa pada Sherly. "Ini Dokter Meyti, teman kuliahnya Mami."
Sherly mengulurkan tangan untuk berjabat. "Sherly."
Lenna pun memperkenalkan diri. "Kau bisa menghubungiku kapan saja jika perlu sesuatu," kata Meyti pada Sherly. "Dia sangat cantik, Lisa."
Wajah Sherly memerah. Ia sangat senang karena dari pihak Tommy ternyata mau menerimanya. "Seandainya ia bukan anaknya Harry, apakah keluarga Fabian akan menerimanya sebagai menantu?" batinnya.
Sambil di USG, Lisa, Lenna dan dokter berbincang-bincang mengenai apa yang mereka lihat di layar monitor, sementara Sherly sendiri hanya menatap bingung dan tak mengerti apa yang mereka bahas. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah jika dirinya benar positif hamil, ia akan langsung dinikahkan? Lalu bagaimana sekolahnya? Toh ujiankan akhir masih enam bulan lagi.
"Baiklah, Nona. Sekarang kau boleh bangun. Selamat Lisa, sebentar lagi kau akan punya cucu," katanya.
Lenna dan Lisa saling bertatapan dengan mata cemerlang. "Dia positif, Dokter?" tanya Lisa.
Dokter mengangguk. "Usianya kandungannya sudah masuk dua bulan."
Apa? Dua bulan? pikir Sherly. Kalau dihitung-hitung dua bulan dari sekarang, berarti saat ujian nanti usia kandungannya delapan bulan? Sherly mendadak ngeri. Ia membayangkan bahwa di sekolah ia akan menghadiri ujian dalam perut yang buncit. "Ya, ampun, teman-teman pasti akan meledekku."
"Oh, iya, karena kandungannya lemah, usahakan dia jangan dulu banyak beraktivitas, ya?"
Lenna dan Lisa mengangguk. "Baik, Dokter," sahut Lenna.
"Kalau begitu kami permisi dulu, ya. Terima kasih, Meyti," kata Lisa.
"Sama-sama."
***
Dalam perjalanan Lisa dan Lenna tak henti-hentinya melontarkan aturan-aturan yang tidak dan boleh dilakukan Sherly. Mereka juga menyarankan agar gadis itu harus makan ini-itu agar bayi dan kondisinya sehat.
"Oh, iya, untuk sementara kau jangan dulu sekolah, ya? Takutnya di sekolah kau terlalu lelah dan bisa-bisa berdampak pada kandunganmu," kata Lenna.
Lisa tersenyum. "Benar. Nanti mami akan suru salah satu guru untuk datang ke rumah biar kau tidak ketinggalan pelajaran."
"Terima kasih Ma, Mi, aku sudah mendingan, Kok. Kalau besok dan lusa keadaanku sudah benar-benar baik, aku akan masuk sekolah lagi."
"Tidak!" sahut Lenna dan Lisa sama-sama. Sherly terkejut. "Maaf, Sayang," kata Lenna. "Mama tidak mau kau kenapa-kenapa di sekolah. Jadi, untuk sementara sebaiknya kau di rumah saja dulu."
"Mami setuju," timpa Lisa.
Sejurus kemudian mereka pun tiba di rumah. Sherly dan Lenna hanya menurunkan Lisa dan langsung berpamitan untuk membeli keperluan Sherly. Saat tiba di rumah, kebetulan Tommy juga baru tiba, dua wanita itu meninggalkan Sherly di rumah bersama calon suaminya. "Kau di rumah saja dengan Tommy. Biar mama dan tante Lisa yang akan mengurus keperluanmu. Ingat kata dokter, kau tidak boleh lelah. Jadi lebih baik kau diam saja di rumah."
"Iya, Sayang. Nanti kalau Sherly kepingin makan apa, telepon mami ya, Tomm."
"Baik, Mi," sahut Tommy.
"Kami pergi dulu, ya. Bye."
Tommy dan Sherly tertawa sambil melihat kepergian Lisa dan Lenna. "Mereka pasti bawel ya selama perjalanan?" tanya Tommy.
Sherly terkikik. "Sedikit."
Tommy mengajak Sherly ke sofa. Sambil duduk menatap gadis yang cintainya, ia mengusap-usap lembut perut Sherly. Saat dalam perjalanan kembali dari dokter menuju rumah tadi, Lisa sudah menghubungi Tommy dan memberitahukan hasilnya. Saking senangnya, Tommy segera menyelesaikan urusannya lalu pulang. "Sebentar lagi kita akan jadi orangtua," katanya.
Sherly tersenyum lebar. "Tapi aku belum tahu caranya mengurus bayi."
Tommy tertawa. "Tidak masalah, Sayang, kan ada mami dan mama yang akan membantumu." Ia menepelkan kepalanya di perut Sherly lalu mengecupnya.
Sherly terkekeh geli. "Sayang," panggil Sherly sambil mengelus kepala Tommy. Lelaki itu bergumam. "Apa kau benar-benar sudah siap menjadi ayah?"
Tommy mendongak. Dilihatnya wajah Sherly yang tampak sedih. "Apa yang membuatmu bertanya begitu?" Diraihnya tangan Sherly lalu menggenggamnya. "Kalau aku belum siap, aku tidak mungkin datang ke sini dan mengajak orangtuaku untuk membicarakan masalah ini dengan orangtuamu. Aku sudah siap, Sayang. Aku sangat siap. Tapi..."
"Tapi apa?" desak Sherly.
"Kamu tidak keberatan, kan kalau pernikahan kita ditunda sampai usiamu 17 tahun?"
Tatapan Sherly yang tadinya cemerlang kini menegang. "Kenapa?"
"Penghulu tidak mau menikahkan kita kalau usiamu belum cukup 17 tahun."
"Berati kita belum bisa menikah, ya?"
Tommy mengecup tangan Sherly. "Tadi papi dan papa sudah bicara dengan teman papi yang kebetulan adalah pengurus di kantor agama. Mereka menceritakan tentang masalah kita, tapi beliau menyarankan agar sebaiknya menikah itu di usia 17 tahun. Sebenarnya minimal itu di usia yang ke-19tahun, tp karena kau sudah berbadan 2, beliau memberi toleransi saat usiamu 17 tahun, dengan catatan keluarga dari kedua pihak harus etuju." Tommy mengecup pipinya. "Kan tinggal 2 bulan lagi usiamu genap 17 thn."
Sherly memeluk Tommy. Pikirannya di penuhi kekhawatiran yang nantinya akan mereka hadapi. "Seandainya teman-teman di sekolah tahu aku hamil, tapi belum menikah, apa mereka akan membully-ku?"
Tommy mengeratkan pelukannya. "Kau tidak usah khawatir soal itu. Kan aku akan menikahimu. Nanti aku akan bicara dengan Mami agar menyuruh salah satu guru untuk datang ke rumah. Kau bisa belajar privat sampai ujian nanti."
Sherly menggeleng. "Tidak, jangan! Tidak apa-apa, kok. Toh perutku juga belum besar. Jadi beberapa bulan ke depan aku rasa masih bisa aku masuk sekolah."
Continued___
Ciee... yang mau jadi ayah dan ibu. Hehehe