Orang tua Mathilda sangat marah. Mereka tidak menyangka putri mereka satu-satunya ini melahirkan anak di luar nikah.
Seandainya mereka tahu awal, Marhilda hamil oleh jenderal Yakub Mikail, dia pasti akan tidak menghadap Panglima kodam di Lampung untuk menindak jenderal Yakub Mikail. Biar mereka hanya petani gula, kakek buyut tuan Purwoco, pejuang kemerdekaan, di makamkan di makam pahlawan. Mendapat bunga setiap peringatan kemerdekaan.
Tapi Marhilda meremehkan nenek moyangnya. Dia berhenti jadi anggota TNI dan memilih menjadi asisten nyonya kaya (nyonya Esther). Sekarang nasibnya berakhir begini. Memalukan!
"Mathilda! Kamu tidak boleh menolak. Anakmu harus punya nama orang tua. Dia tidak mungkin diberikan kepada orang lain sementara dia punya orang tua, kakek dan nenek. Apa kamu mau di kutuk, hah! Di kutuk oleh anakmu, sebagai ibu tak bermoral, menjual anak demi hidup senang?!"
Wati, ibunya Mathilda berkata keras. Dia kecewa putri-nya ini menolak menjadi ibu.