Sakit, itulah kiranya yang Rakai rasakan saat dirinya terbangun didalam sebuah kamar yang tampak asing. Pemuda itu sama sekali tak menyangka bahwa dirinya akan pingsan karena tenaga dalam miliknya dikuras oleh pusaka sialan itu. Pemuda itu lalu mengalihkan pandangannya ke sekeliling, mencoba mencari petunjuk tentang dimana ia berada sekarang.
Rakai menghela nafas seraya mendudukkan tubuhnya dan bersandar pada dinding di belakangnya. Benaknya bertanya-tanya, dimanakah ia sekarang? Dapatkah ia keluar dari sini segera? Memikirkannya saja membuat rasa pusing kembali menghantam kepala Raka, membuatnya memilih untuk membaringkan tubuhnya lagi. "Sebenarnya.....aku ada dimana? Tempat ini terlalu asing bagiku, dan terlalu kuno untuk interior di jaman modern," gumam Raka seraya memijat pelipisnya.
Tiba-tiba saja, pintu ruangan itu terbuka perlahan diikuti sesosok perempuan berjubah putih berjalan memasuki ruangan itu. Raka hanya memilih untuk menoleh dan menatap perempuan itu datar, tubuhnya masih terasa lemah untuk sekedar berdiri. Jadi, Raka tak punya pilihan lain selain membiarkan perempuan itu mendekat dan meletakkan tangannya ke dahi Raka.
"Bagaimana keadaanmu? Sudah merasa lebih baik?" Tanya perempuan itu dengan nada lembut. "Aku merasa seluruh tubuhku lemas, dan bohong jika aku berkata sudah lebih baik karena nyatanya kondisiku masih jauh dari kata baik," jawab Raka seraya menatap perempuan itu. Wajah perempuan itu sama sekali tak terlihat karena tertutup tudung kepala dan cadarnya, meski Raka masih bisa melihat sepasang manik berwarna kuning terang di antara dahi dan hidung perempuan itu.
"Syukurlah jika kau bisa jujur akan kondisimu. Jatayu sudah berusaha keras menyelamatkanmu dari pasukan Bathara Ismaya, bahkan sampai membawa dua orang tawanan kemari," ujar perempuan itu seraya mengusap puncak kepala Raka. "Menyelamatkanku? Bathara Ismaya? Tawanan?" Raka mengernyitkan keningnya saat mengatakan itu, membuat perempuan itu tertawa halus melihat ekspresi yang Raka tampilkan.
"Aku yakin pasti kau banyak bertanya-tanya tentang dimanakah dirimu sekarang, benar? Lalu, siapa aku, dan kenapa kau bisa ada disini, apa aku benar?" Perempuan itu menerka isi pikiran Raka dengan tepat. Raka menatap datar kearah perempuan itu, dalam hatinya ingin sekali ia bangun dan menarik cadar perempuan itu hingga lepas. Sayang sekali baginya, tubuhnya sama sekali tak mau menurut karena masih kehabisan tenaga.
"Sebenarnya, kau ini siapa? Dan ini dimana?" Raka bertanya dengan nada serius, tatapannya tajam seolah menusuk perempuan itu. Akan tetapi, tatapan tajam Raka seolah tak berpengaruh terhadap perempuan itu, malahan, perempuan itu sedikit tertawa geli karenanya. "Kau bisa memanggilku Asmitha, reinkarnasi Karna. Dan tempat ini adalah tempat pertapaan Begawan Abiyasa, Sapta Pratala," jawab Asmitha seraya mengambil tempat duduk di tepi ranjang itu.
"Namaku Rakai Yudha Taksaka, panggil saja Raka, Nyi Asmitha," ujar Raka memberi keterangan. "Baiklah, Raka, dan juga, tolong panggil saja aku Asmitha. Aku benci formalitas, Raka," ucap Asmitha seraya menatap lembut kearah pemuda yang terbaring di ranjang itu.
"Baiklah, Asmitha....." Raka tak tahu harus berkata apa, lalu mengalihkan pandangannya ke langit-langit ruangan itu. Keduanya terdiam cukup lama, sampai akhirnya mereka terkejut karena bunyi gemuruh yang asalnya dari perut Raka. Pemuda itu membuang muka kearah lain, sementara Asmitha hanya tersenyum seraya berjalan ke sebuah meja di ruangan itu.
"Aku tahu kau pasti lapar, sudah 3 hari kau pingsan karena tenaga dalammu dikuras oleh pecut Nagagini," ujar Asmitha seraya membawa senampan makanan dan minuman. Raka menatap lapar kearah makanan yang dibawa Asmitha. Sungguh, perutnya tak bisa diajak berkompromi sekarang, ia benar-benar lapar.
Raka bergegas mendudukkan diri walau harus dengan bersusah payah, lalu menerima nampan yang Asmitha berikan. Tanpa basa-basi, Raka pun menyantap makanan yang sudah disuguhkan itu dengan lahap, tidak peduli pipinya kotor ternoda makanan. Tak menunggu lama, akhirnya Raka selesai menyantap makanannya, membuat Asmitha menatapnya geli karena penampilannya yang berantakan.
