Pagi yang cerah di akhir minggu membuat semangat siapa pun akan bangkit. Langit membentang terlihat jelas tanpa gulungan awan yang menghalangi. Sang surya baru saja menampakkan diri dari balik pegunungan nan asri. Udara segar yang belum terpapar polusi serasa menjadi makanan terbaik bagi setiap napas ini. Deretan sawah yang mulai menguning dihiasi burung-burung liar yang berterbangan kesana-kemari. Mungkin alam sedang bersuka cita menyambut datangnya hari. Lukisan Tuhan memang selalu mampu membuat mata tak mampu berkedip. Sayangnya suasana sedamai ini tak bisa dinikmati oleh semua orang. Kebanyakan lahan telah terpakai untuk keperluan industri dan hunian. Hingga lukisan Tuhan yang elok perlahan tergerus oleh pembangunan. Dasar manusia.
Namun, beberapa orang terlalu menikmati hidup hingga yang ia lihat hanyalah kesenangan dan kegembiraan. Misalnya saja Danang, salah satu siswa paling populer di SMA Negeri 1 Wonosobo. Bukan tampang rupawan yang membuatnya dikenal, tapi sikapnya selalu membuat semua orang disekitarnya tertawa dengan selera humor yang berkualitas. Tak ada yang tahu kenapa dia selalu saja memasuki gerbang sekolah saat waktu menunjukkan waktu pukul enam lebih empat puluh, tidak kurang dan tidak lebih. Dia lebih senang menggunakan lahan parkir yang berlokasi di dekat jalan masuk sekolah, padahal masih banyak ruang di parkiran depan kantor guru. Mungkin karena agar lebih mudah mengeluarkan motornya saat pulang nanti, maklum saja saat jam pelajaran berakhir seluruh penghuni SMANSA akan menyerbu tempat parkir secara bersamaan. Lebih baik mengantisipasi hal buruk terjadi atau kau akan terjebak di sana selama beberapa saat.
Suasana hatinya sebaik pagi itu. Ia melihat beberapa guru telah berjajar di depan ruang kaca, menyambut kedatangan para murid dengan sapaan hangat serta cium tangan. Pembiasaan seperti ini tentu saja dengan maksud menanamkan budi pekerti dan karakter baik dalam diri setiap peserta didik. Diharapkan para generasi penerus bangsa ini akan mengetahui bagaimana cara menyikapi dunia. Hanya saja, setiap insan memiliki pemikiran yang unik dan sangat berbeda satu dengan lainnya. Danang adalah salah satu remaja yang menjunjung tinggi kehendak bebas.
Saat sampai pada seorang guru terakhir di barisan, ia memilih untuk berbincang sebentar dengan beliau yang paling dikenal baik olehnya itu. "Pagi, Pak Gun," sapa Danang dengan memamerkan gigi putihnya.
"Pagi juga, Danang." Pak Gun memiliki kedekatan tersendiri dengan Danang karena ia sangat berbakat di mata pelajaran yang diampu, Sejarah Indonesia. Sungguh potret anak MIPA yang langka.
"Pak, nanti kita jadi diskusi, 'kan? Di kelas XII MIPA 4, jam pertama setelah jumat bersih."
"Oh, ya jelas jadi. Kamu udah nyiapin pertanyaan?"
"Udah dong, Pak. Pokoknya nanti aku mau yang paling semangat tanya. Hehe."
"Ya udah, sana ke kelas. Persiapan dulu," ujar Pak Gun mengakhiri pembicaraan seraya menyambut murid-murid yang lain.
"Oke, Pak," saut Danang sambil lalu.
Ia pun berjalan memutari UKS menuju lapangan upacara, melewati deretan kelas XII IPS yang ada di sisi kanannya. Untung saja Pak Gun tak menanyakan perihal pasangan diskusinya nanti, si Andi. Ia baru saja mendapat balasan pesan pada jam setengah dua dini hari. Mereka membagi tugas dan telah memahami bagian masing-masing. Tak perlu perdebatan yang panjang, Andi hanya menyetujui apa yang dikatakan Danang di pesan chat. Apakah Andi marah padanya karena kejadian kemarin? Semua orang tahu itu cuma lelucon. Tapi, ia pikir Andi bukan tipe orang seperti itu. Semoga saja tak ada yang terjadi, ia langsung menaiki tangga lingkar dan memasuki kelas.
