Laila mengayuh sepedanya tidak terburu-buru, karena ia masih melihat Hilman yang melajukan motornya. Tetapi motor itu berhenti. Itu membuat Laila bingung. Apakah Hilman sudah melihatnya? Yah itu mungkin saja, karena sepeda motor Hilman memiliki spion yang tentu akan tahu, ada orang di belakang. Tetapi jarak mereka masih jauh.
Laila memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya. Ia melihat Hilman yang terlihat sedang menunggunya. Lelaki itu berdiri di belakang motor dan melihat Laila menghampirinya.
"Adakah ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku, atau ada urusan apa? Maaf, saya sedang tidak memiliki banyak waktu!" Hilman menatap Laila dengan pandangan yang tidak diketahui Laila.
"Maaf, tapi saya sedang ada janji. Tapi sebelum itu, saya mau bertanya. Bolehkah?" Laila turun dari sepedanya. Ia menatap sejenak wajah Hilman, lalu menunduk.
"Baiklah ... tetapi jangan lama-lama. Saya sedang ada urusan. Dan tentang pernikahan itu, kumohon kau mau menerimanya. Dan saya tidak akan banyak menuntut darimu!" kata Hilman sambil menatap Laila tajam.
"Kalau itu, maaf ... saya bukan mau bertanya tentang itu. Saya hanya ingin bertanya, apa betul kalau Anda memperbolehkan anak-anak desa untuk memetik jambu di kebunmu, Tuan?" Laila bertanya dengan serius. Ia tidak ingin ada kesalahan lagi. Ia takut nantinya anak-anak itu mendapat masalah.
"Apa? Hahahaha! Gitu yah," kekeh Hilman setelah mendengar pertanyaan dari Laila. Hal sepele seperti itu, tidak seharusnya dipertanyakan.
"Kenapa?" sahut Laila. Ia memiringkan sedikit kepalanya dengan heran.
"Aduh, aduh kamu ini. Sudah aku ijinin mereka untuk memetik buah itu. Lagian kalau tidak, akan jadi mubazir bukan? Kalau dijual, juga tanggung. Hanya tinggal satu pohon itu. Kalau mau, kau boleh mengambil sesukamu!" jawab Hilman ditambah dengan sebuah senyuman.
"Alhamdulillah ... terima kasih, Tuan." Laila mengambil sepedanya, berniat untuk pergi secepatnya.
"Kamu panggilnya, tuan terus. Lagian saya bukan tuanmu! Kita akan menikah suatu saat nanti. Jadi panggil saja Hilman atau panggil Mas Hilman!" pinta Hilman yang masih merasa lucu dengan tingkah Laila.
Meskipun Hilman tidak suka dengan Laila sebelumnya, karena ia akan menjadi seseorang yang mungkin akan mengganggu keharmonisan keluarganya dengan Eva. Namun ia sekarang menjadi sedikit terhibur. Ia merasa lega, gadis yang dijodohkan dengannya, cukup baik dan sopan. Ia berharap, Laila tidak akan membuatnya dalam masalah besar. Ia berharap, Laila tidak akan berubah.
Perlahan senyumannya memudar. Ia kembali mengingat siapa gadis yang ada di hadapannya itu. Ia menghembuskan nafas gusar.
"Kalau begitu, saya pamit dulu! Wassalamualaikum ..." salam Laila dengan menyunggingkan senyum.
"Waalaikumsalam Warahmatullaah ..." jawab Hilman. Ia tidak tersenyum, hanya sedang berpikir sesuatu.
Laila mengayuh sepedanya. Ia meninggalkan Hilman yang mematung menatap kepergian calon isterinya itu. Ia tersenyum hambar, dengan nasibnya. Seandainya yang dijodohkan bukanlah Laila yang sedang mengayuh sepeda, apa jadinya dia?
Ia pun menaiki motornya. Menstarter dan melajukannya dengan kecepatan sedang. Ia tidak bermaksud mendahului Laila. Lagian gadis itu telah jauh di depan. Laila mengendarai sepeda dengan cepat. Membuat Hilman bergumam, "Dasar calon isteri yang aneh." Sambil mengendarai motornya, Hilman memandang sampai Laila tidak kelihatan lagi.
Laila yang sudah sangat senang, setelah mendengar jawaban Hilman, dengan cepat, hendak menyusul tiga kurcaci tersebut. Sampai ia di tempat yang tidak bisa menggunakan sepeda lagi. Ia kemudian memarkirkan sepedanya. Ia menatap lurus ke arah tujuan yang telah diberitahu oleh tiga anak tersebut.