"Ya ampun, Raka. Tidak kusangka, ternyata kamu benar-benar kelaparan ya?" Celetuk Asmitha jahil seraya menatap Raka. "Jangan salahkan aku, aku benar-benar kelaparan. Dan juga, kalau aku sudah disini selama 3 hari, itu artinya aku membolos sekolah kan?," Raka berkata dengan tanpa menatap Asmitha.
"Tidak, waktu di Sapta Pratala berjalan lebih lambat dari dunia luar. Jadi, satu tahun disini sama dengan satu hari di dunia luar," jelas Asmitha seraya duduk di depan Raka dan mengusap sisa-sisa makanan di pipi Raka dengan sebuah kain bersih. Raka hanya terdiam saat Asmitha dengan telaten membersihkan pipinya, lalu memilih untuk memejamkan matanya.
Setelah selesai, Asmitha akhirnya mengambil nampan dari tangan Raka, dan meletakkan nampan itu di meja. Asmitha lalu menatap Raka yang juga balas menatapnya balik. "Asmitha, kau bilang tempat ini adalah tempat pertapaan, bukan? Kalau begitu, apa kau ini adalah penjaga tempat ini?" Tanya Raka dengan nada penuh keingintahuan yang tak dapat disembunyikan.
"Lebih tepatnya, aku adalah seorang ratu disini. Tapi, itu tidaklah penting, Raka, karena kau ini sebenarnya memiliki derajat yang lebih tinggi dariku," jawab Asmitha yang masih menatap lekat kearah Raka. "Itu membuatku teringat akan satu hal, kau memanggilku sebagai reinkarnasi Karna saat aku bangun tadi. Bisakah kau menjelaskan hal itu padaku? Sekaligus, aku ingin informasi mengenai siapa yang kau panggil pasukan Bathara," ujar Raka dengan nada menuntut.
Tawa Asmitha pun pecah saat dirinya mendengar ucapan Raka. Sekali lagi, perempuan misterius itu mengambil tempat duduk di depan Raka, lalu menatap tepat ke kedua mata Raka. "Sejatinya, beberapa manusia yang memiliki kesaktian berlebih bisa terlahir kembali ke dunia ini karena kesaktian itu membuat mereka tidak bisa mencapai Moksa (ketenangan batin) dan naik ke Nirwana. Salah satunya adalah Adipati Karna, salah seorang Adipati dari kerajaan Ngastinapura," ujar Asmitha memulai ceritanya.
".....Adipati Karna adalah seorang pria yang memiliki kesaktian mumpuni. Konon, kesaktian Karna disebabkan karena dirinya adalah putra seorang Bathara, membuatnya memiliki tingkat kesaktian yang berbeda dengan orang lain," lanjut Asmitha. Raka mendengarkan setiap kata-kata Asmitha dengan seksama, kebingungannya perlahan mulai terjawabkan oleh informasi dari Asmitha.
"Kelebihan khusus Adipati Karna adalah kemampuannya memanipulasi api, dan baju perisai yang tak mampu dilepas. Akan tetapi, kelebihan khusus itu dipatahkan oleh Karna sendiri saat Karna mengatakan bahwa dirinya menjadi sekuat itu karena dirinya diberkahi sebuah pusaka yang sakti mandraguna oleh Bathara Indra, yakni Vasavi Shakti," perkataan Asmitha yang satu ini membuat Raka terkejut, tapi dirinya merasa enggan untuk memotong cerita perempuan itu.
"Tapi, ternyata bukan hanya dia seorang saja yang merupakan putra seorang Bathara. Karena setelah ia berkelana, ia bertemu dengan para Pandhawa Lima yang tak lain merupakan adik-adiknya dari ibu kandungnya, Dewi Kunti," Asmitha menghela nafas, lalu menatap Raka yang tiba-tiba saja memegangi pelipisnya.
"Tolong langsung ke intinya saja, Asmitha," ujar Raka yang kepalanya terasa sakit setelah mendengar cerita Asmitha. "Baiklah, singkat cerita, Karna terbunuh dalam perang besar Baratayudha. Kematiannya disebabkan oleh tembakan anak panah anggota Pandawa yang paling tengah, yaitu Arjuna. Kematian Karna membuat sang surya berhenti bersinar selama beberapa hari," ujar Asmitha melanjutkan ceritanya.
"Akan tetapi, sebelum ia mati, ia berkata pada kusir kereta perangnya bahwa para Pandhawa sudah mengutuknya karena dia membunuh seorang putra Pandhawa, yaitu Gatotkaca. Kutukan itu berisi sumpah dari para Pandhawa untuk terus memburu Karna yang bereinkarnasi dan membunuh seluruh reinkarnasi Karna," ujar Asmitha yang matanya berkilat sesaat.