Sementara itu, tepat di pertigaan jalan menuju gerbang depan, Jaka menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Di sebelah kursi kemudi, Andi nampak tak senang pergi ke sekolah walau ini merpakan keputusannya sendiri. Entahlah, fisiknya belum sepenuhnya pulih dari kejadian semalam. Mentalnya juga tergoncang mendapati jika sang ayah ternyata memiliki pengetahuan lebih akan hal-hal supranatural. Satu orang lagi yang duduk di kursi belakang—yaitu Siska—hanya terlihat membisu. Ia tahu jika Andi baru saja mengalami kecelakaan, tapi tak ada keluhan yang berarti dari kekasihnya itu. Jadi, mungkin segalanya memang baik-baik saja.
"Makasih buat tumpangannya, Pak Jaka," kata Siska memecah kesunyian.
"Sama-sama, Siska." Jaka melukiskan senyuman manis di kaca spion mobil sambil menatap orang yang ada di kursi belakang.
"Andi, mau bareng nggak?"
"Ehm, duluan aja, Sis. Nanti pulangnya aku tungguin di tangga lingkar ya," balas Andi tanpa menoleh ke belakang."
"Oke deh. Duluan, Andi. Mari, Pak."
Dalam sekejap Siska melompat keluar dan mulai pergi menjauh menuju gerbang utama sekolah. Hingga gadis itu menghilang dari pandangan, barulah Jaka mulai mengatakan beberapa hal.
"Ayah mau keluar kota nanti, nanti pulangnya paling jam satu malem atau besok pagi. Nggak papa kan kalau nanti pulangnya pesen ojol? Yang pake mobil aja biar bisa bareng Siska."
"Iya, nggak papa," jawab Andi singkat. Tak ada pembicaraan berarti setelah itu, Andi membuka pintu mobil setelah melihat arlojinya yang menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat. "Masih banyak hal yang perlu kita bahas," imbuhnya lagi sebelum kembali menutup pintu dan bergabung bersama dengan deretan murid lain yang juga sedang berjalan menuju gerbang sekolah.
"Ya, Ayah tahu kamu jengkel sama Ayah. Tapi ini bukan perang kamu, Nak," gumam Jaka pelan.
Terkadang hubungan antara ayah dan anak lelakinya memang bisa dibilang cukup rumit. Sebenarnya mereka sama-sama ingin mengenal satu sama lain secara lebih mendalam, saling terbuka dengan segala hal yang telah dialami. Namun, ego memisahkan keduanya sejauh bumi dan langit. Andi menganggap ayahnya terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sedangkan Jaka berpikir putranya itu telah dewasa dan tak perlu membutuhkan nasihat apapun lagi. Jadi, bisa dikatakan keduanya sama-sama saling tidak peduli. Mungkin Andi memang menganggap ayahnya sekadar orang yang tinggal serumah dengannya, tapi satu hal yang pasti jika ia berharap hari ini akan berjalan lebih baik tanpa bisikan dari suara misterius yang hanya didengar olehnya itu. Walau bagaimanapun, ia harus menunjukkan sedikit rasa terima kasih pada ayahnya itu cepat atau lambat.
"Andi!" Terdengar pekikan yang cukup keras ketika dirinya baru saja menginjakkan kaki di kelas XII MIPA 4. Pandangannya menyapu seluruh ruangan guna mencari sumber suara. Ternyata, itu adalah suara teman sebangku Andi yang biasa ia panggil dengan sapaan Raf. "Tumben kamu baru berangkat, biasanya jam setengah tujuh aja udah nyampe sini."
Ia pun berjalan menuju meja pertama di sudut ruangan dan menemui Rafi. "Aku nggak bawa motor, Ayah yang nganterin aku." Setelah meletakkan tas di kursi tempat duduk, Andi melepas jaket hitam polosnya dan menggulungnya begitu saja di atas meja. Tak lama kemudian ia mulai mencari sesuatu dari dalam tas.
Menyadari ada sesuatu yang berbeda dengan tangan kanan Andi, Rafi pun tak sungkan bertanya. "Tanganmu kenapa?"
"Nggak papa," balas Andi singkat.
Beberapa saat kemudian ketika ia menemukan apa yang ia cari—lembaran-lembaran latihan soal OSN Astronomi—Rafi kembali bertanya. "Jatuh dari motor ya?"
"Ya, Ayah tahu kamu jengkel sama Ayah. Tapi ini bukan perang kamu, Nak."