下載應用程式
14.52% Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 58: Chapter 7: Kingdom of Diamonds

章節 58: Chapter 7: Kingdom of Diamonds

Ayam berkokok, mentari terbit dan menampakkan sinarnya, sementara Amartya dan Naema telah selesai bersiap-siap dan beranjak menuju Mitralhassa. Mereka membawa kereta kuda Amartya dengan beberapa perangkat perang yang tersimpan di dalamnya.

"Kita mau mulai dari mana kakanda?" Tanyanya yang lagi-lagi duduk di bangku kusir bersama Amartya.

"Hm, kamu banyak bicara ya sekarang…"

Naema tampak tidak terlalu senang mendengar komentar tersebut.

"Kita akan datang ke kota pusat tempat bangsawan Ambawak (suku Tanah) berada, aku sudah membuat janji dengan seorang bangsawan di sana." Amartya mengeluarkan gulungan yang tampak seperti surat formal.

"Apakah dia orang yang cukup penting di kalangan Ambawak?" Naema kembali bertanya.

"Orang yang akan kita temui merupakan salah satu dari empat mentri penting Ambawak, dia yang mengatur suplai pertambangan dan perlengkapan pasukan. Jadi, bisa dibilang begitu." Amartya lalu menyimpan gulungan itu kembali ke tasnya.

"Apa yang ingin kakanda lakukan dengannya?"

"Mempelajari lebih detail kelemahan dan kekuatan perlengkapan pasukan Tanah, agar kita bisa tahu harus ditaruh manakah mereka di medan perang."

"Begitu…" Naema tak sedikitpun menunjukkan tanda-tanda ketertarikan.

"Ngomong-ngomong tadi kakanda berbicara soal empat mentri penting, apa itu?"

"Mereka adalah mentri-mentri utama yang membantu Raja Alam menjalankan pemerintahan." Jawab Amartya dengan matanya yang menatap fokus pada jalan.

"Raja Alam?"

"Ya, suku Tanah diatur oleh tiga orang raja."

"Aku pikir dia ada hubungannya dengan suku Alam."

"Tidak, Sarma (suku Alam) hanya dipimpin oleh Ibunda Zoastria dan Pohon Kehidupan," Jelas Amartya.

"Sementara Raja Alam adalah Raja Ambawak, bersama Raja Adat dan Raja Ibadat."

"Apa itu?"

"Raja Adat adalah raja yang yang mengatur urusan adat, serta raja dari para rakyat, Raja Ibadat adalah raja yang mengatur masalah ketuhanan, serta raja dari Tanduk Putih, walau Tanduk Putih punya adatnya sendiri yang diatur oleh ibu dari Raja Adat dengan gelar Bundo Kanduang, sementara Raja Alam mengatur pemerintahan suku Tanah, serta raja dari para bangsawan dan prajurit."

"Ah, aku mengerti sekarang." Gadis itu mengangguk paham.

"Bicara soal Tanduk Putih, bagaimana cara kita memanggil orangnya?"

"Pasilek, silek adalah nama ilmu mereka, silek sendiri berbeda di keempat keluarga Tanduk Putih, aku akan menjelaskannya padamu di lain waktu, kita sudah sampai."

Setelah sekian lama (sebenarnya sebentar, mengingat kecepatan luar biasa kuda api) berbincang, mereka dikejutkan oleh kilauan cahaya yang menghujani mata mereka.

Sampailah sudah mereka di Sfyra, benteng dan ibu kota para bangsawan suku Tanah.

Di sekitarnya berdiri dengan gagah gunung-gunung intan suci, kian gemerlap mengkilat lagi agung. Difraksi cahaya yang mereka hasilkan membuat tembok-tembok baja di sana tercorakkan dengan beraneka warna, layaknya sebuah negri pelangi. Ditambah tembok-tembok itu memiliki banyak ukiran dari berlian suci yang jelas hanya mampu dikerjakan oleh para pengrajin Ambawak.

Mitralhassa merupakan provinsi yang dirayapi pegunungan intan di tiap sisinya, amat disayangkannya Ambawak merupakan suku yang rakus dan enggan berbagi intan-intan ini.

Ditambah para bangsawan memonopoli tidak hanya mereka, mengakibatkan banyak dari rakyatnya jatuh miskin dan menggantungkan hidup pada pekerjaan murah serta mencuri. Kalangan cendikiawan dari mereka meski begitu, lebih memilih untuk merantau ketimbang sengsara di negrinya.

Karena hal ini, banyak Ambawak bisa ditemukan membuka toko di mana-mana. Tentu saja aku tak akan memberi tahu kalian dari mana mereka mendapat stok barang untuk dijual, tapi yang jelas, mereka adalah kalangan yang sukses bahkan di antara Ilmuan Langit yang senantiasa bertransaksi di keseharian mereka.

Kebanyakan dari rakyat yang tak hidup dalam kemiskinan merupakan sanak keluarga dari mereka yang merantau. Walau itupun, mereka masih harus mempertahankan sesuap nasi mereka dari keluarga lain yang kurang beruntung. Atau bahkan orang buangan.

*

Di depan gerbang berdiri seorang raksasa tinggi dengan pakaian rapih yang terlihat mahal, berdiri di sampingnya beberapa orang dengan zirah dan perisai baja.

