Raiga POV
"Hallo... Fi?. "
Aku menjawab telponnya dengan sesantai mungkin.
"Woy! Raiga. Kemana aja sih. Anak anak pada nyariin nih. " Seperti dugaan, si nenek sihir nampak tidak senang disebrang sana.
Aku mengusap usap telingaku yang berdengung dan menempelkan ponsel pada telingaku lagi. Sambil menghela napas.
"Fi, aku kan udah bilang tadi pagi, biar aku sendiri yang nyari band buat konser besok, kok kamu marah sih?. " aku bicara setenang mungkin agar dia tidak curiga.
"Nyari kemana hah?! Aku yakin kamu cuma lagi leha leha dikamar. " sahutnya yang masih terdengar nyolot.
"Eh, sembarangan banget kalo suuzon. "
Wait?! Lah, emang sih. Dari tadi kan aku cuma diem aja di kamar si Preinan. Hah.. Suuzon thinking si nenek sihir nakutin juga.
"Emang sekarang udah dapet bandnya?. "
Pertanyaan itu membuatku mematung.
Sial, mesti jawab apa nih..
"Emm, gini Fi.. "
"Tuhkan!!! Pasti nggak dapet. " mulut toanya bener bener berisik.
"Bukan nggak, ya! Tapi belom. Sabar kek, kan lagi diusahain ini. "
"Awas aja ya, kalo nggak dapet. Aku bakal bikin kamu yang nyanyi diatas panggung nanti. " ancam si nenek sihir
"Iya, Fiya sayang... Sesukamu aja, ya. " aku menutup telpon itu tanpa nunggu si Fiya ngoceh lagi.
Euh, gila..
Hari ini bener bener kacau.
Aku menggaruk garuk rambutku dengan bingung sambil mondar mandir disekitar sofa.
Nyari band buat tampil besok dimana coba?!
Bingung banget gusti.
"Uhuk!.. Uhuk!.. "
Suara batuk mengalihkan perhatianku sejenak.
"Prei.. " aku dengan cepat menghampirinya dan memberikan gelas air yang ada diatas nakas.
"Nggak apa apa? Sini, biar aku bantu duduk. "
Aku merangkul punggungnya dan menaikan bantal untuk dia bersandar.
"Kamu? Ngapain disini?. " Tatapan mata sinisnya menjurus ke arahku.
"Nggak inget? Eh.. Jangan bilang kalo... "
"Apa?. "
"Kamu nggak amnesia, kan?. "
Aku meraba raba wajahnya untuk mencari sesuatu yang mungkin nggak beres. Tapi, tangannya dengan kasar menepis dan mendorong tubuhku.
"Heh, orang aneh. Kalo ngomong jangan ngasal ya, satu satunya yang nggak masuk akal disini itu ya kamu. Ngapain kamu disini?. " dia malah tambah marah marah.
"Nungguin kamu lah. "
"Mau apa? Mau nyolong sesuatu dikamarku, ya?!. "
"Eh, ini anak otaknya makin gak waras ya. Kamu nggak inget hah?! Siapa yang tiba tiba pingsan gitu aja di depan?. Siapa yang gendong kamu sampe sini sampe pegel sebadan badan?!. Bukannya makasih malah nyolot!. "
"Heh, Orang aneh? Yang ngomongnya nyolot itu kamu."
"Euh, siapa suruh kamu nyebelin kayak gitu!. "
Rahangku sampe mengencang gini saking kesalnya.
Sumpah, di dunia ini ada ya orang kaya dia yang songongnya tiada tara.
"Pak Eko! Pak Eko!. ." tiba tiba dia teriak saat aku melototinya dengan marah.
"Kamu tuh bener bener yah. " baru saja aku mau jitak dia, si pak tua itu datang sambil lari lari.
"Tuan sudah bangun?. " dia memegangi lututnya dan mencoba mengatur napas saat sampai di depan kamar.
Pria tua yang malang.
Lebih malang lagi karena dia jadi pelayannya si Preinan.
"Pak, dia ngapain sih masih ada disini. Kenapa nggak diusir?. " bibir nyolotnya pengen banget aku jewer.
"Eh, bukannya dia teman tuan? Dia juga yang nolong tuan tadi. Jadi, saya biarkan dia nungguin tuan disini."
"Tuh, kan. Denger tuh kata pak Eko."
"Apaan sih," Dia masih saja bersikap angkuh.
Bener bener ngeselin.
"Yaudah pak Eko siapin mobil aja, aku mau keluar. " katanya lagi sambil menggeser selimut ketepian dan turun dari ranjang.
"Eh, mau kemana? Tuan kan baru bangun." pak Eko terlihat sama bingungnya denganku.
