Suasana di dalam ruang Divisi Inteligen berubah tidak nyaman. Haya bisa merasakannya. Terutama setelah kemunculan Kapten Amir yang melarang penyelidikan 13 gangster.
Entah apa yang merasuki pikiran pria tua yang paling ditakuti junior polisi itu. Pria itu melarang seolah alergi dengan misi baru Divisi Inteligen.
Saat ini Kapten Amir dan Kapten Irwan sedang berbicara empat mata di dalam ruangan Kapten Irwan. Meski tidak bisa mendengar pembicaraan mereka, Haya tidak berhenti mengintip apa yang terjadi di balik ruang kaca atasannya itu.
Dari luar Haya bisa melihat wajah serius Kapten Irwan dan Kapten Amir ketika berbicara. Mereka nampak mendiskusikan sesuatu yang cukup alot.
Tak beberapa lama kemudian, jam menunjukan pukul 12 siang. Waktunya makan siang. Haya langsung lari keluar dari ruang Divisi Inteligen karena tidak tahan dengan hawa di sana.
Sesampainya di kantin kantor polisi, Haya berlari ke arah meja Erika. Gadis itu sedang menikmati semangkuk bakso dan es teh.
"Rika, Rika," Haya panik.
"Kenapa?" Erika heran melihat sahabatnya muncul dengan wajah panik.
Haya segera duduk.
"Tau gak tadi Kapten Amir masuk ke ruang rapat Divisi Inteligen. Tiba-tiba dia bilang kalau Kapten Irwan sebaiknya menghentikan misi," Haya memulai cerita.
"Misi apa?" tanya Erika sambil terus mengunyah bakso.
Haya berbisik. Sebenarnya memberi tahu orang lain misi Divisi Inteligen itu adalah pantangan. Tapi Haya percaya pada sahabatnya ini. Erika bukan tipe orang yang suka membocorkan rahasia.
"Misi mencari 13 gangster," bisik Haya.
"What?"
Mulailah Haya bercerita pada Erika tentang rapat yang baru saja ia ikuti. Ia menceritakan rumor-rumor tentang 13 gangster itu.
"Ini aneh. Kenapa Kapten Amir melarangnya? Bukannya bagus ya kalau ada organisasi ilegal yang berhasil ditangkap Divisi Inteligen. Apalagi mereka menjalankan bisnis gelap," celetuk Erika.
Haya mengangguk setuju. "Aku juga berpikir seperti itu tadi. Buat apa Kapten Amir melarang seolah dia terganggu."
Erika berpikir keras.
"Jangan-jangan Kapten Amir gak pengen Divisi Inteligen mencetak prestasi," kata Haya sembarangan.
Erika langsung menutup mulut sahabatnya. "Hushhh… sembarangan kamu. Kalau polisi lain dengan terus dia lapor ke Kapten Amir gimana? Kamu mau kena hukum pria galak itu?"
"Ya aku hanya menyampaikan pemikiranku soal kemungkinan itu, Rika," kata Haya sewot.
Haya selalu merasa kalau Kapten Amir iri dengan kesuksesan yang dibuat oleh Divisi Inteligen. Haya menduga pria galak itu ingin menjadi kepala Divisi Inteligen sayangnya Kapten Irwan yang menggantikan Kapten Ji memimpin Divisi Inteligen.
"Buang jauh-jauh pemikiran berbahayamu itu, Haya. Meskipun Kapten Amir kelihatan galak, jahat dan tegas, gak mungkin lah dia iri," Erika menasehati.
Berkat nasehat Erika, Haya berhenti berbicara aneh-aneh. Gadis itu memesan makanan dan makan dalam diam. Pikirannya sedang kemana-mana.
Tak beberapa lama kemudian, Ethan lewat sambil membawa nampan makanannya. Pria itu nampak tidak bersemangat.
"Ethan, duduk sini," Haya melambaikan tangan pada pria itu.
Ethan pun berjalan ke meja Haya dan Erika.
"Kenapa wajahmu kusut?" tanya Haya penasaran.
Biasanya Ethan selalu muncul dengan wajah segar dan senyum. Jarang sekali melihat wajah pria itu murung.
"Ini… ini semua karena kejadian tadi,'' jawab Ethan tidak bersemangat.
Pasti kejadian Kapten Amir, batin Haya.
"Kenapa? Apa yang terjadi?" Haya benar-benar penasaran. Selama di ruang kerjanya, dia tidak bisa konsentrasi karena berusaha melirik ke dalam ruang kerja Kapten Irwan yang bertembok kaca.
Ethan menghela napas berat. "Dia bertengkar dengan Kapten Irwan. Dia menentang misi kita."
"Kenapa?" tanya Haya semakin curiga.