"Ahh…" Raksasa rapih itu nampaknya menyadari kehadiran mereka berdua.

"Selamat datang, Tuan Amartya, Nyonya Permaisuri. Kami ucapkan selamat atas pernikahannya, saya Indomo, salah satu Basa Ampek Balai." Para raksasa itu memberi penghormatan mereka.

"Terima kasih atas ucapannya, tuan Indomo." Amartya mengangkat tinggi tangannya berusaha berjabat tangan dengan sosok besar di hadapannya.

"Maaf atas ketidaksopanan saya, tapi… tidakkah kulit Anda agak sedikit… kumuh untuk seseorang yang berpakaian teramat rapih?"

"Kerjaan kami akhir-akhir ini sedang padat, tuan. Mungkin itu salah satu alasannya." Indomo tersenyum mendengar pertanyaan si pemuda.

"Begitu?" Amartya mengangkat alisnya.

"Sekarang, mari kita ke daerah perdagangan di pesisir, Tuan. Desa Chrysos, di sana terdapat pusat penempa besi kerajaan. Setelahnya kita bisa lanjut ke daerah pertambangan." Orang-orang Indomo pun beranjak kembali ke karavan mereka, seakan mengajak mereka berdua untuk ikut.

"Baiklah…" Kedua pasutri itu sudah jelas terlalu kecil untuk kereta kuda Ambawak yang dua kali lipat lebih tinggi dari mereka.

"Ngomong-ngomong Adinda, aku lagi kaya nih, kamu jajan aja sepuasmu di Chrysos selama aku ngecek, nanti aku yang bayar."

"Sungguh!? Makasih, kakanda~" Bahkan putri dari seorang nabi juga mampu menghargai keindahan uang.

*

Keduanya pun kembali ke kereta kuda, dari sana Indomo dan anak buahnya membimbing mereka menuju daerah pesisir. Seperti yang direncanakan, Naema bersenang-senang dengan uang Amartya, sementara si pemuda Api mendatangi pusat penempa logam.

"Di dalam ada orang yang sudah siap menuntunmu berkeliling pabrik ini, selamat menikmati kunjunganmu, Tuan." Indomo mengarahkan tangannya pada pintu pabrik, mempersilahkan Amartya masuk.

"Anda tidak ikut?" Tanya Amartya.

"Tidak-tidak, saya tidak ingin mengganggu kunjungan Anda, Tuan." Lagi-lagi dia tersenyum.

"Amat disayangkan."

Amartya pun masuk ke dalam, di sana seseorang langsung menyambutnya dan menuntunnya melihat-lihat.

*

Setelah dua jam berlalu, ia akhirnya selesai meneliti perlengkapan pasukan Ambawak, kini ia pergi mendatangi Naema.

Gadis (wanita) es kita terlihat sedang duduk manis di sebuah bangku dekat toko pakaian, ia terlihat memegang lima lembaran kertas ditangannya. Kertas-kertas itu berisikan nota dari hal-hal yang harus dibayar, dan Amartya kini mendatangi gadis (wanita) kesepian itu.

"Eh kakanda, aku baru saja selesai berbelanja." Wajah Naema tampak kian cerah.

"Apa saja yang kamu beli?" Tanya si pemegang dana.

"Ini…" Naema menyerahkan kelima nota itu pada Amartya.

"Beberapa Baju, 10 serbuk alkali dan alkali tanah, sejumlah bahan makanan, batu… mulia? Dan beberapa buku." Amartya membaca isi nota itu.

"Masih penasaran soal api berwarna ya? Terus ini ratna untuk apa?" Ia menunjuk pada nota batu mulia.

"Ah itu…" Naema kemudian memanggil tongkat sihir dari dinginnya udara.

"Itu untuk memperkuat tongkat sihir ini, ratna punya kekuatan untuk memperkuat sihir dan elemen."

"Hmm… iya kah?"

Tongkat sihir Naema terlihat memiliki banyak spot yang bisa diisi oleh ratna.

Berbeda dengan persenjataan Penempa Bumi yang biasanya hanya diisi satu ratna untuk merubah-rubah bentuk mereka, tongkat-tongkat sihir Ilmuan Langit memiliki banyak slot ratna yang bisa digunakan untuk memperkaya kekuatan dari tongkat sihir itu, serta penyihir yang menggunakannya.

"Baiklah kalau begitu, mari kita bayar semuanya."


Load failed, please RETRY

禮物

禮品 -- 收到的禮物

    每周推薦票狀態

    Rank -- 推薦票 榜單
    Stone -- 推薦票

    批量訂閱

    目錄

    顯示選項

    背景

    EoMt的

    大小

    章評

    寫檢討 閱讀狀態: C58
    無法發佈。請再試一次
    • 寫作品質
    • 更新的穩定性
    • 故事發展
    • 人物形象設計
    • 世界背景

    總分 0.0

    評論發佈成功! 閱讀更多評論
    用推薦票投票
    Rank NO.-- 推薦票榜
    Stone -- 推薦票
    舉報不當內容
    錯誤提示

    舉報暴力內容

    段落註釋

    登錄