"Ah, bawel banget sih. Siapin aja, Cepetan!"
"Ah, iya iya. " dengan cepat dia menghilang dari pandanganku.
Kalo dipikir pikir, cape juga ya jadi pak Eko. Naik turun tangga lantai tiga buat nurutin semua ocehan anak kecil yang gak ada sopan sopannya sama sekali ke dia.
"Kok ngomongnya nyolot sih sama orang tua! Nggak sopan banget. " aku membentaknya.
"Suka suka lah, emang kamu siapa sok nasehatin hidup orang." sifat angkuhnya nguji kesabaran banget ya lord.
"Kok, kamu nyebelin banget sih?. "
"Kalo nyebelin, ngapain kamu ladenin. Pergi aja sana."
Huhu, aku diusir?
"Heh, Preinan. Dengerin ya. Aku udah beritikat baik dateng jauh jauh kesini bawa kue yang aku bikin sendiri buat minta maaf sama kamu. Tapi, kamu apa? Kamu bahkan nggak ngehargain itu sama sekali. Emang bener, kalo aku nggak bisa ganti rugi apapun. Tapi seenggaknya kamu hargain kek usahaku. "
aku yakin ocehanku cuma dianggap angin lalu, bodoamat lah yang penting uneg unegku keluar.
"Ck, udah curhatnya?... Dengerin kamu ngomong tuh bikin sakit kepala tau nggak? Oh, iya. Soal tiga permintaan itu. Oke, aku bakal setuju... Jadi nggak usah marah marah disini. Berisik. "
"Eh, kamu... Inget soal itu?."
Aku sedikit tertegun
"Ya, terus kenapa?. "
Dia menatapku sejenak lalu berjalan pergi.
Terus tadi debat gak jelas buat apa?! Bikin bingung.
"Mau kemana?. " tanyaku saat dia tiba tiba keluar dari kamar.
Tapi, dia sama sekali tidak menoleh "Bukan urusan kamu. "
Aku mengikutinya berjalan dan menurini tangga. Dia berjalan sempoyongan kayak orang mabuk, gimana coba kalo dia jatuh? bikin orang waswas aja. Aku memegangi tangannya sesekali saat dia nyaris terpeleset. Tapi tangannya selalu saja menepis. Dasar angkuh.
Mobil hitam dengan mesin menyala terparkir didepan pintu masuk. Pak Eko membukakan pintu belakangnya dan dia masuk begitu saja meninggalkanku diambang pintu. Kebingungan kayak anak ilang dikebun binatang.
Tapi, pintu mobilnya tidak kunjung ditutup.
"Kenapa cuma berdiri? Masuk!"
Preinan berteriak ke arahku.
Pak Eko yang memandangiku juga memberi isyarat supaya aku ikut masuk.
Hah?! Ini ceritanya gimana sih? Bingung ih...
Tadi dia sok cuek dan acuh tak acuh, sekarang? Kok.. Dia ngajak aku pergi?..
(Gak tahu ya Rai, authormu juga bingung bikin cerita tentang kalian_-)
Aku masuk saja tanpa protes apapun. Pak Eko membawa mobil dengan santai ke jalan yang sama sekali belum pernah aku lalui. Jadi bingung sendiri. Mau nanya Preinan, tapi gak berani.
Hhhh.. ..
"Agak cepet dikit, pak. Takut gak keburu nanti. "
"Emang kita mau kemana?. " aku memberanikan diri bertanya.
"Bukan urusan kamu. " jawabnya dingin.
Hih, jadi nyesel udah nanya.
Beberapa menit berlalu dengan tidak nyaman. Duduk sebelahan sama Preinan itu bikin aura negatif ditubuhku jadi meningkat. Rasanya tuh kayak pengen makan orang aja gitu.
Nggak tahu kenapa..
Mobil berhenti di depan Kafe yang lumayan besar. Pasti ini tempat nongkrongnya orang kaya. Huh, si Preinan ngapain ngajak aku ke sini? Nggak akan ngelakuin hal yang aneh aneh kan?.
"Turun. "
Dia bicara dari luar pintu mobil. Nggak ngeh, kapan dia turun?.
"Iya, iya. "
Aku mengikuti arahnya berjalan, sedangkan pak Eko terlihat memarkir mobilnya di tempat parkir.
Dekorasi kafenya sangat megah. Sudah tentu makanannya pasti mahal mahal juga. Apa dia mau traktir aku makan? Hoho, impossible.
"Huh, untung masih keburu. " gumamnya pelan. Tapi, masih bisa ku dengar.
Keburu? Emang mau ngapain?
Bikin penasaran aja
Kami duduk di meja dekat jendela, cukup terpojok menurutku tapi ya suka suka dia ajalah. Aku kan cuma ngikut.
