Langit senja bersinar dengan terangnya, gadis kecil itu dengan raut wajah yang sangat kelelahan terkapar di tanah. Begitu juga dengan Roki, yang sejak tadi berlatih mengendalikan kekuatannya. Sebenarnya, masih ada satu kemampuan khusus miliknya yang harus di latih, namun kondisi yang sedang kelelahan membuat dirinya terpaksa menyudahi latihanya. Dengan kedua tangannya yang gemetar, Angela pun bangkit lalu dia berjalan sempoyongan masuk ke dalam.
Dan akhirnya gadis kecil itu ambruk di atas sofa. Maklum gadis kecil itu sudah melakukan latihan lima puluh kali tendangan, serta tiga puluh pukulan hari ini. Sebagai seseorang, yang baru saja menjalani latihan berat tentu saja akan sangat kelelahan. Padahal ada sebuah nasehat, yang harus dia dengarkan akan tetapi gadis itu sudah tertidur dengan pulasnya.
Kemudian dia berjalan seorang diri, menuju teras belakang lalu mengangkat baju yang sudah kering, dan meletakkan seluruh baju di atas ranjang kamar. Setelah itu dia berjalan menghampiri Angela, lalu mengangkat tubuhnya sejenak dan dia biarkan gadis kecil itu tidur dalam pangkuannya. Suara raungan di luar, membuatnya sedikit terkejut lalu dia melirik ke luar dengan rasa khawatir.
"Jangan khawatir nak, prisai rumah ini cukup kuat untuk menahan monster di luar sana. Walau pun hanya bertahan selama 24 jam, jika di serang terus menerus," ujar Sang Profesor muncul dalam wujud hologram mini.
"Secanggih apapun keamanan di rumah ini, tetap saja membuatku khawatir. Bisa saja sewaktu-waktu, prisai rumah ini bisa jebol."
"Tenang percayalah padaku nak, prisal ini mampu menahan serangan para monster dan zombie di luar sana. Kita berdoa saja, semoga tidak ada serangan apapun selain dua makhluk tersebut."
"Apa maksudmu?" Tanya Roki dengan rasa penasaran.
"Selain zombie dan monster, ada satu yang wajib kamu waspadai."
"Apa itu?"
"Para bandit, mereka adalah sekelompok kriminal bersenjata. Mereka tinggal dan membentuk sebuah wilayah tertentu. Pokoknya jika kamu bertemu dengan mereka, lawan dan jika tak mampu maka larilah," jawabnya dengan rasa khawatir.
"Baiklah aku akan waspada, sekarang sepertinya aku harus mempersiapkan makan malam dan tidur." Ucapnya sembari berjalan menuju dapur untuk bersiap memasak.
"Ingat nak, sekarang Jhon masih tertidur. Jadi tidak ada seorang pun yang berjaga di luar. Tidak mungkin menyuruh gadis kecil itu, berjaga sendirian bukan?"
"Sial kau benar Profesor, sudah waktunya bagiku untuk berjaga." Kata Roki dengan rasa kesal dan menyesal sudah menyuruh Jhon untuk tertidur terlebih dahulu.
Kemudian Roki pun langsung bergegas, mengambil segala keperluan di dalam lemari untuk memasak. Setelah semuanya sudah lengkap, kini Roki masukkan dua sendok minyak dalam wajan lalu memasukkan daging kaleng pada minyak yang sudah basah. Namun kali ini dia tambahkan susu, yang sempat dia temui pada lemari pendingin, walau ia tak tau susu jenis apa yang dirinya gunakan.
Dia pun mengaduknya, hingga semua tercampur serta dalam kematangan yang sempurna. Aroma khas daging kaleng, yang sudah matang mulai tercium lalu Angela mulai mengendusnya dalam keadaan mata tertutup. Kemudian Roki meletakkan masakannya di atas dua piring yang sudah ia cuci bersih. Dia pun berjalan, sembari membawa dua piring menuju meja makan. Tampak gadis kecil itu, duduk dengan rapih sembari memegang sebuah sendok di tangan kanan-nya.
Selesai meletakkan makanan di atas meja, gadis kecil itu langsung memakannya dengan lahap, di susul oleh Roki yang baru saja menikmati hidangan. Suasana makan hari ini cukup hening, hanya di temani suara piring dan sendok serta raungan tidak jelas dari luar. Lampu di ruangan menyala, ada juga satu dan dua lampu yang sudah mati. Udara sejuk yang berhembus, akibat kinerja mesin pendingin membuat mereka berdua mengantuk.
