Hujan gerimis membasahi kota Bandung di pagi hari, tapi matahari bersinar cukup cerah sesudahnya. Cahayanya memantul dari genangan air di sepanjang jalan, membuat mata Rissa silau karenanya.
Seperti biasa Rissa bekerja pada pukul delapan. Ia sudah tiba sejak pukul setengah delapan. Ia membawa kantung berisi gaun, sepatu, serta perhiasan milik Esther untuk dikembalikan. Ia masih penasaran dengan jepit rambutnya yang hilang. Mungkin terjatuh saat ia berdansa dengan Charlos.
Ya Tuhan! Bagaimana bisa ia melupakan bahwa ia sudah pernah berdansa dengan Charlos? Tubuh mereka begitu dekat, saling menempel. Rissa akan selalu mengingat harum tubuh Charlos yang masih melekat di tubuhnya, seolah ia masih bisa menghirup aromanya.
Rissa tersenyum malu saat mengingat Charlos melepas mantelnya. Ia merasa seperti ditelanjangi. Entah seberapa banyak yang Charlos lihat. Gaun itu memang spektakuler. Charlos benar, ia merasa seperti seorang Cinderella.
Sesuatu dalam benaknya masih saja terus mempertanyakan mengapa Charlos masih mengejarnya sampai ke parkiran, malah menolongnya saat ia hampir jatuh terpeleset. Padahal pria itu telah melepaskan tangannya ketika Rissa menyebut nama Reva.
Ia bisa mengerti bila Charlos tidak ingin membuat dirinya merasa bahwa pria itu memberinya kesempatan. Walaupun kesempatan itu sepertinya memang sudah tidak ada. Charlos tidak perlu mengingatkannya lagi.
Sikap Charlos sungguh di luar dugaan. Pria itu mengajarinya cara berjalan dan memaksanya untuk menggandeng tangannya. Rissa mulai merasa bahwa Charlos hanya memanfaatkan dirinya untuk mengambilkan makanan sementara dirinya sibuk bersalaman dengan para pejabat. Dansa itu pasti hanya untuk membuktikan bahwa dirinya adalah pria tampan, kaya raya yang tidak sulit untuk mendapatkan partner dansa.
Rissa mengertakkan giginya. Dasar pria menyebalkan. Betapa bodohnya dirinya saat itu begitu lemah dan menurut saja ketika ada pria tampan yang seenaknya menarik-narik dirinya, memutar-mutar tubuhnya sesuka hatinya. Ugh! Tetapi jika pria itu memang setampan Charlos, ia benar-benar kesulitan untuk menolaknya.
Rissa menarik napas dalam-dalam mencoba menenangkan diri. Ia membawa kantung berisi barang-barang Esther dan menaruhnya di mejanya.
Ketika berbalik, Esther sedang berjalan menuju mejanya.
"Kak Esther terima kasih ya gaunnya dan segalanya. Ini sudah aku kembalikan. Aku berusaha merawatnya sebaik mungkin. Sebaiknya Kakak memeriksanya," kata Rissa.
Esther menatapnya dengan galak, seolah-olah Rissa memang telah merusak gaunnya. Sedikitpun ia tidak melirik kantung itu.
"Rissa, apa yang sebenarnya terjadi kemarin di undangan? Kamu sudah berkenalan dengannya?" tanya Esther dingin.
"Berkenalan dengan siapa? Aku tidak melakukan apa-apa..." Kecuali berdansa dengan pria tampan.
Esther mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah blog di situs internet. Rissa meraihnya dengan ragu-ragu lalu membacanya dengan cepat.
"CEO Golden Group, Charlos William, tampaknya telah menyudahi masa kesendiriannya. Ketika ditemui di acara pernikahan mewah putra sulung Albert Natawijaya, pemilik MJ Group pada Sabtu kemarin di Hotel Golden Ring, seorang wanita cantik berbalut gaun merah terlihat tengah berdansa dengan pangeran tampan tersebut. Beberapa berpendapat bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
Saat ditanya mengenai wanita misterius tersebut, Charlos sempat mengelak dan tidak mengakuinya sebagai kekasih.
Akan tetapi setelah mendapat informasi dari sumber yang bisa dipercaya, diketahui bahwa wanita beruntung itu bernama Carissa yang adalah seorang karyawan dari PT. Kharisma. Perusahaan tersebut ternyata sedang melakukan bisnis kerja sama.
Disinyalir, Agung Setyohardjo pemilik PT. Kharisma pasti berusaha sebaik mungkin agar kerja sama tersebut berjalan mulus, sehingga mengutus karyawan tercantiknya untuk menggoda Charlos William.
Mungkinkah kisah percintaan antara Charlos William dan Carissa hanyalah settingan belaka? Jika dilihat dari cara mereka bercakap-cakap dan bermesraan saat berdansa, sepertinya tidak diragukan lagi bahwa mereka memang benar-benar pasangan kekasih."
Terdapat foto seorang wanita bergaun merah yang terlihat sangat cantik tengah berpose seperti sedang berpelukan dengan Charlos. Butuh waktu beberapa detik untuk Rissa menyadari bahwa itu adalah foto dirinya sendiri. Ia tampak begitu menawan seperti putri bangsawan yang kaya raya dan percaya diri dengan kalung dan anting berlian yang berkilau.
