Mereka semua bernafas lega, setelah selesai meeting dengan klien. Dewan menjatuhkan diri di kursi kebesarannya.
"Gila, berat banget rasanya mau nafas doang, mereka gak ada yang santai."
"Makanya, sebelum meeting itu persiapkan dulu, jangan main game melulu."
"Zalfa, fitnah itu dosa."
"Dewan, jadi orang itu harus jujur."
"Kalian sepertinya harus minum teh, biar tenang." Saran Bang Delvis sembari melonggarkan dasinya. Karena project kali ini cukup besar, dia harus memutar otak untuk bisa menghasilkan apa yang sudah direncanakan, mungkin akan lebih bagus, jika lebih dari ekspetasi.
"Kalau
"Bang, habis selesai project ini kita hiking yuk!" Ajak Zalfa dengan ide, entah dari mana. Figo yang mendengar itu justru terbatuk.
"Kenapa Figo? Kamu mau ikut juga kan?"
"Gue? Ogah," ucapnya dengan santai, kemudian kembali meminum kopinya. Hari ini, Figo sudah menghabiskan 2 gelas kopi. Zalfa tau betul, karena sedari tadi dia selalu memperhatikan Figo.
"Figo cemen, Zalfa gak suka cowok cemen." Zalfa sengaja membuat pria itu tersentil egonya.
"Terserah, lagian siapa juga yang suka sama Kamu?" tanya Figo menantangnya.
"Figo lah, nanti tahun depan, Figo pasti suka sama Zalfa," ucapnya dengan percaya diri, sementara lawan bicaranya sudah memaikai handset. Tidak peduli, perempuan itu berbicara sampai berbusa sekalipun.
Dewan tertawa terbahak-bahak. Rasanya, melihat drama yang terjadi antara Figo dan Zalfa adalah kesenangan tersendiri untuknya. Zalfa kesal melihatnya, dia melemparkan barang-barang ke arah Dewan. Namun, laki-laki itu terlalu sigap untuk menangkap segala pulpen, nota kecil, jepitan, dan yang terakhir tisu, tapi tidak dapat ditangkapnya lalu berhasil landas di kepalanya.
Bukan hanya Zalfa, Delvis dan Figopun terbahak-bahak. Melihat wajah menggemaskan Dewan.
"ZALFA!"
Perempuan itu seger berlari ke belakang Delvis, meminta pertolongan. Sementara Dewan, tidak berani jika harus menghadapi Delvis, dia segan dengan manusia tidak asik itu.
"Sudah pukul 10 malam, mari kita pulang," ucap Delvis yang melihat Zalfa sudah menguap beberapa kali.
"Kerja lembur bagai quda," Zalfa bernyanyi dalam keadaan mengantuk.
"Yaudah, ayo pulang!" Perintah Delvis. Dia mengajak Zalfa pulang, naik mobilnya.
"Hati-hati Bang, terakhir gue nganterin dia balik ke kost, ban mobil gue bocor."
"Itu juga terakhir gue ikut pulang bareng Lo, bukan tanggungjawab, malah nyuruh gue bantu dorong."
Delvis tidak ingin ambil resiko, dia segera menggandeng tangan Zalfa dan membawa wanita itu masuk ke dalam mobilnya.
"Kayak ada yang kurang," ucap Zalfa setelah memakai sabuk pengaman.
"Apa? Ada yang ketinggalan?" tanya Delvis mencoba mengingatkan Zalfa.
"File udah, makeup udah, dompet, handphone udah. YA AMPUN!."
"Kenapa Zal?" Kini Delvis sedikit panik, mendengar suara melengking Zalfa.
"Sebentar Kak, tunggu lima menit ya, aku ke sini lagi," ucap Zalfa tergesa-gesa, lalu membuka sabuk pengaman dan juga pintu, dia berlari dari perkaringan.
Dewan yang sudah menjalankan mobilnya, berhenti di dekat mobil Delvis.
"Kenapa Bang?"
Delvis mengangkat bahu, Dewan yang penasaran akhirnya menunggu. Sementara Zalfa dengan sisa tenaganya, terus menaiki anak tangga, bermodalkan senter handphone saja, dia terus menerobos ketakutannya. sampai akhirnya, dengan nafas yang tersengal-sengal, dia membuka sebuah ruangan tanpa perasaan lagi, sehingga menghasilkan bunyi yang cukup keras.
"Figo! Bangun!" Teriak Zalfa, tepat di hadapan lelaki itu.
"Figo! Kamu tidur atau pingsan? Bangun! Waktunya pulang." Figo masih enggan, mendengar suara Zalfa sepetinya membuat tidur Figo semakin lelap.
Zalfa meminta maaf, dia akhirnya melakukan cara terakhir.