Namun Roki yang sadar akan situasinya, memaksa dirinya untuk tidak tidur. Kemudian mereka berdua pun berjalan menaiki anak tangga, lalu berjalan memasuki kamar. Roki pun memintanya untuk tidur, namun dirinya enggan untuk tidur kecuali Roki sudah berbaring tepat di sampingnya.
"Aku tidak bisa tidur gadis kecil, selagi Jhon sedang tertidur kini giliranku untuk berjaga," ucapnya sembari memakai celana panjangnya.
Angela pun terdiam, dia berbaring memeluk bantalnya sambil menatap Roki dengan raut wajah cemberut. Melihat hal itu Roki pun tersenyum, lalu dia terus berkemas. Selesai berkemas dia pun berjalan menuruni anak tangga. Kaos hitam di balut dengan mantel hijau dongker telah dia kenakan. Rompi dada, serta persenjataan telah dia bawa. Kedua tangannya memegang senapan M1 Garand, sambil berjalan dengan gagahnya.
Pistol sudah menempel erat pada sabuknya, serta Genix yang terus beroperasi setiap saat. Dia menatap halaman yang sudah gelap gulita, hanya ada beberapa lampu kecil menemaninya dalam gelap. Kemudian, dia pun duduk di teras depan beralaskan keramik dan kayu sembari menatap bintang. Terdengar suara langkah kaki kecil, mendekat ke arahnya lalu saat dia menoleh rupanya sosok itu adalah Angela.
Gadis kecil itu berlari mendekatinya, sembari memegang PM100 di kedua tangannya. Tak lupa di belakang punggungnya, Angela membawa senjata peninggalan kakaknya. Helm dan satu style pakaian telah dia kenakan, lalu dia pun tersenyum padanya dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
"Aku ingin ikut berjaga!" Ujar gadis kecil itu dengan semangat.
"Baiklah, sekarang letakkan senjatamu dan susun rapih. Jangan lupa agar kondisi senjata dalam keadaan terkunci. Selesai merapihkannya, pergi ke dapur dan bawa dua gelas air berukuran besar kemari. Kita berjaga disini hingga Jhon terbangun," perintah Roki pada gadis kecil itu.
"Siap kak!"
Gadis itu mengunci senjata miliknya terlebih dahulu, lalu menyenderkan senjata mereka berdua pada sebuah dinding. Setelah itu Angela pergi ke dapur mengambil segelas air berukuran besar, dan membawanya ke depan untuk di nikmati bersama-sama. Dia pun memberikan salah satu gelas pada Roki, lalu ia duduk tepat di sampingnya. Mereka berdua saling memberikan senyuman lalu menikmati indahnya langit malam.
"Sambil berjaga, aku akan bercerita," kata Roki.
"Cerita apa kak?" Tanya Angela dengan penasaran.
"Kisah seorang putri raja di dalam kastil naga."
"Wah! Ayo cepat cerita kak!"
Mendengar hal itu Roki pun merasa sangat senang, lalu dia pun mulai bercerita di awali oleh penculikan yang di lakukan oleh penyihir pada putri raja. Penculikan tersebut di lakukan atas dasar politik kekuasaan, agar Sang Raja menyerahkan kekuasaan pada Sang Penyihir. Kesaktian serta pasukan monster, yang dimiliki oleh Sang Penyihir membuat sebagian pasukan kerajaan tewas. Akhirnya diadakan sayembara, pada seluruh negeri agar ada seorang pria berani yang berhasil menyelamatkan Sang Putri dan mengalahkan penyihir.
Jika berhasil mengalahkan penyihir, serta menyelamatkan Sang Putri maka pemenang sayembara akan menjadi Sang Raja. Gadis kecil itu, mendengar kisah yang di ceritakan oleh Roki dengan sangat serius. Sorot matanya yang tajam, menatap orang yang bercerita di sampingnya. Mendengarkan setiap perkataannya dengan sangat baik. Kisah pun berlanjut, banyak para kesatria berdatangan lalu mereka pun pergi menyelamatkan Sang Putri namun tak ada satupun dari mereka yang kembali.