Rissa menelan ludah. Bagaimana bisa ada berita semacam itu? Belum lagi ditambah bumbu gosip yang menyesatkan. Menggoda? Sejak kapan dirinya menjadi wanita penggoda? Ini sungguh sangat melecehkan.
Ia mulai menyadari apa yang Charlos katakan. Charlos begitu emosinya saat mengetahui Rissa melihatnya sedang bersama dengan Reva. Ternyata Charlos merupakan sorotan bagi para wartawan. Apalagi Reva, yang katanya adalah seorang artis. Bahkan di acara pernikahan saja bisa ada wartawannya.
"Kak Esther... aku..."
"Aku sedikit kecewa. Seharusnya aku tidak memintamu untuk datang ke pesta itu. Kamu sama sekali tidak perlu mengekspos dirimu seperti itu."
Rissa terkejut. Kata-kata Esther begitu tajam. Rissa tidak merasa pernah mengekspos diri. Semua itu terjadi begitu saja. Lagipula ia tidak pernah meminta dirinya untuk didandani dan dibalut gaun merah seksi dengan belahan dada rendah, yang membuat dirinya tampak begitu mencolok di tengah-tengah pesta. Tapi tentu saja, Esther pasti tidak akan mau mendengarkan penjelasannya.
"Sekarang nama Kharisma dibawa-bawa," lanjut Esther. "Sepertinya perusahaan kita mengemis-ngemis ingin bisa mendapatkan kerja sama dengan Golden Group sampai harus mengutusmu untuk menggodanya. Memangnya dia merasa dirinya sebegitu hebatnya hingga seenaknya merendahkan Kharisma?"
"Aku minta maaf, Kak." Rissa menunduk. "Tapi aku tidak pernah menggoda siapa-siapa, apalagi merusak nama baik perusahaan."
"Jelaskan!" bentak Esther. "Kenapa kamu bisa bersama dengannya?"
"Aku tidak sengaja bertemu dengan Charlos di sana. Itu benar-benar tidak disengaja. Sebelumnya aku dengannya sudah saling kenal di latihan paduan suara. Aku tidak pernah menyangka kalau dia itu CEO Golden Group."
"Apa?" tanya Esther agak keras. "Lalu kenapa kamu berdansa dengannya?"
"Itu terjadi begitu saja. Charlos mengajakku untuk berdansa. Hanya itu."
"Dan kenapa kalian harus bermesraan? Kejadian sebenarnya seperti apa?"
Rissa ingin sekali memutar bola matanya, tapi ia tidak berani. Jadi ia menghela napas. "Aku tidak bermesraan dengannya, Kak. Aku tidak dapat mencegah orang lain untuk berpikiran macam-macam. Tapi aku bersungguh-sungguh kalau aku dengan Charlos sama sekali tidak melakukan apapun. Kami hanya berdansa saja."
"Apa dia melakukan sesuatu yang tidak senonoh?"
"Apa? Tidak. Kak Esther, Charlos itu orang baik. Dia tidak pernah melakukan hal yang tidak senonoh. Aku bingung bagaimana menjelaskannya. Tapi sepertinya aku... aku menyukainya." Rissa menunduk sambil malu-malu, wajahnya memerah.
"Menyukai apa?"
"Aku jatuh cinta pada Charlos."
Betapa leganya bisa mengutarakan perasaannya pada Esther. Kepalanya pusing sekali diberi pertanyaan yang begitu menyelidik. Di saat seperti ini Rissa hanya bisa berkata sejujur-jujurnya.
"Oh tidak! Kamu sungguh-sungguh berpacaran dengannya?"
"Tidak, Kak. Dia menyukai orang lain."
Esther meletakkan tangannya di keningnya sambil memejamkan mata. Tubuhnya bergoyang perlahan seolah nyaris pingsan.
"Kak, kenapa? Kakak baik-baik saja?" Rissa mendekatinya dan meletakkan tangannya di bahunya. Esther mengangkat sebelah tangannya agar Rissa berhenti.
"Sebaiknya kamu menjauh darinya. Jangan pernah kenal lagi dengan yang namanya Charlos."
"Memangnya kenapa, Kak? Apa Kak Esther mengenalnya? Apa dia termasuk... pria hidung belang?"
Esther menghela napas. Ia mengambil sebuah foto dari tasnya. Rissa mengenal foto itu. Waktu itu ia tidak sengaja menemukannya dan Esther tampak sangat marah. Sekarang Esther menyerahkan foto itu padanya. Terdapat tulisan "Ther & Charl 01-04-2005" di bagian belakangnya.
Rissa terkejut, tangannya gemetaran. Itu memang foto Esther, cantik dan manis. Esther sedang merangkul seorang pria. Kali ini Rissa bisa melihatnya dengan jelas bahwa pria itu adalah Charlos. Ia terlihat berbeda dengan rambut hitam. Tapi senyumannya tidak mungkin salah. Lesung pipinya membuatnya terlihat sangat tampan dan manis. Ternyata Esther memang pernah berpacaran dengan Charlos.
"Sekarang kamu sudah lihat foto itu. Aku tidak pernah bercerita sebelumnya. Aku itu mantannya Charlos. Aku yang meninggalkannya," kata Ester dingin.
