"Habis ini, kita pulang," ujar Jaka yang langsung menghilang dari pandangan. Ia tak mau membiarkan anaknya berlama-lama di rumah sakit. Setelah menyelesaikan urusan administrasi dan membawa barang-barang ke mobil, ia akan langsung membawa Andi kembali ke rumah.
Pernahkah kau bertanya, kenapa? Kenapa terkadang Tuhan terlihat begitu pilih kasih terhadap makhluk-Nya? "Hidup memang tidak adil," amin untuk itu. Pemikiranmu cenderung melihat Dia sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas segala nasib buruk yang menimpa manusia dan itu tidak sepenuhnya salah. Dia memang Yang Maha Kuasa, Dia berhak melakukan apapun tanpa perintah dari siapapun. Sebenarnya, manusialah yang tak pandai bersyukur. Mereka lebih mengingat keburukan yang membuat mereka buta akan kebaikan-kebaikan yang kenyataannya lebih banyak. Ya, memang seperti itulah kejahatan. Hidup ini seperti sebuah jaring-jaring besar dengan segala kompleksitasnya. Entah bagaimana segala hal saling terbubung. Jika Dia berkenan, bahkan 'yang-telah-tertulis' akan kembali diubah. Tak ada satu pun semut yang tersesat dari kawanannya atau debu yang jatuh dari seorang pengelana melainkan atas sepengetahuan-Nya.
Andi jarang melakukan perenungan semacam ini sebelumnya. Kesibukan dari formalitas membuatnya tak sempat memikirkan hal-hal yang lebih spekulatif.
"Trik paling hebat dari Sang Iblis adalah berhasil meyakinkan manusia bahwa ia tidak pernah ada ...," sapa bisikan misterius.
Tolong, untuk sejenak biarkan jiwa muda yang tak bersalah itu beristirahat. Hanya saja, penguasa kejahatan telah kehilangan belas kasihan. Ia akan terus mengejar mangsanya, tak peduli apapun yang menghalangi. Tujuh Dosa Mematikan, ia jugalah yang membuatnya. Pemberontakan besar yang terjadi atas dasar kesombongan, menginginkan segala hal menjadi miliknya, tidak senang jika ada satu dzat pun yang lebih baik darinya, hingga terbakar api murka yang menggelegar. Hawa nafsu ia samakan dengan hasrat kehidupan, ia memakan apa yang seharusnya menjadi hak orang lain, dan pada akhirnya ia menginginkan segala kenikmatan duniawi tercapai hanya dengan bermalas-malasan. Andi adalah mangsa penguasa kegelapan, jiwanya kini benar-benar dalam bahaya.
"Aku lelah," gumamnya malas.
"Ayah tahu kamu lelah." Tanpa sadar, Jaka telah berada di dekatnya. Ia kembali dengan sebotol air mineral yang langsung ia berikan kepada Andi. "Kita pulang sekarang."
"Lupain aja yang tadi, Ayah," sautnya sebelum membuka tutup botol dan menenggak isinya sampai hanya tersisa setengah. Kini, Andi telah mengenakan sweeter abu-abunya dan tengah terduduk dengan kaki tergantung di sisi ranjang. "Mungkin suara itu bakal hilang sendiri besok."
"Ayah harap juga begitu." Dengan suka rela Jaka berlutut di hadapan putranya itu dan memakaikan sepatu Andi. Dia melakukannya dengan sangat berhati-hati, seolah yang ada di tangannya adalah sebuah guci yang telah retak. "Kamu bisa ambil cuti besok kalau kamu mau."
"Nggak usah. Lagian besok Jumat terakhir sebelum PAS, paling habis istirahat pertama terus beres-beres kelas. Makasih, Ayah." Setelah selesai, Jaka tak langsung mengajaknya pergi. Ia memutuskan untuk duduk berdampingan di sisi putranya dan mendengarkan setiap kata yang terlontar dari mulut Andi. "Oh ya, besok ada penilaian Sejarah Indonesia. Terus aku belum nyerahin latihan soal OSN astronomi, padahal udah selesai tiga hari yang lalu."
"Kamu yakin?"
Andi pun menatap ayahnya itu dengan sangat meyakinkan. "Aku nggak papa, Ayah."
Baru saja ia selesai mengakhiri kalimatnya, sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya kembali terulang. Mendadak suasana menjadi hening sepenuhnya, segala aktivitas di ruangan itu terhenti dalam sekejap. Andi masih mempertahankan pandangannya pada Jaka, namun bayangan yang sebelumnya sangat jelas kini memburam. Perlahan, denging yang sama sayup-sayup kembali terdengar.