"Oke ... aku hanya perlu berjalan seratus meter, cari pohon kelapa gading melengkung ke bawah, terus cari tiga kurcaci kecilku. Hmmm," ujarnya. Ia seperti mendapat semangat baru tuk melanjutkan perjalanannya.
Tanpa menunggu lagi, ia kemudian berjalan cepat ke arah yang telah ditunjuk oleh tiga kurcaci. Ia sesekali menyenandungkan lagu sholawat untuk menemaninya melangkah.
Ia mencari sekeliling untuk mencari keberadaan tiga kurcaci, setelah sampai di depan pohon kelapa gading, yang memang melengkung ke bawah.
"Kemana mereka? Katanya mereka berada dekat sini!" ucapnya celingukan kanan kiri. Ia melihat ke atas, dan tidak menemukan mereka juga.
"Kakak!" panggil Ayub yang sedang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia sedang berada di pohon jambu yang berada di dekat pohon kelapa.
"Subhanalah ... kamu ngagetin aja, Ayub!" pekik Laila. Ia menoleh ke belakang, dan ia melihat pohon jambu biji yang sangat lebat buahnya. Ia tidak menyadari barusan, bahwa ia telah melihat keatas. Tetapi karena memang pohonnya lebat, ia tidak menemukan ke tiga anak itu.
"Hehe ... maaf, Kak. Habisnya kak Laila lama banget datangnya. Kayak dilamar pak Hilman saja," ucap Ayub dengan maksud becanda.
"Kok tahu?" Laila terkejut karena ia pikir, Ayub mengetahuinya. Ia menutup mulutnya, ia tidak mengira, kalau ia akan keceplosan seperti ini.
"Hayo ... jangan-jangan memang benar, yah?" goda Wawan yang sudah ada di bawah dengan buah jambu yang dibungkus dengan kaosnya.
"Astaghfirullah ... kalian mengagetkanku semua! Diyon, kamu dimana? Cuman kamu yang belum muncul. Awas yah, kalau ngagetin kakak juga!" ancam Laila dengan nada becanda. Ia celingukan arah pohon jambu itu.
"Kak, aku di sini!" jawab Diyon yang telah berada di belakang Laila. Membuat gadis itu terlonjak kaget.
"Subhanallah ... kalian bertiga, kenapa sih, ngagetin kakak? Kalau kakak jantungan, gimana?" cecar Laila dengan memegang dadanya.
"Hehehe ... ya maap yah! Habisnya sih, Kak Laila lama!" sela Diyon. "Lagian, aku enggak ikut manjat. Soalnya aku kalah hompimpah, jadinya aku yang harus mengumpulkan jambu!" lanjutnya dengan membawa jambu dengan kaosnya.
Laila menatap tiga anak yang telah berdiri di hadapannya. Ia melihat mereka telah membawa masing-masing buah jambu biji yang dimasukan ke kaos mereka. Laila heran dengan Diyon yang mengumpulkan buah jambu yang jatuh, tetapi nyatanya Wawan dan Ayub pun sudah membawa banyak buah.
"Tadi kamu katanya mengumpulkan buah yang jatuh, tetapi mereka juga membawa jambu di kaos mereka." Laila menatap Diyon dengan selidik.
"Oh, ya benar, aku kan ngumpulin buah yang tidak bisa mereka petik pakai tangan, jadinya mereka memakai galah, buat jatuhin jambu," terang Diyon. Ia memang tidak merasa bersalah. Ia juga tidak berniat untuk mengerjai Laila.
"Kak Laila sih ... yang telat. Jadinya kami habiskan semua!" ucap Ayub dengan santai.
"Kalian ini! Kenapa nggak nungguin kakak? Kan sudah lama kakak nggak manjat pohon," protes Laila, ia sebenarnya ingin sekali ikut memetik buah langsung di pohon, lalu memakannya. Nyatanya, realita tidak sesuai ekspektasi.
"Kakak kan cewek. Udah gede lagi. Masa mainnya manjat pohon? Harusnya kan kakak yang dipanjat!" canda Diyon yang telah terkontaminasi oleh beberapa orang tua mereka.
Kadang orang-orang desa, membicarakan Laila yang masih suka manjat pohon. Di usianya yang sudah bukan anak-anak lagi, ia masih dianggap sebagai anak kecil. Lagian ia sudah menuju masa dewasa, dan meninggalkan masa remajanya.
Seorang gadis yang sudah dewasa, umumnya tidak seperti Laila. Karena Laila adalah seorang gadis dewasa yang berbeda dari yang lainnya. Ia tidak suka dandan atau berias. Walau ia tidak memakai make-up, dirinya tetap putih, dan bersih.
***