"Apa?" Rissa memandangnya tidak percaya.
"Karena supaya aku bisa menikah dengan Anton. Kalau kamu mau tahu, waktu itu dia tidak punya apa-apa, tidak seperti sekarang," Esther menarik kembali fotonya dari tangan Rissa. "Dia itu sampai stress dan agak terganggu mentalnya." Esther menunjuk kepalanya. "Dia itu sudah berubah sekarang. Dia sudah menjadi orang lain dan itu tidak baik."
"Apa maksud Kakak?" Rissa mengernyitkan dahinya.
"Kamu lihat sendiri kan. Dia pasti sengaja menyebar gosip itu di internet untuk menghancurkan nama baik Kharisma dan kamu. Dia pasti mau balas dendam. Aku tidak akan memberitahumu sekarang, apa yang benar-benar berubah darinya, karena kamu pasti tidak akan percaya sampai kamu lihat dengan mata kepalamu sendiri."
"Aku masih tidak mengerti. Benarkah dia sejahat itu? Aku yakin sekali kalau dia itu orangnya baik. Dia tidak mungkin balas dendam." Rissa sulit mencerna bahwa Charlos tipe orang yang suka membalas dendam. Tapi bagaimana bila balas dendamnya tertuju padanya? "Dia bercerita kalau dia menyukai seseorang," kata Rissa ragu-ragu.
"Bagaimana bisa..." Esther menggelengkan kepalanya. "Aku sungguh penasaran, sedekat apa hubungan kalian sehingga Charlos mau menceritakan hal seperti itu padamu."
Rissa menunduk. Ia tidak tahu bagaimana harus menceritakannya pada Esther.
"Ayo beritahu aku! Siapa orang itu?" desak Esther.
"Namanya Reva," jawab Rissa perlahan. "Katanya dia seorang pemain saxophone."
Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh kehadiran Bu Selly yang memberitahu Esther ada masalah di bagian ekspedisi.
"Kita masih perlu bicara." Esther kemudian berdiri dan pergi. Ia masih sempat melirik tajam pada Rissa sesaat sebelum pergi.
Oh tidak. Rissa lupa kalau seharusnya ia tutup mulut tentang Reva. Tapi Rissa hanya berpikir kalau ia menceritakannya pada Esther, maka Esther tidak akan menuduh Charlos orang yang tidak baik lagi. Sebenarnya Rissa merasa sedikit ragu. Ia tidak benar-benar mengenal Charlos. Semoga saja tidak ada yang salah dengannya.
Rissa merasa sedikit kacau pagi itu. Ia membereskan pekerjaannya seperti biasa. Esther tidak kembali lagi ke kantor.
Mereka tidak membicarakan tentang Charlos lagi keesokan harinya dan seterusnya. Itu bagus. Rissa tidak berani untuk membahasnya duluan. Ia jadi berpikir, bisa jadi Esther masih mencintai Charlos. Buktinya Esther masih menyimpan fotonya dengan Charlos.
Hati Rissa menjadi sedih. Saat ia mulai menyukai seseorang dan ada begitu banyak halangan. Bagaimanapun Rissa telah memantapkan hatinya, sampai selamanya ia akan tetap menyukai Charlos. Walau seburuk apapun, seperti kata Esther. Sekalipun Charlos tidak mencintainya dan lebih memilih Reva.
Hari cepat berlalu dan sekarang sudah hari Sabtu. Rissa teringat saat ia menulis tanggal. Hari ini tanggal delapan. Ia tidak akan bertemu Charlos karena pria itu pasti sedang pergi ke Festival Jazz untuk menonton pertunjukkan Reva.
Rissa iseng membuka internet dan melihat situs Festival Jazz. Ia tercengang saat melihat harga tiketnya : tujuh ratus lima puluh ribu rupiah untuk satu hari. Dan untuk tiket terusan tiga hari mencapai dua juta seratus ribu rupiah. Belum lagi ada tambahan biaya untuk special show : Aldo Manson, sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Sudah dipastikan ia tidak akan pernah sanggup untuk datang ke sana.
Kemudian jarinya mengklik schedule. Ia memilih tanggal delapan. Muncullah daftar nama-nama musisi yang akan tampil hari itu. Tidak ada satu pun nama Reva tercantum di sana. Rissa berpikir mungkin Charlos berbohong.
Masih penasaran, ia mengklik show all. Seluruh jadwal tiga hari terpampang jelas dengan jam dan nama tempat panggung masing-masing. Kali ini matanya lebih teliti lagi. Siapa tahu ia telah salah melihat. Ia membolak-balik laman itu, ke atas ke bawah. Seratus persen yakin tidak ada musisi yang bernama Reva. Wajah Rissa cemberut. Bagaimana bisa Charlos menipunya?
Dengan kesal Rissa menutup situs Festival Jazz di komputernya. Lalu ia melanjutkan lagi pekerjaannya. Rissa mendengus. Dasar pria sombong, arogan, tukang tipu. Mungkin saja apa yang Esther katakan itu benar. Charlos mungkin saja sudah gila. Ia mungkin sudah terlalu banyak berkhayal.
