"Ini sudah jam sembilan, Sayang," ungkap Hilman pada Eva. Sembari ia memakai pakaiannya. Aktifitasnya dengan Eva baru selesai. Tanpa perlu istirahat lama, ia bergegas untuk menuju kamar pernikahannya dengan Laila.
"Baiklah, Mas. Kamu buruan temuin istri keduamu. Aku tidak apa-apa ditinggal sendirian. Lagipula kamu sudah berjanji padaku. Aku percaya kamu, Mas," sahut Eva.
Eva tersenyum lembut pada suaminya. Ia sebenarnya masih ingin bermesraan dengannya malam ini. Namun ia harus ingat situasi dan kondisi.
"Iya, kamu nggak pakai bajumu, Sayang?" tanya Hilman yang melihat Eva tidak mengenakan apapun, hanya tertutup selimut saja.
"Oh, nanti saja, Mas Hilman. Aku istirahat sebentar. Lagian aku masih capek," tukas Eva. Ia kembali membaringkan badannya ke kasur yang lembut itu.
Sementara Hilman sudah berpakaian rapi dan tersenyum pada istrinya. "Aku ke kamar Laila dulu ya, Sayang," pamit Hilman dengan mengecup dahi Eva.
"Iya, Mas." Eva menyembunyikan badannya dengan selimut tebalnya. Ia tidak langsung berpakaian karena masih terasa lelah.
Hilman segera keluar dari kamar itu. Ia berjalan dengan hati-hati agar tidak ada yang melihat atau mendengar langkah kakinya. Saat ia di luar dan tidak sengaja melihat Pramono yang tengah baru saja dari arah kamar Laila.
"Dari mana kakek itu malam-malam?" gumam Hilman pelan. Ia bersembunyi di balik tembok agar tidak ketahuan Pramono. "Apa dari kamar Laila?" lanjutnya.
Saat Pramono sudah pergi, barulah Hilman pelan-pelan berjalan menuju kamar Laila dan dirinya, kamar pengantin. Dengan langkah hati-hati, memastikan tidak ada yang melihatnya.
Namun itu tidak semulus rencananya, ketika Redho keluar dari kamarnya. Ia melihat Hilman berjalan dengan pelan dan sembunyi-sembunyi. Redho merasa geram dengan tingkah anaknya. Namun ia hanya menggeleng dan merasa kecewa dengan anaknya sendiri.
"Dasar anak tidak tahu diuntung! Kau pikir aku tidak tahu, apa yang kamu lakukan malam ini, Hilman!" kecam Redho tanpa bisa didengar Hilman. Redho hanya berkata lirih dengan emosi yang memuncak.
Redho sudah menduga bahwa Hilman baru saja menemui Eva di kamarnya. Namun ia ingat perkataan Seruni untuk tidak mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Ia pun malas berbicara dengan Hilman saat ini. Ia lebih memilih meninggalkan tempat itu.
Awalnya Redho ingin ke dapur untuk mengambil air minum. Ia merasa haus dan saat keluar kamar, kebetulan menemui Hilman yang baru saja keluar dari kamar Eva. Ia juga melihat Pramono yang masuk ke kamarnya.
"Mungkin kakeknya Laila sudah tahu kelakuan Hilman. Dasar anak tidak tahu malu, awas saja nanti!" geram Redho. Ia sudah tidak melihat Hilman karena saat ini ia sudah berada di dapur.
Sementara Hilman membuka pintu kamar pernikahannya dan Laila. Ia membuka perlahan agar tidak ada yang mendengar. Di dalam, Laila sedang membuka mukenanya. Terlihat rambut Laila yang berwarna hitam dan panjang.
"Laila, mengapa kamu harus secantik itu?" gumam Hilman pelan.
"Eh, Mas Hilman?" kaget Laila. Ia tidak menyangka Hilman telah sampai di kamar. Ia tersenyum ke arah Hilman sembari mendekat ke arah suaminya itu. "Mmm ... Mas Hilman dari mana? Ini bau apaan, yah? Kok gini?" cecar Laila yang merasa ada bau aneh di badan Hilman.
"Oh, bau apaan?" Hilman mencium pakaiannya dan menyadari sesuatu.
Hilman menyadari kalau bau itu adalah sisa-sisa pergumulannya dengan Eva. Hilman tidak pernah berpikir akan seperti ini. Dirinya harus mandi sebelum Laila mengetahui apa bau itu.
"Sudahlah, Laila. Aku capek, mau istirahat." Hilman melihat tempat tidur itu masih rapi. Dari situ Hilman mengambil kesimpulan bahwa Laila belum tidur. Apalagi tadi melihat Laila yang membuka mukena.
