"Irona!" suara teriakan seorang pria terdengar sedikit menggema, dari ujung koridor terlihat Aksa yang sedang mengatur nafas seperti.... kelelahan berlari?
"Irona tunggu!" sekali lagi suara itu terdengar, kali ini dibarengi dengan derap langkah yang lebar. Rupanya Aksa sedang berusaha mengejar Irona, entah apa yang terjadi antara mereka berdua.
"Ck, apaan sih lo. Pagi-pagi udah berisik" Irona berbicara sangat ketus, setelah Aksa berada sejajar dengan dirinya.
"Hah hah.. kamu kenapa sih? hah.. aku capek tau ngejar kamu" nafasnya tersengal dan lututnya terasa lemas. Aksa bingung apa yang sebenarnya terjadi dengan gadis pujaannya itu, pasalnya baru beberapa hari mereka mengubah status dari musuh menjadi seorang pacar namun baru kali ini lagi sikap Irona berubah.
"Dasar cowok ngga peka" Irona pergi meninggalkan Aksa sebari mengehentak-hentakan kakinya. Sedangkan lelaki tampan yang kini menyandang status sebagai kekasih Irona diam tertegun memperhatikan betapa lucunya jika Irona marah. Aksa tidak merasa kesal sama sekali, justru ia tersenyum kecil. "Cewek gue imut banget, Tuhan" batinnya.
Brak!
Suara gebrakan meja terdengar begitu kencang, membuat seisi kelas menoleh ke arah sumber suara.
"Lo apa-apaan sih. Dateng-dateng kayak orang kesurupan" Arina yang sejak tadi sedang fokus membaca novelnya pun terjengat, ia melihat Irona yang datang dengan keadaan wajah yang ditekuk dan sedikit pucat.
"Huaaaaaa.. perut gue sakit" lagi-lagi Irona membuat ulah, ia menangis meraung-raung, menggegerkan seisi kelas.
"Psssttt.. lo kenapa sih?" Arin berusaha mengedarkan pandangannya, ternyata seluruh teman sekelasnya memperhatikan mereka berdua, terutama Irona.
"Gue mens, goblok" wajah Irona memerah, sepertinya mood Irona hari ini sedang tidak baik.
"Anjir, pantes galak" Arin berdesis, agar Irona tidak mendengar ucapannya.
Siapa yang berani melawan pada wanita yang sedang kedatangan tamu bulanan? kalaupun ia berjalan lalu menabrak tiang listrik, maka sudah menjadi kewajiban si tiang listrik lah yang harus meminta maaf.
Mood saat menstruasi memang seperti ombak, kadang pasang dan kadang surut. Tidak bisa ditebak kapan ia akan memaki dan kapan ia akan rendah hati.
Aksa dan Irona sedang berjalan beriringan menuju kantin, sejak tadi pagi pun tidak ada obrolan diantara mereka. Begitupun sekarang, walaupun raga mereka hanya terhitung jengkal namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Keduanya diam, entah sibuk dengan pikirannya masing-masing atau apa hanya mereka, Tuhan dan author yang tahu.
"Zio!"
Ditengah keheningan dua sejoli ini, tiba-tiba saja terdengar suara wanita yang sedikit cempreng dan hampir saja merusak gendang telinga Irona.
"Zio mau kemana?" Niken Salshabilla, ketua cheers yang populer dikalangan siswi Altamevia. Parasnya yang begitu cantik membuat lelaki mana pun akan takluk ditambah dengan lekukan tubuh yang sangat proporsional membuat rupa seorang Niken menjadi terlihat sempurna.
"E..... "
"Jangan panggil dia Zio. Panggil Aksa" Irona memotong perkataan Zio yang belum sempat terlontarkan, ia sudah kepanasan melihat sikap so manis Niken pada kekasih sematawayangnya itu.
"Aksa?" Niken terlihat bingung, pasalnya ia sedari awal memang mengenal Aksa sebagai Zio.
"Iya. Nama gue kan Zio Aksadana, jadi mulai sekarang panggil Aksa aja, ya" jelas Aksa.
"Oh.... jadi Aksa, ke kantin bareng gue, yuk"
plak!
"Aww... "
Belum sempat Niken menggamit lengan Aksa, Irona lebih dulu memukul dengan keras tangan Niken.
"Jangan lo sentuh co wok gue!" ucap Irona tegas. Ia menekankan kata cowok pada ucapannya, agar memperjelas status hubungan mereka.
Aksa yang berada diantara mereka pun dibuat bingung, ia tidak tahu harus berbuat apa.
"Ron, udah" ia berusaha menenangkan kekasihnya itu, ia tidak ingin Irona terkena masalah jika diketahui oleh pihak sekolah.
"Jadi lo ngebelain dia?" Irona berucap sinis pada Aksa, jari telunjuknya mengacung ke hadapan wajah Niken.