Tapi seharusnya orang yang berada di dalam mobil waktu itu bukanlah khayalan. Rissa yakin betul ada seseorang di dalamnya. Tentu saja. Bagaimana bisa mobil itu bergerak sendiri? Rissa mendecak kesal. Ia merasa bodoh. Orang itu sudah pasti supirnya. Kenapa juga ia berpikiran jauh tentang pacar Charlos. Dan wanita yang berada di kedai kopi itu mungkin hanyalah teman gereja dan bukan artis siapa-siapa. Ugh! Artis apanya?
Charlos Charlos Charlos.
Nama itu terus berterbangan di atas kepalanya. Kalau saja ada raket listrik, ia akan menyetrum nama itu seperti nyamuk hingga mati. Rissa meneguk segelas air untuk menenangkan pikirannya. Ia mengusap-usap pahanya kemudian siap untuk mengerjakan tugas yang sudah seharusnya sejak tadi ia selesaikan.
Sore harinya Rissa pergi ke Gedung Serba Guna Rajawali. Esther sudah dipastikan tidak akan mengikuti latihan paduan suara lagi. Jadi ia hanya sendiri. Orang pertama yang menyapanya adalah Pamela dan Elizabeth.
"Rissa, Selasa minggu depan tidak akan ada latihan. Kamu ikut aku ya. Nanti akan ada acara makan-makan," kata Pamela. "Ada yang ulang tahun." Ia berbisik sambil melihat ke arah Satria. Rissa hanya tersenyum. Satria melihatnya dan membalas senyumnya. Rissa langsung membalikkan wajahnya.
"Oke, nanti aku datang. Di mana tempatnya?"
"Calipso d'Café yang di Jalan Braga. Jam tujuh malam," kata Elizabeth. Rissa merasa sedikit risih mendengar nama tempat itu.
"Apa kamu tahu tempatnya? Aku akan menjemputmu," kata Pamela semangat.
"Em, tidak usah. Nanti aku ke sana sendiri."
"Di sana itu setiap jam delapan malam suka ada band. Lagu-lagunya ngejazz. Seru sekali! Kamu datang ya!"
"Tenang saja, Mel aku pasti datang." Rissa tersenyum.
Satria menghampirinya. Seperti biasa pria itu tersenyum lebar dan ramah. Pamela dan Elizabeth otomatis meninggalkan mereka berdua.
"Hai Rissa! Kamu sudah datang. Mana Esther?" kata Satria.
"Kak Esther sepertinya tidak akan ikut latihan paduan suara lagi."
"Oh kenapa?" Satria mengerutkan dahinya.
"Soalnya dia..."
"Padahal suara dia kan bagus." Sepertinya Satria tidak membutuhkan jawaban atas pertanyaannya. "Sayang sekali. Ah yang penting kamu tetap ikut paduan suara kan ya." Satria tersenyum. Pria itu tampak sangat tinggi. Rissa harus menengadah untuk melihat wajahnya.
"Ya," jawab Rissa.
"Oh ya nanti Selasa, apa kamu mau datang ke acara ulang tahunku?" Satria tersenyum lebar.
"Ya, aku sudah dengar dari Pamela," jawab Rissa dingin.
"Kamu pasti datang kan," kata Satria penuh harap.
Rissa mengangguk, tidak begitu memperhatikan Satria. Matanya terus melihat ke sekeliling berharap ia melihat Charlos, tapi itu jelas tidak mungkin.
Satria terkekeh, "Baguslah kalau begitu."
Rissa tidak menjawabnya lagi. Satria terlihat canggung. Dari jauh Dennis memanggilnya. Satria menghampiri pria kurus dengan kacamata itu. Mereka berbicara serius. Rissa menangkap percakapan mereka tentang ulang tahun Satria.
Rissa kemudian duduk di sebuah kursi, merasa lega. Ia jadi tidak perlu menghindar secara langsung dari Satria. Sudah sejak tadi ia memang tidak ingin melanjutkan percakapannya dengan Satria.
Tidak berapa lama kemudian latihan dimulai. Hari itu peran malaikat dilewat. Pak Rudy tetap optimis bahwa drama natal ini pasti sukses. Pak Rudy terus menyemangati para pemain drama.
Malam itu Rissa merasa sangat sepi. Sekalipun semua orang tampak sangat bersemangat, Rissa seolah tidak berada di atmosfir yang sama. Ia merasa hampa tanpa kehadiran Charlos. Rissa ingin sekali melihatnya.
Selesai latihan, Rissa membereskan teks lagu dan menyerahkannya ke Ibu Kiki. Satria menghampirinya lagi. Kakinya hampir ingin kabur dari tempat itu.
"Rissa, kamu mau pulang? Aku antar ya." Satria tersenyum ramah padanya.
"Aku... aku mau pulang dengan Pamela. Kamu duluan saja." Rissa melihat ke sana ke mari, mencari-cari Pamela. Di sanalah ia sedang mengobrol dengan Vivian.
"Pamela! Ayo kita pulang!" seru Rissa. Suaranya agak berlebihan.
Pamela menghampirinya. "Ayo! Eh Satria..."
Dilihatnya Satria seperti yang mengedipkan mata pada Pamela. Kemudian Pamela tiba-tiba berkata, "Eh Rissa! Maaf. Aku ada janji. Kamu pulang dengan Satria saja ya. Dah!" Pamela langsung pergi terburu-buru.