Kini mukena masih di tangan Laila. Baru saja Laila selesai berdoa setelah ia dihibur oleh Pramono dengan kisah yang menarik hati sang cucu.
"Mas sudah sholat?" tanya Laila dengan lembut.
"Tidak perlu kamu urusi, aku sholat atau tidak. Kamu tidur saja di kasur!" tegas Hilman. Ia mendorong tubuh Laila sehingga perempuan itu terduduk di sisi ranjang. "Kamu tidur, sudah malam," ujarnya sembari memegangi kedua lengan Laila.
Sebenarnya Hilman menahan perasaan ingin menjadikan Laila wanita seutuhnya. Namun ia tepis itu semua perasaannya. Ia telah berjanji pada Eva untuk tidak menyentuh Laila. Melihat wajah istrinya yang meneduhkan, ia terbuai akan indahnya wajah Laila. Dengan rambut hitam panjangnya membuat Hilman terkesima memandanginya.
Sementara Laila merasakan keanehan dalam dirinya. Ia tidak pernah sedekat ini dengan seorang pria dewasa. Ia hanya pernah dekat dengan kakeknya saja. Namun kali ini ia memiliki perasaan berbeda dari saat bersama kakeknya. Saat bersama Pramono, perasaan Laila adalah rasa hormat sebagai orang tua. Saat bersama Hilman, ia merasakan deg-degan.
'Mengapa dadaku ini?' batin Laila merasakan dadanya berdetak lebih kencang. Badannya terasa bergetar dan panas dingin saat berdekatan dengan Hilman.
"Hemm ... kamu tidur sekarang!" Hilman melepas genggamannya di lengan Laila.
Laila mengangguk, menyetujui perkataan Hilman. Ia naik ke kasur itu dan membaringkan tubuhnya sembari memeluk mukena yang masih di tangannya. Perasaan yang dialami sangat aneh baginya. Ia tidak habis pikir dengan apa yang ia rasakan saat ini.
Hilman tidak mau tidur dengan Laila di kasur. Ia lebih memilih tidur di sofa yang ada di dalam kamar. Hilman mengambil selimut di lemari dan membaringkan badannya di sofa.
Laila melihat ke arah Hilman yang tidur di sofa. Seharusnya mereka tidur bersama di tempat tidur itu. Namun Hilman sendiri yang tidak mau. Hilman tetap dalam pendiriannya untuk tidak ingin menyentuh Laila.
"Kenapa tidak tidur di sini, Mas?" tanya Laila. Ia bangun dari tidurannya. Melihat ke arah Hilman yang sudah memejamkan matanya.
Hilman membuka matanya. Ia kemudian bangun dari tempatnya. Dilihatnya Laila yang tengah menatapnya. "Tidak apa-apa. Kamu tidurlah dengan tenang!" ujar Hilman.
"Apa kamu merasa aku tidak pantas menjadi istrimu? Sehingga kamu menghindariku?" tanya Laila dengan perasaan takut. Ia takut kalau Hilman menyesal telah menikahinya dan ingin menceraikannya.
"Kamu tidur, sudah malam!" tampik Hilman. Ia tidak lupa dengan janji yang ia ucapkan. Untuk melaksanakan janjinya, ia harus menghindari Laila.
"Tapi, Mas. Kenapa kamu tidak tidur di sini?" ujar Laila.
Hilman mulai emosi karena ucapan Laila. Segera ia bangun dari sofa dan berjalan menuju ke tempat tidur yang seharusnya menjadi tempat mereka melaksanakan malam pertama keduanya.
"Apa kamu ingin aku melaksanakan tugasku sebagai suamimu, hah? Baiklah, Laila." Hilman menarik Laila dari tempat tidur. Ia memegangi kepala istrinya dan segera Hilman menatap Laila dengan pandangan memburu.
"Ti-tidak ... ap–" sebelum Laila menyelesaikan kalimatnya, Hilman menyumpal bibirnya dengan menggunakan bibir Hilman. Ia melakukan itu karena didasari oleh birahinya yang naik.
Dengan paksa, Hilman mendorong Laila agar tiduran di ranjang itu. Ia hempaskan tubuh Laila dan segera Hilman mendekati istrinya dengan memposisikan diri di atas Laila. Ia tindih Laila yang saat ini ketakutan.
"Apa ... yang ... kamu ... la-ku-kan?" lirih Laila merasa takut dengan Hilman yang menindih tubuhnya.
***