Laila berada di dapur bersama dengan Dini. Mereka saat ini tengah menyiapkan makan siang. Dini sangat senang bertemu dengan Laila. Sehingga ia tidak bisa berhenti tersenyum. Namun karena Raisya memutuskan untuk pulang ke rumahnya, Siti dibawa serta. Bersama dengan sopirnya, Warso, Raisya membawa Siti untuk membersihkan rumah dan memasak untuknya.
"Mbak Laila, apa Mbak Laila di rumah, masaknya pakai kompor seperti ini?" tanya Dini. Ia waktu masih tinggal di desanya, masih menggunakan tungku yang bahan bakarnya pakai kayu bakar. Sekarang masak tinggal ceklek saja.
"Di rumah, aku pakai kayu bakar," sahut Laila.
"Oh, jadi sama kayak di rumahku dulu," ungkap Dini sendu. Tiba-tiba ia mengingat sewaktu dulu, hidup di desanya.
Kenangan yang tidak pernah ia lupakan. Yah, gadis itu sebenarnya tidak ingin mengingat masa lalu. Hanya ia tidak bisa melupakan begitu saja. Segala kenangan manis dan pahitnya saat berada di desanya. Semenjak masih kecil, bermain-main dengan teman-teman yang telah meninggalkannya.
Yang harus ia syukuri adalah, dirinya tidak hidup kekurangan. Jalan hidupnya membawa ke dalam lingkungan yang baru. Lingkungan baru dan hidup baru, meninggalkan yang lama.
Laila menatap Dini sejenak. Mereka sama-sama hidup sebagai seorang gadis yang kuat. Hanya memiliki seseorang yang menemaninya.
"Apapun yang terjadi, kita harus mensyukuri nikmat yang Allah berikan pada kita," tutur Laila.
Laila memotong sayuran, Dini menggoreng ikan. Keduanya fokus pada pekerjaan masing-masing. Tidak ada yang mereka katakan lagi karena hari semakin siang. Mereka menyiapkan masakan dengan cepat.
Setelah selesai, mereka meletakan makanan yang mereka masak ke meja makan. "Alhamdulillah ... akhirnya sudah selesai," ucap syukur Laila melihat masakannya bersama Dini sudah selesai.
"Lihatlah mereka, Pah. Sepertinya Laila tidak masalah ditinggal oleh Hilman," ujar Seruni yang melihat Laila nampak bahagia bersama Dini.
"Iya, memang dia gadis yang tidak suka bersedih." Redho melihat Laila yang sedang menata lauk pauk di meja makan bersama Dini.
Pramono tidak tahu apa yang harus ia lakukan di vila besar itu. Ia dari tadi pagi memutuskan untuk mencari kesibukan lain di mushola. Ia membersihkan mushola bersama dengan para pemuda yang rumahnya tidak terlalu jauh. Ia baru saja pulang dan menemui Redho dan Seruni.
"Assalamualaikum," ucap Pramono pada Redho dan Seruni.
"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawab Redho dan Seruni bersamaan.
"Bapak sudah pulang? Oh, mari kita makan dulu. Ada yang ingin ku katakan juga dengan Bapak," ungkap Redho.
"Sebenarnya ada yang ingin ku sampaikan juga." Ia memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Hanya tubuh tuanya tidak sanggup berjalan jauh.
Jarak vila dengan rumahnya bisa mencapai sepuluh kilometer. Kakinya tidak sanggup untuk berjalan sejauh itu. Sementara ia tidak menemukan kendaraan umum. Rencananya ia akan diantar dengan motor oleh pemuda yang bersamanya membersihkan Mushala.
"Kalau begitu, kita makan dahulu," ajak Redho sopan.
"Maaf, Pak Redho. Sebenarnya saya ingin pulang ke rumah." Walau berat untuk meninggalkan Laila bersama keluarga ini. Namun tugasnya untuk merawat Laila sudah selesai. Maka ia tidak ada urusan lagi.
"Mengapa begitu buru-buru? Lagipula kalau Bapak mau tinggal bersama kami, kami pun akan merasa senang," ujar Redho.
"Betul, Pak. Bapak kan kakeknya Laila. Yah, kami tidak ingin Laila kecewa karena kakeknya meninggalkannya. Lagipula kami juga menganggap Bapak sebagai orang tua kami sendiri," imbuh Seruni.
"Jadi bagaimana kalau kita menunggu satu hari lagi? Kalau Bapak tidak betah di sini, kami bisa antar Bapak pulang, bagaimana?" usul Redho.