"Mel! Mel! Kamu mau ke mana?" Rissa berjalan cepat menyusulnya. Satria menahan tangannya. Rissa menatap galak pada Satria.
"Sampai bertemu nanti Selasa!" Pamela berbalik sekali lalu ia segera keluar aula.
"Lepaskan tanganku!" bentak Rissa.
Satria terkejut dengan sikap Rissa. Segera ia melepaskan tangan Rissa.
"Sebaiknya aku pulang sendiri saja." Rissa berbalik memunggunginya, hendak meninggalkan Satria.
Satria menahan bahunya. Rissa menghela napas dengan jengkel sambil memutar bola matanya.
"Ayolah," bujuk Satria. "Kamu pulang denganku ya. Aku antar." Satria berkata dengan sangat lembut.
Rissa nyaris membeku di tempatnya. Kemudian perlahan ia berbalik. Rissa melihatnya sedang tersenyum. Mau tidak mau Rissa mengakui kalau Satria juga memang tampan. Tubuhnya tinggi dan wajahnya selalu hangat bersahabat.
Rissa berpikir sejenak. Lalu dengan terpaksa, sambil memasang wajah masam, ia mengangguk. Rissa melihat Satria bergumam "Yes!".
Rissa menyeret-nyeret kakinya, mengikuti Satria ke mobil sedannya yang berwarna kuning.
Satria terus saja mengoceh sepanjang jalan. Rissa hanya menjawab seperlunya. Suara Satria seperti dari kejauhan, samar-samar. Di pikirannya saat itu hanya ada Charlos. Ia terus saja melihat ke arah jendela, tidak mau melihat wajah Satria.
Akhirnya mereka sampai di depan gang kontrakan Rissa. Satria mematikan mesin mobil.
"Ada apa denganmu, Rissa? Sepertinya kamu sedang sedih. Ayo ceritakan padaku."
Rissa sengaja menguap lebar-lebar. "Mungkin aku lelah. Aku pulang dulu ya. Terima kasih sudah mengantarku pulang." Rissa turun dari mobil. Satria diam saja, tampak agak cemberut.
***
Rissa belum membeli kado apa-apa untuk Satria. Ia bingung harus membeli apa. Sebenarnya Rissa tidak benar-benar ingin pergi ke acara ulang tahun Satria.
Esther menyuruhnya untuk membuatkan surat-surat dokumen penting untuk Golden Group. Rissa iseng melihat alamatnya. Ia mengetik suratnya, menaruhnya dalam amplop.
"Kak Esther!" panggil Rissa. Wanita itu berbalik dengan tatapan dingin.
"Ada apa?"
"Emm... Nanti malam katanya ada pesta ulang tahun Satria. Apa Kakak mau ikut?"
"Tidak," jawabnya singkat. Ia kembali duduk di tempatnya.
Rissa cemberut. Ia berpikir setidaknya Esther menanyakan di mana tempat pestanya atau jam berapa. Wanita itu hanya menjawabnya dengan satu kata yang terasa menyakitkan. Semakin hari sikap Esther berubah semakin dingin padanya.
Sore itu cuaca sangat cerah. Tidak ada hujan sama sekali. Pekerjaannya sudah selesai. Jam empat ia langsung pulang. Esther bahkan telah menghilang sejak setengah jam yang lalu.
Seperti biasa Rissa pulang dengan bus. Ia menenteng sebuah kantung kertas berisi jaket Charlos. Sejak kemarin ia berniat untuk mengembalikannya. Mungkin hari ini adalah hari yang tepat.
Bus berhenti dan Rissa turun di daerah Bandung Timur. Ia mengingat-ingat alamat Golden Group. Ia terus berjalan dan kemudian dilihatnya dari jauh logo Golden Group terpampang jelas. Gedungnya sangat tinggi dan megah dengan kaca yang mengkilat.
Rissa menimbang-nimbang apakah ia akan masuk begitu saja dan mengembalikan jaketnya ataukah lebih baik menitipkannya pada satpam. Rissa mendecak, sepertinya ia belum cukup berani untuk langsung masuk ke dalam kantornya.
Dari jauh ada yang memanggilnya.
"Ibu Carissa!" Rissa menoleh, ternyata itu adalah sekertarisnya Charlos. Jantungnya berdebar. Rissa mengira-ngira berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk kabur dari sana sebelum sang sekertaris mendekatinya. Terlambat. Pria itu menepuk bahunya.
Rissa berbalik lalu tersenyum. "Pak Rendra. Apa kabar? Panggil aku Rissa saja."
Rendra pun tersenyum. "Oh iya Rissa. Kalau begitu panggil aku Rendra saja, biar lebih akrab."
Rendra memandangnya dengan sikap yang aneh. "Aku jadi ingat waktu itu di undangan. Kamu kelihatan cantik sekali. Aku sampai tidak kenal."
Rissa tertawa terpaksa. "Terima kasih."
"Oh iya sebelumnya aku mau minta maaf. Aku tidak bermaksud menyinggung. Tapi apa benar kamu dengan Pak Charlos memiliki hubungan khusus?" tanya Rendra sambil menggaruk-garuk kepala tampak canggung. "Habis beritanya ramai sekali di internet. Daripada aku jadi biang gosip lebih baik aku tanya langsung padamu. Boleh kan?"