"Kapten Amir merasa misi ini berbahaya. Kudengar misi ini memakan korban dulu. Kapten Ji menyelidiki kasus ini dan mendapat mandat menghentikan penyelidikan gangster," cerita Ethan. "Katanya sampai detik hari ini Kapten Ji tidak berhasil memecahkan misi itu."
"Kenapa?" Erika dan Haya bertanya bersamaan. Mereka berdua semakin penasaran dengan cerita Ethan.
Ethan mengedikkan bahu. "Mana kutahu. Aku mendengar dari bisik-bisik kapten lain."
Haya berpikir. Sejak kapan Kapten Ji ikut dalam misi 13 gangster? Sepengetahuannya, pria tua itu tidak pernah terlibat dalam misi gangster. Haya selalu melihat Kapten Ji sibuk mengurus misi bandar narkoba kelas kakap dan penyelundupan senjata api.
Andai Haya bisa bertanya pada seorang polisi senior kompeten berpangkat tentang gangster dan misi Kapten Ji. Sayangnya dia tidak bisa melakukan itu. Pangkat Haya memang sudah naik menjadi detektif. Tapi pangkat itu tidak punya kekuatan apa-apa jika tidak sedang menjalankan misi.
Belum lagi mana ada polisi senior kompeten berpangkat yang mau buka mulut begitu saja pada Haya. Mereka pasti akan menertawakan Haya yang masih junior.
"Pasti para kapten juga tidak tahu tentang gangster dan misi Kapten Ji," celetuk Erika frustasi. "Misi semacam ini pasti hanya diketahui orang-orang dengan pangkat sersan, kapten, mayor, jendral…"
"Tunggu," Haya tiba-tiba mendapat ide. "Tadi kamu bilang petinggi polisi seperti mayor dan jendral?"
Erika mengangguk pelan. "Kenapa?"
Mata Haya langsung berbinar-binar.
"Jangan bilang kamu mau bertanya pada Mayor Agung," Erika mulai cemas. Haya suka melakukan aksi-aksi tak terduga.
"Aku punya kandidat yang lebih tepat," kata Haya sambil menyunggingkan seulas senyum.
….
Begitu jam menujukan pukul 5 sore, Haya segera bergegas pulang ke rumah. Dia harus menemui ayahnya. Selama ini Haya lupa kalau ayahnya adalah seorang polisi senior kompeten berpangkat. Inspektur Jendral Ardi!
"Ayah!!!!" Haya berteriak kencang saat membuka pintu rumah.
Ayah yang sedang duduk santai menonton TV terlonjak kaget.
"Ya Tuhan, Haya!" ayah mulai kesal. "Kenapa berteriak seperti itu? Apa kamu mau ayahmu mati kena serangan jantung?"
"Aku punya keyakinan Ayah akan hidup sampai umur 100 tahun," jawab Haya. "Yah, aku punya pertanyaan penting."
Haya langsung duduk di samping ayahnya.
"Ayah tahu tentang gangster?" tanya Haya tiba-tiba.
Ayah langsung melihat Haya dengan pandangan bingung. "Kenapa? Tumben kamu penasaran dengan hal beginian."
Haya berusaha memutar otaknya. Dia harus kelihatan alami ketika berbohong di hadapan ayahnya.
"Jadi… di kantor lagi ada isu soal gangster yang melakukan bisnis ilegal. Aku dengar gangster ini begitu sulit diselidiki karena gak ada bukti yang kuat tentang keberadaan mereka," Haya berbohong.
Dia harus pandai mengarang cerita agar ayahnya tidak curiga. Ayah tidak boleh tahu kalau Haya sudah masuk Divisi Inteligen dan mendapat misi 13 gangster.
Ayah mengelus dagunya. Ia berpikir.
"Pernah sih Ayah dengar soal gangster. Tapi kejadiannya udah lama. Apa mereka muncul lagi?" tanya ayah.
Haya mengangguk. Dia harus kelihatan meyakinkan di depan ayahnya.
"Kapten Ji pernah menyelidiki kasus gangster bertahun-tahun yang lalu. Mungkin saat kamu masih balita. Tapi sampai sekarang aku gak pernah mendengar perkembangan kasus itu. Dia tidak bercerita apapun padaku."
Ternyata benar. Kapten Ji memang menyelidiki kasus ini.
"Katanya sih kasus ini berbahaya. Bahkan Kepala Polisi waktu itu menghentikan kasus gangster karena ada beberapa anggota polisi yang diteror dan meninggal. Untung Kapten Ji sudah berhenti menyelidikinya bertahun-tahun lalu," cerita ayah.
Rupanya ini misi lama, batin Haya.
Inilah gunanya punya ayah seorang jendral. Haha