Plak
Satu detik kemudian, laki-laki itu bangun dari tidurnya. Dan menatap horor Zalfa yang berusaha menutupi wajahnya, tapi keburu ditahan Figo.
"2020 bangunin orang tidur, udah kayak bangunin orang kesurupan ya?" tanya Figo mengintimidasi Zalfa.
"Ma-af, Aku gak bermaksud begitu. Aku pikir kamu pingsan tadi,"
"Dan karena rasa gak bermaksud, ini pipi jadi memar dan bengkak,"
Zalfa mendekatkan tangannya, untuk memegang bekas tamparannya tadi. Andai saja, tidak ditahan Figo.
"Zalfa," ujar suara seseorang yang datang dari pintu. Mereka sontak saja melihat ke sumber suara tersebut.
"Dewan," ucap Zalfa. Sekilas, dari sisi pengelihatan Dewan posisi Zalfa menandakan bahwa mereka sangat dekat, padahal sebenarnya tidak.
"Gue kira Lo kenapa-kenapa, jadi gue putusin buat nyusul. Ternyata," ucap Dewan menghentikan bicaranya, dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Enggak! Ini gak sepeti yang Lo bayangin. Gue cuma bangunin Figo."
"Terserahlah, bukan urusan gue." Dewan membalikkan badan, kemudian pergi meninggalkan mereka berdua. Zalfa lari mengejar Dewan,
"Gak usah ngasih penjelasan apapun."
"Percaya diri sekali, orang mau ikut naik lift."
Dewan menatap Zalfa tak percaya, wanita itu bisa bareng Figo. Di lift, Dewan yang biasanya cerewet, kali ini lebih pendiam. Dia tidak mengoceh Sam sekali, sesampainya di parkiran pun sama, dia langsung masuk ke dalam mobilnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Dewan gak kesambet kan? Kok mukanya aneh gitu." Pasalnya tadi Dewan memaksa untuk masuk ke kantor, bahkan sempat membujuk Delvis. Karena sudah lelah, Delvis tidak menyanggupi keinginan Dewan, dan membiarkan lelaki itu menyusul sendiri, perginya semangat sekali, ketika kembali seperti manusia kurang imun. Dia pikir, Dewan melihat makhluk halus.
"Enggak. Dia kan suka gak jelas," Zalfa sudah masuk ke dalam mobil, dan memakai sabuk pengaman kembali, Delvis juga sudah menjalankan mobilnya keluar dari parkiran kantor dan masuk ke jalan rasa, yang sepi. Mungkin, karena sudah malam.
"Kamu habis cari apa barusan? Udah diambil barang yang ketinggiannya?" tanya Delvis penasaran.
"Tadi aku bangunin Figo Bang, tidurnya udah kayak kerbau. Susah banget dibangunin. Akhirnya aku tampar aja."
"Terus dia marah?"
"Enggak tau, keburu datang Dewan. Tadinya aku mau pegang pipi Figo yang memar."
"Kamu namparnya pakai perasaan atau enggak. Kok bisa sampai memar?"
"Enggak tau, intinya memar aja. Kasian sih,daripada dia tidur di kantor kan, besoknya pegal-pegal terus gak bisa kerja."
"Zalfa terbaik pokoknya. Luar biasa," ucap Delvis yang setuju dengan pemikiran wanita itu.
Mereka sampai di kost Zalfa. Tepatnya di gang, karena mobil kalau masuk ke gang akan sulit parkir.
"Udah, gak usah di antar Bang, mending pulang."
"Gak apa-apa, nanti kamu diculik orang, Saya yang disalahkan."
"Aku udah-" Delvis tidak mengijinkan Zalfa berbicara lagi, lelaki itu merangkul Zalfa dan mengantarnya sampai depan kost.
"Selamat malam. Semoga mimpi indah." Zalfa tersenyum.
"Terima kasih, hati-hati di jalan Bang." Delvis mengangguk dan pergi dari halaman kost tersebut.
Baru saja dia ingin masuk seseorang memakai jaket hijau helm berwarna hijau, membawa sebuah bingkisan entah apa isinya menghampiri Zalfa.
"Malam Mbak,"
"Iya Mas,"
"Apa benar, di kost ini, ada yang bernama Zalfa?"
"Saya sendir, ada apa ya?"
"Wah kebetulan, Ini ada kiriman makanan untuk Mbak." Zalfa menerima bingkisan tersebut, setelah menanyakan siapa pengirimnya.
Setelah pengantar makanan itu pergi, Zalfa segera masuk ke dalam kamarnya, dan membuka kardus tersebut, yang berisi mie tektek, dan di kardusnya terdapat note.
Terima kasih, udah nampar Gue.
Zalfa horor, jangan-jangan makanan ini dikasih cuka sama Figo