Redho khawatir melihat Pramono yang sudah berusia senja. Di usianya saat ini, ia tahu Pramono berpenampilan seperti orang sehat. Namun bagaimanapun juga, Pramono sudah berumur. Tidak mungkin Redho membiarkan Pramono mengurus dirinya sendiri.
"Oh, tadi saya sudah ditunggu sama pemuda itu," elak Pramono.
"Kalau begitu, biar saya yang bicara sama pemuda itu. Di mana pemuda itu, Pak?" tanya Redho.
"Dia ada di depan," jawab Pramono. Pramono melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah.
"Kamu bantuin Laila, Mah. Biar papa yang bicara pada pak Pramono," bisik Redho kepada istrinya.
"Iya, Pah." Seruni kemudian mendekati Laila dan Dini. Ia juga membantu Laila dan Dini. Biasanya ia akan cuek melihat Dini dan Siti menyiapkan makanan. Karena ada Laila, ia pun ingin membantu.
Dini dan Laila membiarkan Seruni membantu. Hanya saja Dini tidak menyangka, pertama kalinya Seruni membantunya menyiapkan makanan. Ia tahu karena Laila-lah, Seruni sampai melakukan hal seperti ini.
Redho bersama dengan Pramono menuju ke depan. Namun ternyata di depan sedang gerimis. Langit nampak hitam dan seperti akan terjadi hujan lebat.
"Sepertinya mau hujan, Pak. Lebih baik ajak pemuda itu ke dalam," ujar Redho. Bagaimanapun juga, pemuda itu berniat baik. Jadi tidak ada salahnya jika pemuda itu diajak ke dalam. Kalau kembali ke mushola pun letaknya jauh.
Di depan vila, seorang pemuda tengah duduk di atas motornya. Ia menunggu Pramono untuk diantarnya pulang. Tapi gerimis ini membuatnya tidak nyaman. Ia menutupi kepalanya dengan tangannya.
"Kenapa malah mau hujan? Duh, kalau begitu, mengapa mau anter kakek itu? Nanti pasti bakalankehujanan juga. Mana ada jas hujan, lagi," keluh pemuda tersebut. Ia menutupi kepalanya yang terkena tetesan air.
Pramono menghampiri pemuda yang sedang duduk di jok motornya. "Hei, Nak. Kamu masuk dulu ke dalam. Sebentar lagi kayaknya mau hujan," ajak Pramono.
"Eh, Kakek." Pemuda tersebut membalikan badannya. Ia melihat Redho yang bersama dengan Pramono. Pemuda itu menganggukkan kepala pada Redho.
"Ayo masuk," ajak Redho. Redho melihat jelas pemuda itu. Terlihat masih muda dan penampilannya cakap dan rajin.
"Maaf, Pak. Merepotkan. Nama saya Ilham, Pak," ucap Ilham seraya mengulurkan tangan pada Redho.
"Oh, Nak Ilham," tutur Redho menerima uluran tangan pemuda itu. "Mari masuk," ajak Redho sambil menarik tangan Ilham.
Ilham pun masuk bersama dengan Redho dan Pramono. Redho langsung membawa Ilham ke ruang makan. Di sana tiga perempuan itu sudah duduk di kursi. Kali ini pun Seruni mengajak Dini untuk makan bersama.
Kalau ada Siti, biasanya Seruni membiarkan Dini makan di dapur bersama ibunya. Karena Seruni tidak pernah mengajaknya, Siti pun tahu diri dan selalu menarik tangan Dini ketikan ingin makan bersama mereka.
Betapa bahagianya hati Dini hari ini karena tidak pernah ia diperlakukan seperti ini sebelumnya. Makan bersama dengan tuannya adalah sebuah momen langka baginya. Nanti setelah ada Siti bersamanya, ia tidak akan seperti ini lagi. Jadi Dini sebisa mungkin untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Wah sudah siap-siap makan ternyata." Redho datang bersama dua orang di belakangnya.
"Papa, Bapak. Dan siapa dia Pa?" tanya Seruni pada suaminya. Ia melihat pemuda dengan penampilan rapih dengan kemeja dan celana panjang. Rambutnya bergaya cepak.
"Oh, ini namanya Ilham," jawab Redho.
Ilham menganggukkan kepalanya. Ia mengedarkan pandangannya pada satu sosok perempuan berkerudung duduk dengan tenang. Nampak keteduhan saat ia melihat satu-satunya perempuan di vila ini mengenakan kerudung.
***