"Siska,lo ngapain masih di sini?" teriak seseorang kepada Siska. Gadis yang tengah belajar bersama temannya itu menoleh dan menatap heran.
"Lo gak tau kalau Ghirel pingsan gara-gara Kristal?" tanya seseorang tersebut.
Mendengar hal tersebut,Siska langsung berlari tanpa pikir panjang menuju UKS. Dia bodoh,harusnya dia selalu ada di samping Ghirel. Siska seharusnya sadar bahwa Kristal tidak akan semudah itu melepaskan Ghirel seperti melepaskan dirinya dulu. Di tengah jalan,Siska menghubungi Afka. Sialnya, hanya suara operator yang ada. Sepertinya, handphone laki-laki itu sedang dalam keadaan mati.
Sesampainya di UKS,Siska menerobos masuk tanpa memperdulikan guru-guru yang mencegahnya.
"Ghirel gak papa?" tanya Siska. Nafasnya tidak beraturan dan matanya berair.
Tzuwi yang melihat sahabatnya khawatir hanya tersenyum, "gak papa, dia udah sadar kok."
Siska lemas seketika. Dia sampai duduk selonjoran di lantai setelah mendengar berita baik tersebut. Hatinya cukup lega. Setelah kembali memiliki kekuatan untuk bangkit, Siska menghampiri Ghirel yang sedang duduk di ranjang paling ujung.
"Maafin gue Jie, harusnya gue jagain lo terus," sesal Siska.
Ghirel tertawa kecil, bagaimana bisa ini menjadi salah Siska padahal sumber masalahnya ada di hubungan Ghirel dan Afka. Hubungan yang sejak awal ditentang banyak orang termasuk bundanya sendiri.
"Nggak, lo gak salah apapun Siska. Jangan nyalahin diri lo sendiri oke?" kata Ghirel.
Siska masih memeluk erat sahabatnya. Tzuwi yang melihat hal tersebut merasa aneh. Sepertinya ada hal yang disembunyikan oleh Siska sampai-sampai dia merasa sangat bersalah. Daripada berburuk sangka, akhirnya Tzuwi mengemasi seragam Ghirel yang basah kuyup.
***
Sepulang sekolah, Ghirel sedang menunggu angkutan umum berwarna merah dengan tujuan rumahnya. Dia memasang headsetnya lalu duduk sambil mengayunkan kakinya di halte dekat sekolahan. Beberapa siswa memandangnya kasihan, yah memang tubuhnya terbilang penuh luka goresan. Mereka yang memandangnya kasihan pasti sudah mendengar perihal berita itu.
"Korbannya Ital yah?" tanya seseorang yang seumuran dengannya.
Seragam yang dikenakan gadis itu sama seperti miliknya, itu artinya mereka satu sekolah.
"Iya,"jawab Ghirel pelan.
"Banyak kok korbannya, tapi tetap aja dia gak bakal kena hukuman. Lo bukan yang paling parah, jangan ngerasa tersakiti banget ya," kata gadis dengan nametag Liliana tersebut.
"Emang yang paling parah kenapa Lili?"tanya Ghirel dengan embel-embel nama gadis itu.
Gadis itu terdiam sejenak, "oh dari nametag gue."
"Ada yang sampai koma," jawab Liliana.
"Koma? Kok gue belum pernah dengar beritanya?" tanya Ghirel lagi.
"Itu di tutup-tutupi sebisanya. Tapi yang namanya gosip mah pasti kesebar, lo anak yang jarang bergaul sama kelas lain ya?" Liliana bertanya balik.
Ghirel baru menyadarinya kalau bergaul dengan kelas lain itu penting,"Hehe iyaaaa."
Suara klakson menghentikan percakapan Ghirel dan Liliana, saat Ghirel menoleh ia mendapati kekasihnya dengan mobil sport berwarna hitam. Afka mengenakan boxer putih dan kaos hitam polos disertai kacamata kece menambah ketampanannya.
"Kakak jemput aku?" suara seorang gadis mengganggu telinga Ghirel.
Ghirel menoleh, memperhatikan gadis dengan rambut panjang dan gaya berpakaian terlalu berlebihan. Di wajahnya terpoles make up yang cukup tebal.
"Pede banget lo, gue jemput Ghirel!" kata Afka.
Ghirel tersenyum bahagia, dengan langkah tertatih dia menghampiri Afka yang juga sedang menghampirinya.
"Kamu gak papa?" tanya Afka.
"Iya gak papa," jawab Ghirel sambil memegang lengan Afka agara membantunya berjalan.
Afka sudah tahu tentang masalah ini. Dia baru saja dikabari Siska perihal tersebut. Bangun tidur Afka langsung menyambar kacamata hitam dan pergi ke sekolahan untuk mengurusnya. Dia ingin Ital dipermalukan di depan umum besok pagi, tidak ada pengecualian.
Setelah di dalam mobil, Afka mengambil salep dari tasnya, "sini aku obatin."
"Kamu gak mau tanya aku kenapa?" tanya Ghirel ragu-ragu. Jika Afka sudah tenang saat bersamanya seperti ini, itu artinya Afka sudah melampiaskan amarahnya kepada seseorang. Dan Ghirel benar-benar takut itu terjadi.
"Aku udah tau Jie," jawab Afka sambil mengoleskan salep ke luka-luka yang Ghirel dapatkan.
"Siapa yang jadi korban marahnya kamu kali ini?" tanya Ghirel.
Afka hanya cengengesan, "kepala sekolah."
Ghirel terkejut, dia melototkan matanya. Apa yang harus Ghirel katakan kepada kepala sekolahnya setelah ini? astaga berapa kalu Ghirel harus meminta maaf karena membuat kepala sekolah tak berdosa itu harus terkena imbasnya karena dia?
"Kamu apain dia?" tanya Ghirel. Hatinya deg-degan menunggu jawaban Afka.
"Giginya copot satu karena aku tinju," jawab Afka dengan entengnya.
Ghirel lemas, dia sampai tidak merasakan sakit dari luka goresan di tubuhnya. Entah berapa permintaan maaf yang harus Ghirel berikan kepada Bapak Kepsek.
"Kamu gila Af?" tanya Ghirel.
"Lah emang kapan aku gak gila?" jawab Afka sembari membalut luka Ghirel.
***
"Bunda, anaknya aku balikin. Maaf lecet, aku tidak bertanggung jawab," Afka menundukkan kepalanya.
Ghirel sudah mencubit lengan Bunda menyuruhnya untuk masuk agar tidak memarahi Afka.
"Saya sudah bilang kan, jauhi anak saya! Hubungan kalian itu gak dapat dukungan dari siapapun!"ketus Bunda.
Afka tak berani menegakkan kepalanya menatap wajah kecewa Bude Raila. "maaf."
Afka benar-benar menyesali tidur siangnya, andai saja dia memilih masuk sekolah dari pada tidur memikirkan ibunya maka Ghirel tidak akan terluka seperti saat ini.
"Dulu kamh udah nyakitin hati anak saya, sekarang kamu nyakitin fisik anak saya. Mau kamu apa?" tanya Bunda.
Mendengar hal tersebut, Ghirel bingung. Dulu? apa maksudnya?
Afka membelalakkan matanya, "jangan diungkit please, aku gak mau dia semakin tersakiti."