Rissa menyeringai masam. "Aku dengan Pak Charlos tidak ada hubungan apa-apa. Em... Bisa tidak... jangan dibahas lagi ya..."
"Oh iya maaf. Maaf ya, Rissa. Aku benar-benar minta maaf. Aduh. Eh iya ngomong-ngomong, ada apa kamu ke sini? Tadi surat dari Kharisma sudah aku terima. Untung saja cepat. Kalau tidak nanti Pak Charlos marah-marah. Terima kasih ya."
"Dia sudah kembali? Emm... Maksudku... Aku... kebetulan lewat." Rissa tertawa garing.
"Memang rumah kamu dekat sini ya? Boleh aku antar pulang? Kebetulan aku sudah pulang juga." Suara Rendra sangat ramah.
"Ah tidak usah repot-repot. Aku bisa pulang sendiri."
"Baiklah kalau begitu. Ngomong-ngomong apa itu?" Rendra menunjuk kantung yang dibawa Rissa.
Rissa bingung harus menjawab apa. "Ini..."
Sepertinya Rendra mengerti. "Untuk Pak Charlos? Oh apa itu harus diberikan langsung olehmu?" Rendra tertawa. "Langsung bawa ke rumahnya saja. Hari ini Pak Charlos pulang cepat. Beliau pasti sudah ada di rumahnya. Aku tahu rumah Pak Charlos. Apa kamu mau aku antar ke rumahnya?"
Rissa membelalak, merasa terkejut sekaligus senang. Ini terlalu cepat. Ia tidak percaya kalau hari ini ia mungkin akan bertemu dengan Charlos. Rissa mengangguk, menyetujuinya. Rendra mengantarnya dengan mobil.
Rumah Charlos terletak di kompleks Bandung Elok Regency. Di sana adalah kompleks real estate. Hanya orang-orang kaya raya yang bisa punya rumah di sana. Dengan takjub Rissa melihat-lihat rumah yang ada di sana. Mereka berhenti di rumah nomor tujuh belas.
Rendra kemudian pergi, membiarkan Rissa untuk masuk sendiri. Jantungnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Tangan kakinya sampai gemetaran. Perutnya mulas. Ia tidak berani masuk ke dalam.
Mobil sedan hitam milik Charlos terparkir di halaman rumahnya. Ia teringat saat itu ia pernah duduk di dalamnya dan berdua saja dengan Charlos. Rissa menelan ludah. Ia ragu untuk masuk. Rumahnya tidak ada pagar. Pos satpamnya tampak kosong. Rissa memberanikan dirinya untuk menekan bel, tapi ketika dilihat pintu rumahnya tidak tertutup rapat.
Kakinya yang berlagak pemberani melangkah maju, seolah tak kenal takut. Padahal sejak tadi tangannya tidak berhenti bergetar. Rissa menarik napas kemudian ia mengetuk pintu yang tidak tertutup rapat itu tiga kali. Tak ada suara. Ia kembali mengetuk sampai lima kali. Rissa berpikir apa ia pergi saja. Tapi celah di pintu itu merayunya untuk masuk ke dalam perlahan-lahan.
"Permisi! Ada orang di dalam?"
Sensasi memasuki rumah mewah memang begitu mengesankan. Lantainya berbahan marmer berwarna krem dengan motif bunga yang sangat besar. Terdapat satu set sofa besar hitam berlapis kulit di ruang tamu yang luas. Ada lampu kristal besar tergantung di tengah rumah.
Tangga rumahnya bergaya klasik, dilapisi cat berwarna emas. Tangga itu menuju ke bagian bawah rumah. Rissa mengintip sedikit ke bawah. Sebuah grand piano hitam berdiri kokoh di bagian bawah tangga. Di sebelahnya terdapat pintu kaca yang menghadap ke luar. Cahaya matahari membiaskan sinar dari air kolam renang yang beriak.
Udara di sini begitu sejuk. Ia hampir lupa tujuannya datang kemari. Sekonyong-konyong angin samar-samar menghantarkan suara orang tertawa. Ia yakin harus membayar mahal atas keberaniannya melangkahkan kaki di tangga emas itu. Tinggal sepuluh anak tangga lagi menuju grand piano. Suara tawa semakin jelas. Orang yang tertawa itu keluar dari persembunyiannya.
Pemandangan yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Pria tampan berlesung pipi indah yang memang sangat mirip malaikat sedang berciuman dengan seseorang, sangat mesra. Mereka berdua sama-sama bertelanjang dada. Rissa menjatuhkan kantungnya, berguling-guling menghantam anak tangga dengan suara yang cukup keras.
Ciuman terhenti. Kedua orang itu memandangnya. Wajahnya mendadak terasa dingin. Ia menahan diri agar tidak muntah.
"Hai!" sapa Charlos agak terkejut. "Kenapa kamu bisa masuk ke dalam sini? Ayo turun!" Tangannya memberi tanda. Perlahan Rissa menuruni anak tangga yang terasa sangat panjang.
