'Ting tong!'
Kudengar bel pintu berbunyi kembali. Aku agak takut, kalau-kalau pemburu Tuan Fujisaki yang datang. Namun, setelah memastikan lewat interkom siapa tamunya, aku merasa sangat bodoh karena terlalu panik dan berpikir yang tidak-tidak. Aku pun membuka pintu untuk Tuan Hari yang ternyata datang membawa beberapa set pajama dan baju ganti.
"Aku rasa ... ehm ... pamanmu membutuhkan ini," jelas Tuan Hari agak ragu menyebut Tuan Fujisaki sebagai pamanku. Pandangannya menyiratkan bahwa dia tahu aku sudah berbohong. Namun, pilihan untuk tidak berkomentar apa pun, membuatku sangat menghargai sikap profesionalnya.
"Aku juga menambahkan sesuatu, semoga pas untuknya," katanya sambil menunjuk plastik berwarna gelap.
Melihat gelagat canggung Tuan Hari, kutebak isinya adalah pakaian dalam sekali pakai. Aku pun lalu mengangguk dan mengucapkan banyak terimakasih pada Tuan Hari. Dia kemudian berpamitan, sambil menatapku penuh arti. Aku tak bisa menebak isi kepalanya, tapi aku dapat menangkap kekhawatiran yang berkecamuk di kepalanya.
Di saat tidak ada seorang pun yang peduli padamu, hal yang ditunjukkan Tuan Hari, terasa sangat berharga. Aku sangat memaklumi bahwa dia tidak ingin terlibat lebih jauh lagi karena khawatir akan keselamatan keluarganya. Bagaimanapun juga, aura yang dibawa Tuan Fujisaki saat ini, tetap saja mengancam keselamatan orang yang berada di sekitarnya.
Aku menutup pintu setelah Tuan Hari pergi. Kuserahkan paket baju ganti yang diberikan Tuan Hari kepada Tuan Fujisaki, dan menambahkan handuk bersih, mempersilakannya untuk mandi lebih dahulu. Setelah membalut lukanya dengan plastic wrap, dia pun tak membuang waktu lagi untuk segera mandi.
Tak lama berselang, dia keluar dari kamar mandi. Kurasa dia cukup tahu diri untuk tak berlama-lama berendam di bathtub. Bisa jadi juga karena kondisinya tak memungkinkan. Entah yang mana, yang jelas, aku senang tak perlu menunggu lama dan bisa segera berendam.
Di kamar mandi, barulah aku menyadari alasan lain yang mungkin, kenapa Tuan Fujisaki tidak lama-lama memakai kamar mandi. Walaupun dikunci, tetap saja tidak nyaman bila menyadari ada orang asing di dalam rumah. Karena itulah, aku tidak jadi memakai bathtub dan hanya mandi dengan shower seperlunya.
Setelah selesai mandi dan mengeringkan rambut dengan hair dryer, aku kembali ke ruang tamu untuk menemui Tuan Fujisaki. Saat kubuka pintu, kulihat dia terkesiap karena mendengar suara pintu yang tergeser.
"Maaf, aku tidak tahu anda sedang tidur," gumamku pelan, merasa bersalah telah mengganggu tidurnya. Dia menggeleng sambil tersenyum. Baru kusadari, ternyata pria di depanku ternyata ... ehm ... memiliki paras yang menarik.
Ehm ... kalian tahu maksudku, kan?
Rambutnya agak panjang berponi cukup panjang juga, hampir menutupi mata. Namun, sehabis mandi, dia menyibakkan rambutnya ke belakang, membuat wajahnya yang cerah terekspose. Di sudut kanan bibir dan pipinya terdapat lebam, mungkin saat dia sedang berusaha menyelamatkan diri dari pemburunya. Kuamati lebih jauh, di pelipis kirinya, juga terdapat lebam dengan area yang lebih kecil.
Namun, daripada memikirkan betapa sakitnya luka yang dialami Tuan Fujisaki, aku justru memikirkan hal lain yang kurang relevan. Bagaimana mungkin dengan jumlah lebam sebanyak itu, Tuan Fujisaki tetap terlihat tampan? Sungguh sulit dipercaya. Di saat seperti inilah, aku percaya bahwa manusia tidak boleh malas mandi agar tidak terlihat buruk rupa.
Selama ini, figur yang sering muncul di media adalah Fujisaki Toru, ayahnya, yang juga berwajah rupawan untuk ukuran pria berusia enam puluh tahunan. Namun, aku baru ingat, bahwa beberapa hari yang lalu, tersiar kabar kematian Fujisaki Toru. Apakah hal ini berkaitan dengan hal naas yang dialaminya hari ini? Entahlah.
