Mendengar ocehan Raisya, Redho dan Seruni menatapnya tajam. Gadis itu terdiam karena takut. Raisya memang selalu seperti itu. Selalu mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Ia seorang gadis yang bebas dan tidak terlalu mengikuti tata krama dan aturan.
Karena tatapan dari Redho, kali ini Raisya jadi pendiam. Biasanya ia akan mengoceh sepanjang waktu. Gadis yang masih berusia enam belas tahun itu, menutup mulutnya rapat-rapat dan menggunakan tangannya untuk membuat seperti mengunci bibirnya. Ia sadar di mana tempatnya berada. Apalagi saat ia melihat orang-orang yang tidak dikenalnya.
"Jika seperti itu, baiknya kapan acara pernikahan, dilangsungkan?" tanya Bashrin, selaku ketua RT.
"Menurutku, acara itu bisa dilakukan kapan saja. Saya tidak bisa melihat hari baiknya. Yang penting mereka disegerakan untuk menikah," tandas Redho. Yang penting bagi Redho, Hilman dan Laila dapat menikah secepatnya. Dengan begitu, ia akan merasa lega, telah memenuhi janjinya pada almarhum Fattah.
"Bagaimana Pak Pramono?" tanya ketua RT itu. Ia menatap Pramono dengan rasa ingin tahu. Pramono pasti sudah mengenatahui hari yang baik untuk memperlangsungkan pernikahan.
"Benar yang diucapkan Pak Redho. Pernikahan ini bisa dilakukan kapan saja. Aku hanya menyarankan untuk menikahkan mereka, dua minggu lagi. Itu menurutku adalah hari baik untuk mereka menikah," pungkas Pramono.
Mereka yang ada di ruangan mengangguk setuju. Meskipun mereka tidak tahu hari baik apa itu. Yang penting bagi mereka, acara pernikahan Laila dan Hilman berjalan lancar.
"Kalau begitu, kita bisa menikahkan Laila dan Hilman dua minggu lagi. Untuk urusan pernikahannya, biar saya yang mengurusnya. Pak Pramono tidak perlu memikirkannya," ungkap Redho. Ia tidak ingin merepotkan pihak Laila. Lagipula pernikahan ini adalah kemauannya sendiri.
"Terima kasih Pak Redho. Kalau begitu, kami akan menunggu kabar baiknya saja. Saya sudah terlalu tua untuk mengurus semua ini," kata Pramono membalas Redho. Di usia yang sekarang ini, bisa melihat cucunya menikah, adalah sebuah keajaiban yang tidak terduga. Ia sangat bersyukur apabila ia bisa melihat kebahagiaan Laila.
"Pak Redho tidak usah khawatir. Dua minggu lagi, saya akan mengutus orang untuk menjemput Bapak dan Laila ke sini. Bapak dan Laila hanya perlu menyiapkan diri saja. Dan jangan lupa untuk menjaga kesehatan!" pinta Redho.
"Terima kasih Pak Redho," sahut Pramono.
Redho melirik ke arah Laila. Nampak Laila diam saja dari tadi. Ia tidak tahu apa yang ada di pikiran gadis itu. Apalagi dirinya baru melihat Laila hari ini. Ia juga tidak mendengar apapun tentang Laila. Yang jelas, ia berpikir Laila adalah gadis yang baik.
"Iya, ini sepertinya hanya segini saja, Bapak-bapak sekalian?" tanya Redho.
"Iya, kalau ini sudah selesai, maka sudah diputuskan, dua minggu dari sekarang, pernikahan Laila dan Hilman telah disepakati. Cukup sekian dan terima kasih," tandas ketua RT.
"Kalau begitu, kami mohon izin dahulu. Saya harus menyelesaikan persiapannya. Ayo, Mah, kita pulang!" ajak Redho pada Seruni.
"Iya, Pah. Kami mohon pamit, Bapak-bapak. Laila."
"Iya, hati-hati di jalan, Pak, Bu." Laila mengangguk pada dua orang itu.
Mereka berdiri dan pamit untuk keluar. Namun Hilman masih duduk. Ia menyerahkan kunci mobil pada Raisya.
"Ini, kalian pulang saja. Saya masih ingin di sini," ungkap Hilman.
"Iya, Kakak masih mau di sini? Raisya mau pulang, Kak," sahut Raisya yang menerima kunci dan menyerahkan kunci itu pada Redho.
"Kalau begitu, kami pulang, Nak," sambung Seruni. Ia melihat Hilman sejenak lalu mengangguk.