"Apa ini?" Dilihatnya kantung yang tergeletak di ujung tangga, Charlos memungutnya dan mengeluarkan isinya. "Oh jaket aku. Kenapa harus repot-repot? Padahal biar saja."
Orang yang mencium Charlos itu memungut kaus yang tergeletak di sofa, lalu memakainya. Ia bertanya pada Charlos. "Apakah dia yang namanya Rissa?"
Charlos tertawa. "Aduh aku sampai lupa. Perkenalkan..."
"Kenalkan. Namaku Aldo." Orang itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum, yang tidak disambut Rissa. Lalu ia menarik tangannya kembali. Senyumnya tidak beranjak dari wajahnya.
Rissa menatap tangan itu, kemudian memperhatikan wajahnya. Pria itu lebih tinggi dari Charlos. Rambutnya yang ikal sebahu diikat separuh. Wajahnya sangat putih dan bersih. Senyumnya sangat memualkan. Hidungnya sangat mancung. Badannya kurus. Pria itu benar-benar tampan, tapi...
"Charlos... kalau Reva sampai tahu kamu..." Suara Rissa bergetar.
"Sudah kuduga." Orang yang bernama Aldo itu tertawa, agak dibuat-buat.
"Maaf, sebentar. Apa Charlos belum cerita? Reva itu aku. Namaku Revaldo, Revaldo Manson. Sebenarnya aku lebih suka dipanggil Aldo. Tapi Charlos selalu memanggilku Reva. Seperti panggilan sayang."
Aldo Manson? Rissa baru ingat kalau ia pernah melihat ada nama Aldo Manson di daftar nama special show Festival Jazz. Kepalanya berputar. Tangan kakinya kesemutan. Rissa merasa seperti kehabisan oksigen.
"Charlos... kamu... gay?" Rissa nyaris tidak mengenal suaranya sendiri.
Apa yang telah ia katakan? Kata 'gay' begitu bertentangan dengan segala apa yang ada di dalam diri Charlos.
Ia begitu tampan dan sempurna. Charlos tidak pernah menunjukkan kemungkinan ketertarikannya pada sesama jenis. Ia sangat perhatian pada Rissa, begitu baik hati, dan menyenangkan.
Bahkan, Charlos pernah berpacaran dengan Esther, tapi mengapa Charlos menjadi gay?
Tiba-tiba, perkataan Esther terngiang-ngiang di telinga Rissa.
"Dia itu sampai stress dan agak terganggu mentalnya. Dia itu sudah berubah sekarang. Dia sudah menjadi orang lain dan itu tidak baik. Kamu pasti tidak akan percaya sampai kamu lihat dengan mata kepalamu sendiri."
Rissa ingin sekali menangis. Ia menjaga sekuat tenaga agar tangisnya tidak pecah saat itu juga.
Reva berjalan melewati Rissa, kemudian duduk di kursi piano. Jarinya yang panjang mengelus piano itu dengan anggun.
"Rissa, kamu tidak sedang bercanda, bukan? Kamu sudah tahu tentang Reva sejak awal, ya kan? Kamu bilang kalau kamu pernah melihat aku dengan Reva di kedai kopi waktu itu. Apa jangan-jangan kamu tidak melihat Reva dengan jelas?"
Charlos menggelengkan kepalanya, lalu ia menghela napas, kecewa.
Rissa menoleh sedikit ke arah Reva. Pria itu sedang duduk santai, tangannya menopang dagu sambil memandangi kolam renang. Ia tampak seperti tokoh kartun Jepang.
Rissa tidak tahu harus berkata apa. Usahanya untuk menahan tangis gagal total. Air mata perlahan meleleh di pipinya.
"Kamu tidak apa-apa, Rissa?" Charlos terdengar khawatir. Rissa merasakan tangan Charlos seolah hendak menyentuhnya, tapi ia tidak jadi melakukannya.
"Terima kasih jaketnya. Aku pulang dulu." Rissa menunduk, lalu ia pergi menaiki tangga.
Rissa berlari tanpa tahu arah. Air mata terus mengalir dan dadanya sakit. Ia tidak pernah merasa sesakit ini dalam hidupnya. Hatinya perih seperti ada jarum yang menusuknya terus menerus.
Charlos adalah seorang gay.
Rissa tidak bisa menerima kenyataan itu. Reva itu seharusnya nama seorang wanita. Ia pernah melihat punggung Reva saat di kedai kopi. Bahkan ia yakin, seseorang berambut panjang sebahu itu adalah seorang wanita. Dengan bodohnya, ia malah mendukung Charlos untuk menyatakan cintanya pada Reva.
Reva. Apanya yang Reva? Revaldo Manson.
Semua ini sungguh di luar nalar dan sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana bisa Charlos mencintai seorang pria?
Rissa merasakan kepalanya berputar. Ia sebenarnya sudah tidak kuat lagi untuk berdiri, tapi ia memaksa kakinya untuk terus berjalan. Akhirnya, ia rubuh di tempat duduk halte bus yang kebetulan tidak ada orang.
Air mata terus saja mengalir membasahi pipi Rissa. Langit pun ikut meredup, seperti yang ikut merasakan kesedihannya. Sinar matahari yang cerah perlahan tertutup awan gelap. Tak berapa lama kemudian turun hujan.