Hingga akhirnya, tidak ada lagi peserta baru yang tak berpartisipasi sehingga membuat Sang Raja frustasi. Ketika Sang Raja sedang di landa keputusasaan, datanglah seorang pemuda mengenakan baju rompi dari perunggu. Pemuda itu memiliki rambut ikal coklat, paras yang tidak terlalu tampan, serta memiliki postur tubuh ideal. Dia berasal dari sebuah desa terpencil, dari wilayah kerajaan tersebut.
Melihat penampilannya, Sang Raja pun sangat ragu namun tidak ada pilihan lain selain percaya kepadanya. Dengan penuh rasa hormat, pemuda itu pamit pada Sang Raja untuk menyelamatkan Sang Putri. Pemuda itu melangkahkan kakinya, sembari mengacungkan sebuah pedang sakti terbuat kristal hitam, besi, dan perak.
Pedang itu dia dapatkan dari seorang pengembara misterius, ketika pemuda itu menolongnya yang sedang di landa kelaparan. Sementara itu Sang Putri, berada di balik jeruji besi dalam castil hitam.,Dia menatap keluar, mengharapkan sebuah keajaiban dari Sang Pencipta. Sudah beberapa kali, para kesatria datang kemari namun mereka pun tewas di terkam oleh naga.
Tak hanya itu, banyak beberapa monster berbaju zirah berjaga sekitar kastil. Satu bulan telah berlalu, tubuh Sang Putri semakin kurus dan raut wajahnya pucat. Dia pasrah akan nasibnya, namun seorang pemuda secara diam-diam datang menghampirinya.Kemudian pemuda itu membuka kunci jeruji besi, lalu dia meraih tangannya keluar dari dalam penjara. Sang Putri sangat senang, lalu dia menggenggam tangan pemuda itu dengan sangat erat.
Secara bergerilya mereka berdua, membunuh penjaga dan berjalan meninggalkan kastil. Dalam pelarianya, timbul rasa asmara pada mereka berdua. Berbagai nuansa romantis, telah mereka alami. Bersama-sama mereka berjalan, serta menghadapi berbagai rintangan atas dasar cinta.
Aksi yang di lakukan oleh mereka berdua, tercium oleh Sang Penyihir. Lalu penyihir itu mengirimkan naga peliharaannya, untuk membunuh pemuda tersebut dan membawa Sang Putri kembali masuk ke dalam kastil. Aksi kejar-kejaran, tak terhindarkan pergerakan naga yang lincah membuat naga itu berhasil menyusul mereka berdua. Kini naga itu berdiri tegap, lalu menyemburkan api di hadapan mereka berdua.
"Larilah putri! Biar aku yang hadapi naga sialan ini!" sembari mengacungkan pedangnya.
"Tidak! Aku tidak ingin meninggalkanmu. Dari pada aku kembali berada di kastil, lebih baik aku mati!" gertaknya dengan gagah berani.
Pemuda itu tersenyum, lalu dia langsung berlari menyerang naga itu seorang diri. Kedua tangannya memegang dengan sangat erat, sembari menghindar hembusan api yang sangat panas. Sang Putri menghujani naga itu dengan panah, namun kulit naga tersebut sangatlah keras. Sehingga tak ada satu pun anak panah yang berhasil menembus kulitnya. Ketika pandangan Sang Naga sedang teralihkan, pemuda itu langsung melompat dan menusuk jantung naga.
Darah mengucur dengan derasnya, naga itu merintih kesakitan lalu menghembuskan api sehingga lengan kiri pemuda itu terbakar. Dengan sirgap pemuda itu menggulingkan tubuhnya, di atas tanah untuk memadamkan api. Setelah itu dia cabut pedang miliknya, lalu dia menebas kepala Sang Naga dengan pedang saktinya. Dan akhirnya naga itu tewas, penyihir itu sangat marah lalu dia turun tangan untuk membunuh pemuda tersebut.
Belum sempat mereka berdua beristirahat, munculah penyihir dalam kegelapan. Sorot matanya yang tajam, berbaju serba hitam berjalan mendekati mereka berdua. Dengan sirgap, pemuda itu berdiri lalu meraih pedangnya berhadapan satu lawan satu dengan Sang Penyihir. Sedangkan Sang Putri, hanya terdiam menyaksikan pemuda itu mengorbankan nyawanya. Sebenarnya dia ingin sekali membantu, namun rasa takut mencegah untuk melakukannya.