"Bukan gitu, sayang" Aksa berkata selembut mungkin, ia tidak ingin ada pertengkaran diantara mereka.
"Terserah" Irona melengos meninggalkan Aksa dan Niken. Ia kesal bahkan marah. Irona hanya tidak ingin ada perempuan lain yang berusaha mendekati kekasihnya, ia hanya menjaga apa yang sudah seharusnya menjadi miliknya.
"Aksa kok ngga ngejar gue" ucapnya lirih. "Dasar cowok brengsek" kedua tangannya mengepal dan matanya sedikit berair. Hatinya hancur melihat kekasihnya sendiri lebih membela perempuan lain. Bahkan di dunia ini tidak hanya Irona yang merasa seperti itu, wanita sedunia pun tidak rela jika kekasih mereka berada dipihak wanita lain.
***
"Lepasin gue!" Aksa menghentakan tangan Niken yang bergelayut dilengan kokoh Aksa. Ia tidak bisa membiarkan semua ini, bagaimanapun Irona tetap kekasihnya. Aksa tidak ingin jika Irona nantinya salah paham.
"Lo beneran jadian sama Irona?" Niken menatap kedua manik mata Aksa, ada sorot cemburu dan rasa tidak rela didalam sana. Memang sudah sejak lama Niken tertarik pada Aksa, namun ia tidak memiliki keberanian yang mumpuni untuk mengatakannya langsung.
"Iya"
Niken melemparkan senyuman sinis dan tawa meremehkan, "Kalian munafik juga ya" lanjutnya.
"Dan itu bukan urusan lo" tukas Aksa. Ia segera berlari dengan cepat, berharap gadis pujaannya tidak marah besar. Aksa sudah tidak fokus dengan apapun yang ada dihadapannya, yang ia tuju sekarang adalah Irona, kekasihnya.
***
"Hkss.. lo jahat banget, sa. Lo ngga ngejar gue sama sekali. Padahal gue juga pengen kayak perempuan yang kalau marah dibujuk sama pacarnya, tapi elo mana?." Disinilah sekarang Irona berada, ditaman sekolah yang hampir tidak pernah dikunjungi oleh warga sekolah. Irona duduk dengan bahu yang terguncang, menandakan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.
"Sayang"
Irona membeku ditempat nya, ia hafal suara itu. Suara laki-laki yang saat ini bertahta didalam hatinya, laki-laki yang mampu mengombang-ambing perasaannya.
"Kamu ngapain disini, hm?" Aksa duduk disamping Irona, padahal si empu belum mempersilakannya.
"Ngapain kamu kesini?" bukanya menjawab justru Irona bertanya dengan ketus, wajahnya teramat mengkhawatirkan, matanya sembab dan hidungnya memerah.
Aksa yang berada disampingnya hanya terkekeh melihat penampilan serta kelakuan Irona. "Bukanya tadi kamu berharap aku ngejar kamu, ya?" Aksa mengulum senyumnya, ia tidak ingin membuat kesalahan yang kedua.
"E... nggak, siapa juga yang berharap kamu ngejar aku?" wanita memang begitu. Jika mulut berkata tidak, maka hati berkata iya.
"Sini" dengan selembut mungkin Aksa meraih kepala Irona untuk disandarkan ke pundak sebelah kirinya, ia mengelus dengan perlahan.
"Aku ngga ngebelain Niken, sayang. Aku ngga mau kamu kena masalah disekolah"
"Tapi kenapa kamu ngga ngejar aku?" Irona masih sedikit terisak, suaranya memilukan. Aksa yang mendengar itupun sangat merasa bersalah dan gagal. Ia gagal membuat Irona untuk selalu tersenyum.
"Aku kan sekarang udah disamping kamu. Plis jangan nangis, aku ngga kuat liat kamu nangis" Aksa berkata dengan pelan, hatinya benar-benar sakit ketika melihat Irona menangis. Bagaimana jika Irona meninggalkannya? ah tidak, itu tidak boleh terjadi.
"Aksa"
"Ya?"
"Kenapa kamu mau macarin aku?"
Aksa terdiam. Ia bingung harus menjawab apa, karena selama ini banyak hal yang ia sembunyikan.
"Sa"
"Karena aku sayang. Aku sayang kamu dari awal kita ketemu, sepuluh tahun yang lalu"
Irona terdiam, ia ingin mendengar lebih jauh lagi. Karena setelah pertemuan pertama di sepuluh tahun lalu mereka sudah tidak berkomunikasi kembali.
"Sejak lulus smp aku mutusin buat pindah ke Bandung, sekolah disini dan juga nepatin janji aku ke kamu"
Irona mendongak, "Ayah kamu izinin?" sambungnya.
"Awalnya engga, tapi aku terus yakinin ayah" terang Aksa. Ia menatap Irona, lalu tersenyum dengan manis.
"Aku sayang kamu, Rona"