Sebilah pisau tajam tak kasatmata dengan kejam mengiris-iris hati Rissa dan rasanya perih sekali. Ia menemukan dirinya berdarah-darah, dan air hujan melarutkan darahnya sepanjang jalan.
Jika ada sesuatu yang paling menyakitkan di dunia ini, hal itu pasti adalah cinta. Rissa tidak pernah tahu kalau cinta bisa begitu menyakitkan seperti ini. Lebih baik ia mati daripada harus melihat dengan matanya sendiri bahwa pria yang dicintainya, mencintai pria lain.
Tidak ada yang tahu apa isi hati seseorang. Rissa hanya bisa mengubur perasaannya dalam hatinya. Ia meratapi hatinya untuk waktu yang sangat lama.
Bus datang dan pergi. Kondektur bus memanggil Rissa untuk naik, tapi ia diam saja. Akhirnya, malam pun tiba. Rissa terus saja duduk di halte bus. Ia melihat jam tangannya yang sudah pukul sembilan malam.
Bus terakhir datang dan kemudian Rissa bangkit berdiri dan masuk ke dalam. Bus sangat sepi, ada sekitar lima orang yang duduk di dalam sana. Rissa duduk di dekat kaca sambil memandang ke luar. Matanya sembab karena habis menangis. Lalu hujan mulai berhenti.
Akhirnya, bus tiba di Jalan Asia Afrika dalam satu jam. Rissa turun dari bus lalu berjalan kaki menuju Jalan Braga. Air mata mulai meleleh lagi. Ia mengingat saat dirinya berjalan tergesa-gesa menuju ke Calipso d'Café untuk bertemu Charlos. Waktu itu, Charlos yang tampan sedang duduk menunggunya di dalam cafe.
Kemudian Rissa teringat saat mereka berlari bersama-sama di bawah payung, wajah Charlos begitu dekat dengannya. Rissa masih bisa mengingat harum tubuhnya; segar dan menyenangkan.
Rissaa berjalan dan tiba-tiba, Calipso d'Café sudah di depan mata. Cafe itu tampak sepi. Dari balik kaca, Rissa bisa melihat seseorang sedang duduk di tempat Charlos pernah duduk menunggunya wktu itu. Hanya saja, pria itu bukan orang yang sama.
Lalu, Rissa masuk ke dalam dan menghampirinya.
Satria terkejut. "Rissa! Kamu dari mana saja? Ini sudah half-past ten!" Wajahnya terlihat khawatir. "Aku pikir kamu tidak akan datang. Sayang sekali, yang lain sudah pulang."
Rissa menunduk dan tidak menjawab Satria. Wajahnya pucat dan lesu seperti yang tidak ada gairah hidup.
"Ah, kebetulan kamu sudah di sini, aku mau mengatakan sesuatu padamu. Uhm … aku bingung harus mulai dari mana." Satria menggaruk kepalanya dengan gugup.
"Kita ... kita sudah lama saling kenal. Aku senang sekali setiap kali aku bertemu denganmu. Aku selalu memikirkanmu dan sekarang, aku ingin memberanikan diri untuk bilang ... bahwa aku … aku suka kamu, Rissa. Maksud aku ..., aku jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali aku bertemu denganmu."
Rissa terdiam. Tidak ada jawaban dari mulutnya.
"Rissa?"
Air mata mulai mengalir lagi di wajah Rissa dan menetes ke meja hingga membuat bahunya bergetar. Satria hendak menyentuhnya, tapi ia tidak berani melakukannya.
"Rissa, kamu tidak apa-apa? Kenapa kamu menangis? Apa kamu ... terharu?" Satria tampak tidak yakin kata-katanya sendiri.
Rissa menangis semakin menjadi-jadi. Ia terisak-isak sambil tersedu-sedu dengan tangan yang menutupi wajahnya.
Satria panik. Ia melihat ke kiri dan ke kanan, menaruh kepalan tangannya di bibirnya, menggaruk kepalanya, dan menggerak-gerakan jarinya.
"Rissa. Please, jangan menangis. Apa yang terjadi? Beritahu aku, Rissa."
Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut Rissa. Air mata terus mengalir deras di pipinya. Akhirnya, Satria menyerah. Ia tidak menanyakan apa-apa lagi pada Rissa.
Satria merangkul bahu Rissa sambil berusaha mengangkatnya dan membantunya berdiri. Lalu ia membawa Rissa pulang.
Sepanjang jalan, Satria terus saja melirik Rissa seolah khawatir jika ia tiba-tiba, membuka pintu dan menerjunkan dirinya keluar. Namun, Rissa memejamkan matanya dan tertidur.
Akhirnya, mereka tiba di rumah Rissa. Satria turun dari mobil untuk membuka pintu kemudian menggendong Rissa, dan membawanya masuk ke dalam rumah. Rissa masih memejamkan matanya sambil sesekali cegukan.
Halo My Readers!
Di Bab yang ke-13 ini kita akan sama-sama mengetahui kebenaran akan Reva.
Tarik napas dalam-dalam. Tenangkan diri.
Aku harap kalian tidak kecewa ya.
Tetap baca dan lanjutkan ceritanya. Jangan lupa minta vote dan power stone nya. ^,^
Terima kasih.