Dan terjadilah pertarungan, antar hidup dan mati diantara mereka berdua. Darah pun mulai menetes, tubuh pemuda itu mulai hangus ketika penyihir itu menyerangnya dengan sihir kilatnya. Berkali-kali dia melayang dan hempaskan ke tanah, tubuhnya terasa remuk ketika akar sempat melilit tubuhnya. Sedangkan penyihir itu, menahan rasa sakit pada lengan kiri ketika pemuda itu sebelumnya berhasil memenggal lengan kirinya.
Raut wajah penyihir itu semakin pucat, darah semakin mengucur dengan derasnya. Dia berjalan, mendekati pemuda itu yang sedang terbaring lemah di atas tanah. Ketika ajal pemuda itu semakin dekat, tiba-tiba sebuah anak panah berhasil menancap di kepala Sang Penyihir. Seketika penyihir itu terbujur kaku di atas tanah, lalu pemuda itu melirik siapa yang sudah, berhasil membunuh Sang Penyihir.
Dan orang itu ternyata adalah Sang Putri, lalu pemuda tersebut tersenyum dengan leganya. Kemudian mereka berjalan sempoyongan, kembali ke kerajaan. Satu bulan telah berlalu, mereka berdua akhirnya sampai di kerajaan. Sang putri langsung memeluk ayahnya, sedangkan pemuda itu di rawat pengan seorang tabib kerajaan hingga sembuh.
Setelah pemuda itu sembuh, sesuai janji dari Sang Raja dia mendapatkan tahtah kerajaan. Lalu dia pun melamar Sang Putri untuk menjadi pendamping hidupnya. Sedangkan ayahnya menikmati masa tua dengan tenang. Pemerintahannya yang adil dan bijaksana, membuat kehidupan di kerajaan menjadi sejahtera. Rakyat berteriak memanggilnya, dengan sebutan Raja Alvin.
"Tamat."
"Wah cerita yang sangat bagus kak, Angela sangat suka," kata gadis kecil itu.
"Syukurlah aku senang mendengarnya." Ucapnya lalu memandang gadis kecil itu yang sedang menatapnya. "Hei Angela," sapa Roki.
"Iya kak?"
"Suatu hari nanti, kuyakin kamu akan menemukan seorang pangeran. Sosok yang selalu melindungimu, serta merawat dengan setulus hati. Memang, untuk menemukannya tidaklah mudah. Kuyakin pasti kamu menemukannya, tapi kalau sudah ketemu peluk saja," ucapnya pada gadis kecil itu.
Tiba-tiba gadis kecil itu memeluknya, lalu ia menatap Roki dengan wajah polosnya. Melihat hal itu Roki sedikit salah tingkah, lalu dia melepaskan pelukkannya namun Angela semakin mempererat pelukkannya. Dia berkata, bahwa dirinya sudah menemukan pangeran yang dia cari, dan orang itu adalah Roki sendiri.
"Aku ingin menikah dengan kakak! Kakak adalah pangeranku," ucapnya dengan suara cukup lantang.
"Ha.ha.ha apa yang kamu bicarakan gadis kecil, tinggimu saja 150 cm. Sedangkan aku 170 cm, tapi jika kamu sudah memiliki tinggi sebahu aku janji akan menikahimu," ucapnya sembari mendekati wajahnya lalu mengusap helmnya dengan lembut.
"Selamat anak muda, kamu berhasil melamar seorang wanita," kata Profesor muncul secara tiba-tiba dalam wujud hologram mini.
"Apa yang kamu bicarakan Profesor? Mana mungkin aku melamar seorang gadis kecil, memangnya aku lolicon?" Ujarnya sembari berjalan meninggalkan Angela yang sedang melamun dalam kasmaran.
"Tetap saja, berkata seperti itu sama halnya melakukan lamaran. Tapi tidak masalah, dua atau tiga tahun lagi dia akan menjadi sosok gadis yang sangat cantik. Jadi kau tinggal memetiknya saja." Kata Sang Profesor.
"Ha.ha.ha Profesor bisa saja, secantik apapun dirinya. Aku bukanlah lelaki yang pantas, masih banyak lelaki di luar sana yang lebih pantas menjadi kandidat terbaik untuknya," Ucapnya sambil memandang bintang.