"Andi?" Tak ada respon berarti darinya. "Andi? Kamu baik-baik aja?" Kini tatapannya benar-benar kosong. Sesaat kemudian, Andi memekik kesakitan.
"Arkh!" Kedua tangannya spontan meraih daun telinga dan berusaha sebisa mungkin untuk menutupnya. Tubuhnya langsung tertunduk dengan raut wajah menahan lara. "ARGKH!"
Melihat reaksi dari anaknya, buru-buru Jaka bangkit dan kembali berlutut di hadapan Andi. Ia tahu benar apa yang terjadi sekarang, dengingan itu sedang menyiksa Andi dan akan semakin menjadi-jadi. "Andi, lihat Ayah, Nak." Namun, sepertinya Andi sudah tak bisa lagi mendengarnya. Putranya sedang benar-benar kesakitan sekarang. Tentu saja Jaka sangat khawatir saat itu, tapi setidaknya ia tahu harus berbuat apa. Dengan lembut ia meraih kepala Andi dengan kedua tangannya ....
"Ayah!"
"Tidak apa-apa, Nak. Ini cuma Ayah. Biarkan Ayah masuk, tolong." Mata Jaka terpejam, kening mereka bertemu, dan ia mulai merapalkan sesuatu dari mulutnya. "Gia chári tou kyverníti pou dimioúgise ton kósmo. Gia chári tou fotós ...."
"Diam kamu!" Andi berusaha keluar dari jangkauan sang ayah, tapi tangan Jaka menggenggam kuat kepalanya.
"Gia tous theoús tou parelthóntos. Kai gia ton aiónió ángelo fýlaka ...."
"Dia datang, Ayah .... DIAM!" Suara Andi terdengar berbeda dari biasanya. Ia terlihat lebih ... liar.
"Enóste tin psychí mou me to paidí mou. Áse to paidí mou na zísei eftychós, áse me na ypomeíno ta deiná ...."
Jaka mengakhirinya dengan mencium kening Andi, kemudian segalanya menjadi satu.
***
Tidak ada yang abadi. Segalanya pasti akan rusak seiring dengan berjalannya waktu. Ada yang menganggap waktu hanyalah sebuah ilusi yang tak pasti, relatif antara satu orang dengan yang lain. Sebagian menganggap waktu bisa dilambangkan dengan bilangan dan diukur dengan akal. Tapi yang jelas, waktu membuat segalanya menjadi fana. Ada kalanya kesadaran manusia berkembang begitu pesat hingga mencapai kemajuan yang sungguh luar biasa sampai-sampai 'para Dewa' bisa merasakannya. Setelah itu, kemunduran terjadi sama hebatnya hingga manusia telah kehilangan tonggak yang seharusnya menjadi pegangan. Saat itu terjadi, seseorang harus mengembalikan umat manusia ke jalan yang seharusnya.
"Tentu saja. Hutan Kematian. Kenapa tak terpikir olehku?"
Tempat di mana tak ada makhluk hidup yang bisa bertahan dari racun kegelapan yang sangat pekat. Sebentar, biar kuingat-ingat dulu. Terakhir kali aku mengunjungi tempat ini, sedang terjadi pergolakan waktu dalam realita. Yang kumaksud memanglah kekacauan garis ruang dan waktu, secara harfiah. Tapi lupakan saja. Kini setelah sekian lama, sekali lagi diriku kembali terseret ke dalam kegelapan murni, sendiri, tanpa siapapun yang menemani. Aku kemari bukan untuk menyelamatkan dunia, aku hanya menginginkan jiwa seseorang.
Kuhirup napasku dalam-dalam, aku merindukan aroma keputusasaan seperti ini. Tanah yang retak karena tak terkena hujan, hingga batang pohon lengkap dengan dahan dan ranting yang kebanyakan masih mampu berdiri memenuhi hutan. Kukira ketika sebuah pohon mati maka batangnya juga akan roboh, cepat atau lambat pasti begitu. Sepertinya itu tak berlaku di sini. Cabang-cabang kayu kering terkena sinar bulan darah menambah aura kematian menjadi semakin terasa. Sejauh mata memandang yang ada hanyalah wilayah tandus nan gersang dalam gelapnya malam tiada akhir.
"Semakin jauh kau pergi, semakin dalam kau tenggelam ...."
"Kematian akan selalu menyertaimu," balasku pada suara tak dikenal.
Apa yang membuat para pembaca menikmati karyaku sampai sejauh ini?