"Membunuh semua reinkarnasi Karna? Bukannya itu kutukan yang konyol?" Ucap Raka marah, meski ia masih bisa sedikit menahannya. "Aku tahu itu Raka, tapi itulah kenyataannya. Sebelum dirimu, ada beberapa reinkarnasi Karna yang lain, dan mereka semua sudah terbunuh sebelum bisa memunculkan secuil pun kesaktian Karna," jelas Asmitha seraya mencoba menenangkan Raka.
"Bagaimana bisa?!" Raka bertanya dengan setengah berteriak, karena yang ia tahu, dirinya membangkitkan kesaktiannya di usia yang masih muda. Jika seluruh titisan Karna sebelumnya juga sama sepertinya, itu berarti para Pandhawa sudah membunuh banyak anak yang tidak bersalah, kan?
"Itu ada hubungannya dengan para prajurit Bathara, Raka. Banyak dari mereka yang dikirim untuk menangkap anak titisan Karna untuk dibawa kepada para Pandhawa. Mereka menggunakan cara curang agar bisa menangkap reinkarnasi Karna, yakni dengan cara mengikat mereka menggunakan tali pusaka Pecut Nagagini," jawab Asmitha pelan.
"Lagi-lagi prajurit Bathara....sebenarnya mereka itu apa sih?!" Raka berseru kesal. "Prajurit Bathara, seperti namanya, adalah prajurit-prajurit yang dimiliki seorang Bathara. Mereka terbagi menjadi dua bagian, yaitu prajurit khayangan dan prajurit manusia. Prajurit khayangan adalah prajurit yang menjaga wilayah khayangan yang menjadi kekuasaan seorang Bathara...." Asmitha berkata sambil menepuk pelan pipi Raka.
"....sementara prajurit manusia adalah prajurit khayangan yang berhasil mendapatkan kesempatan untuk bereinkarnasi dan menitis ke tubuh manusia. Biasanya, seorang prajurit Bathara tidak bisa mengendalikan kekuatannya, karena itu para Bathara harus turun sendiri ke bumi untuk melatih mereka dalam mengendalikan kekuatan mereka," sambung Asmitha dengan sedikit nada cemas saat melihat kondisi Raka.
"Tapi, kenapa mereka harus patuh pada para Bathara itu? Bukannya mereka punya kekuatan? Kenapa mereka tidak melawan?" Tanya Raka bertubi-tubi seraya menatap Asmitha dengan ekspresi marah. "Tidak semua orang bisa mengalahkan seorang dewa, Sri Karna. Para prajurit Bathara berbeda dengan kesatria umat manusia yang bereinkarnasi, mereka memiliki pantangan yang membuat mereka tidak bisa melukai seorang dewa dengan kekuatan mereka sendiri," ujar sebuah suara dari arah pintu.
Tampak di ambang pintu, seorang manusia setengah garuda tengah berdiri gagah dengan mengenakan pakaian seorang Mahapatih. Di samping manusia garuda itu, berdiri Sembadra dan Srikandhi yang mengenakan pakaian layaknya seorang putri keraton, membuat Raka sedikit pangling saat melihat mereka.
"Jatayu, bukankah aku sudah memintamu untuk mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk?" Asmitha berkata dengan aura angker menyelubungi tubuhnya. "Ampun Nyai, hamba terpaksa memasuki ruangan ini karena Raden Roro sekalian memaksa masuk saat saya sedang berjaga di pintu keluar," jawab Jatayu seraya menundukkan kepalanya.
"Benarkah apa yang Jatayu katakan itu, Dinda Sembadra dan Srikandhi?" Pertanyaan Asmitha kini mengarah kepada 2 gadis yang membeku di tempat karena tatapan angker dari Asmitha sendiri. Saling sikut terjadi antara kedua gadis muda itu, membuat Asmitha kehabisan kesabarannya sendiri. "Sudah, kalian berdua! Jika kalian berdua hendak berkelahi, lakukan di luar!" Omel Asmitha pada kedua gadis itu.
"Mohon ampun, Nyai," ujar keduanya seraya menunduk malu. "Sebenarnya, sayalah yang memaksa untuk masuk kemari, Nyai. Karena saya merasa khawatir dengan keadaan Raka, maka dari itu saya menerobos masuk," Sembadra menambahkan.
"Jadi begitu, baiklah. Kali ini kumaafkan, Dinda, karena aku tahu pasti ada hal yang ingin kau bicarakan pada Raka, bukan begitu?" Ujar Asmitha memaklumi seraya menoleh kearah Sembadra. Raka menyandarkan kepalanya ke dinding di belakangnya, suasana hatinya terasa semakin buruk karena kemunculan Sembadra. Entah kenapa, Raka merasa bahwa setelah ini akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan baginya.
Bersambung
Dinda adalah sebutan untuk adik perempuan di masa lampau, sementara sebutan untuk kakak perempuan adalah Yunda
Sedangkan untuk adik laki-laki, biasa disebut dengan panggilan Rayi, dan panggilan untuk kakak laki-laki disebut Raka atau Kangmas