Dia memanggil pelayan dan memesan minuman.
Lalu selebihnya cuma dengerin lagu yang dibawain band kafe yang tampil dipanggung. Lagunya lumayan bagus sih. Tapi, nggak nyangka si Preinan segitu sukanya sampai merhatiin mereka terus.
Tepuk tangan hangat saling bersautan saat lagu terakhir selesai. Mereka mengucapkan sepatah dua patah kata saat pamit lalu turun dari panggung.
"Kak Ariel?!. " Preinan teriak memanggil salah seorang dari mereka lalu pergi meninggalkanku.
Ternyata temannya ya..
Tak lama dia kembali bersama seseorang yang tinggi dan berambut gondrong, yang aku yakin kalo dia salah satu anggota dari band yang tampil tadi.
"Kak, kenalin Raiga. " kata Preinan dan dibarengi uluran tangan dari si pria tinggi ini.
"Hai, Ariel. " suara ngebass darinya terdengar sangat keren.
"Raiga. " sahutku dengan membalas uluran tangannya.
"Oh, iya kak. Soal besok itu, apa kakak punya waktu?. "
Preinan mengalihkan pembicaraan.
"Ahh, itu. Sebenarnya kakak sama temen temen udah aja job sih. Tapi, apa bener nggak ada orang lain yang bisa nolongin lagi?. "
Bahas apaan sih mereka?..
"Hei, gimana?. " Preinan menatap padaku.
"Hah? Apanya?. " aku bertanya karena masih bingung
Dia terlihat menghela napas lesu
"Konser sekolah. Kalian belum dapet band buat tampil, kan?. "
"Hah? Ahh iya bener..." Preinan tahu dari mana?
"Jadi gimana kak, kita bener bener nggak punya pilihan lagi. " lanjutnya.
"Gini aja, acara konser kalian mulai dari jam berapa?. "
"Jam 7 malam kak. " aku menyahut cepat.
"Oke... Kakak ada job sampai magrib. Tempatnya agak jauh sih dari sekolah kalian. Tapi, kakak usahain biar bisa dateng on-time. Kalau pun telat kalian mungkin bisa sedikit ngulur waktu. Gimana?. "
"Serius kak? Jadi kakak bisa tampil besok?." aku mendadak senang dan lega.
"Hemm, kakak usahain. " katanya sambil tersenyum ramah.
Gila!!! Masalahku bisa selesai gitu aja...
"Makasih banyak kak Ariel. Oh, iya. Aku minta kontak kakak dong. Nanti biar gampang koordinasinya. "
Aku menyodorkan ponselku padanya dan dia mengetik nomor telponnya.
Senangnya hati ini ya lord...
"Hubungin kakak aja, ya. Sekarang kakak mau pergi lagi."
"Sekali lagi makasih ya kak. Hati hati dijalan." Preinan melambaikan tangannya dan kak Ariel pergi meninggalkan kami.
Hah... Nggak nyangka ternyata orang yang pada akhirnya nolong aku itu si Preinan.
Eh,
"Tunggu, deh. Kamu tahu dari mana aku lagi nyari band buat tampil besok?. "
Dia menyipitkan matanya sembari menghela napas lesu.
Kebiasaan kali ya..
"Bukan urusan kamu. " katanya dengan sikap menyebalkannya lagi. Lalu pergi meninggalkanku.
Euh, pengen ku jitak sih. Tapi, ya udahlah. Toh dia ternyata nggak seburuk apa yang aku bayangin sebelumnya, meskipun emang nyebelinnya nggak ketulungan.
...
Preinan POV
"Tiga permintaan katanya.. Haha, emang dia bisa kasih aku apa?. " aku tertawa disela sela ulasan lukisanku pada kanvas yang ada di depanku.
Ternyata ngerjain orang lugu kayak dia itu gampang banget, ya.
Haha...
Kenapa aku selalu ingin tertawa waktu inget kejadian tadi siang. Emang enak gendong orang sambil naik tangga ke lantai tiga? Padahal dia masih bisa milih buat pergi. Tapi,.. Hahhh.
Bikin orang tambah penasaran aja.
Raiga.
Tok! Tok! Tok!
Pintu diketuk dan dibuka dari luar.
Aku tersenyum saat melihat siapa yang berdiri dibalik pintu kamarku.
"Hai, Pah. Papah pulang malam ini?. "
Senyum hangatnya menghiasi wajah tuanya yang penuh ambisius. Aku berdiri dan memeluknya dengan erat.
Rasanya selalu hangat...
"Mau makan malam bareng?. "
Dia mengusap rambutku seperti biasa.
"Mm, " dan tentu saja aku mengangguk dengan senang hati.