Daripada memikirkan hal yang belum pasti, seharusnya lebih baik fokus pada hal terkait 'keselamatanku' malam ini. Jujur saja, aku merasa tidak nyaman tidur seatap bersama orang asing semalaman. Karena itulah, begadang terdengar seperti sebuah solusi yang tidak buruk. Lagipula, besok adalah hari Minggu. Jadi, aku bisa menghabiskan waktu untuk tidur seharian, tanpa perlu mengkhawatirkan ketinggalan kelas.
"Tidurlah di kamar, saya akan menyalakan heater tambahan dan selimut listrik agar lebih hangat," kataku mempersilakan sambil menyalakan heater listrik dan selimut listriknya.
"Terimakasih. Tapi aku sudah banyak merepotkanmu. Aku tidur di sini saja," jawabnya bersikeras untuk tidur di ruang tamu.
Daripada berdebat, aku memilih untuk mengeluarkan futon set milik Aini yang masih belum dibuang, karena biasanya banyak pelajar asing yang membutuhkan. Mereka menerima barang bekas layak pakai untuk menghemat pengeluaran. Kami pun senang karena tidak harus mengeluarkan uang ekstra untuk membuang futon.
Pemerintah kota Sendai tidak menangani pembuangan benda-benda yang berukuran besar seperti futon, kulkas, meja, atau kursi. Jadi, untuk membuang benda-benda sebesar ini, kami harus membayar uang yang tidak sedikit. Karena itulah, bila ada yang bersedia memakai barang bekas, kami akan sangat senang.
Kucium futon milik Aini untuk mengecek kelayakannya. Masih layak untuk langsung dipakai. Apalagi di dalamnya terdapat selimut listrik dengan kondisi yang bagus juga. Selama tiga bulan berada di lemari dan dibungkus plastik, membuat futon set ini tetap terasa segar. Tentu saja, sebelumnya Aini telah membersihkannya di laundry terlebih dahulu sebelum disimpan.
"Sudah siap," seruku setelah selesai menggelar futon dan memasang selimut listrik di balik alas. "Silakan kalau hendak istirahat," tambahku sambil memaksakan senyuman agar suasana tidak canggung.
Kruyuuukk!
Terdengar suara perut keroncongan. Aku dan Tuan Fujisaki berpandangan, bertanya-tanya perut siapakah gerangan yang berbunyi. Kemudian, aku menyadari bahwa tadi belum sempat makan malam. Pastinya, Tuan Fujisaki juga belum.
"Aku akan menghangatkan makanan sebentar," ujarku sambil menggelengkan kepala, tak percaya akan kelalaian yang kuperbuat. Hampir saja ada pasien yang kubiarkan tidur dalam keadaan kelaparan. Segera kuhangatkan nasi instan dan ikan kaleng di microwave, sambil bersyukur karena aku membeli dua porsi. Kurasa, aku akan memasak untuk besok pagi.
"Maaf, aku tidak mempunyai meja makan, jadi, aku harap anda tidak keberatan bila harus makan di meja kotatsu," ujarku saat menyajikan makanan ala kadarnya di meja kotatsu yang tertutup selimut listrik tebal sebagai sumber panas.
"Tidak masalah," balasnya dengan pelan. "Kumohon berhentilah meminta maaf. Justru akulah yang telah banyak merepotkanmu," tambahnya dengan merasa sangat bersalah.
Aku pun membalas pernyataan Tuan Fujisaki dengan senyuman singkat, kemudian memilih untuk melanjutkan aktivitas menyiapkan makanan. Kukeluarkan salad dan buah potong dari kulkas. Kusiapkan pula botol mayonais, shoyu, dan ketchup sebagai pelengkap. Tak lupa aku mengambil air dari wastafel untuk minum.
Setelah semuanya siap, kami pun duduk berhadapan di sisi kotatsu, memasukkan kaki di bawah selimut yang menutupi kotatsu agar terasa hangat. Tentu saja kami berdua tidak selonjor, agar kaki kami tidak saling bersentuhan.
"Itadakimasu ...," seru kami berdua bersamaan.
Makanan yang kami nikmati tentulah jauh dari kata mewah. Namun, entah mengapa terasa sangat nikmat. Entah karena kami sangat kelaparan atau karena makan bersama orang lain memang lebih menyenangkan. Ataukah mungkin, karena kombinasi keduanya?
Begitu wajar ....
Begitu nyaman ....
Begitu tenang ....
Ketenangan saat ini, bahkan sampai membuatku melupakan sedihnya hati karena cinta yang kandas ....
Catatan:
Shoyu: kecap asin khas Jepang.
Itadakimasu: Selamat makan.
Hi pembaca,
Terimakasih sudah membaca ceritaku sampai sejauh ini.
Di cerita dengan setting Jepang kali ini, aku membuatnya supaya lebih mudah dicerna. Kuhilangkan sebanyak mungkin istilah Jepang dan Bahasa Jepang.
Namun, bila kalian tetap merasa bingung, janganlah ragu bertanya.
Aku bakal berusaha menjelaskan dengan senang hati.
Salam,
Silver E.