"Iya, Mah," balas Hilman.
Sementara Redho diam saja. Ia tidak mau berbicara pada Hilman. Baginya Hilman adalah anak yang tidak patuh. Ia masih belum menerima Hilman yang menikah diam-diam dengan Eva. Wanita malam yang menjadi cintanya Hilman.
"Kami mohon undur diri, Wassallamu'alakum Warahmatullahi Wabarakatuh ..." salam Redho pada semua. Redho menyalami semua yang ada di ruangan empat kali empat meter tersebut.
"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawab para orang tua.
"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Semoga selamat sampai rumah." Pramono tersenyum hangat, melepas kepergian Redho bersama Seruni dan Raisya.
Sekarang Redho telah berlalu. Ia sudah naik ke dalam mobil bersama istri dan anak perempuannya. Tiga lelaki paruh baya itu pun mohon undur diri. Mereka berpamitan pada Pramono, Hilman dan Laila.
"Pak Pramono, kami mohon undur diri. Karena sudah selesai semua, kami akan menunggu hari itu. Dan melihat Laila menikah," ungkap ketua RT, mewakili dua orang di sebelahnya.
"Iya, terima kasih, sudah mau datang," ujar Pramono.
"Iya, Pak. Kami senang, Laila mau menikah, kami permisi, Assalamualaikum ..." pamit ketua RT.
"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh," sahut Pramono.
Setelah kepergian ketiga orang itu, Pramono menghampiri Hilman. Sementara Laila sedang membereskan sisa-sisa makanan dan minuman. Ia sudah berada di belakang untuk mencuci.
"Hilman?" panggil Pramono. Pramono bisa melihat Hilman seperti ingin mengatakan sesuatu padanya.
Terlihat kerutan di wajah Pramono yang sudah hidup selama tujuh puluh lima tahun. Ia tidak tahu apa atau bagaimana sifat dari pemuda yang ada di depannya. Bisakah ia menerima dan mengemban kewajiban sebagai seorang suami.
"Kakek? Maaf, Kek. Ada yang ingin Kakek bicarakan denganku?" tanya Hilman dengan nada hormat.
"Iya ..." lirihnya. Pramono memastikan Laila tidak kembali lagi. Ia sudah tidak melihat piring dan gelas di ruangan itu. Berarti sekarang Laila tengah mencuci piring dan gelas.
"Kamu, mendekat lah ke sini!" panggil Pramono.
"Iya, Kek." Hilman memasukan ponselnya ke dalam kantong celananya. Sedari tadi, ia mengurus perkebunan yang ia kelola. Jadi ia masih menghubungi orang-orang di di kebun buah itu.
Hilman mendekat ke arah Pramono yang tersenyum hangat kepadanya. Ia duduk beralasan tikar yang terbuat dari daun pandan.
"Hemm ... berapa usiamu, Nak?" tanya Pramono.
"Saya sudah berumur dua puluh tujuh tahun, Kek," jawab Hilman dengan sopan.
"Hehehe ... baiklah. Kamu sudah memiliki istri, bukan? Siapa nama istrimu?" tanyanya lagi. Ia hanya ingin tahu, perempuan seperti apa yang ada di hatinya Hilman.
"Iya, Kek. Namanya Eva. Revalina, Kek. Maafkan saya, Kek. Tapi saya berjanji, akan membahagiakan Laila. Kakek jangan khawatir aku tidak bisa berlaku adil. Aku–" ucapnya terhenti setelah Pramono mengangkat tangannya.
"Sudah, tidak perlu dilanjutkan. Kakek sudah tahu. Kamu anak yang baik. Saya tidak bisa berbuat apapun untuk membahagiakan Laila. Tetapi Kamu ... saya harap bisa menjaga Laila dengan baik. Saya sudah merawatnya semenjak dia masih berumur delapan tahun. Oh, apa Kamu ada waktu sebentar? Saya mau menceritakan tentang Laila."
Pramono melihat Hilman yang ada di depannya. Tidak peduli apa yang pemuda itu pikirkan, tetapi setidaknya Pramono menganggap Hilman sebagai seorang pria yang baik. Karena telah mempercayakan cucunya kepada Hilman.
"Saya siap mendengarnya, Kek," jawab Hilman mantap.
"Oh ... syukurlah kalau begitu."
Pramono pun menceritakan masa lalu Laila yang kehilangan kedua orang tuanya semenjak ia masih kecil. Sementara Hilman mendengarkan kata setiap kata yang keluar dari bibir Pramono.
***