-o0o-
Elvis mengerutkan keningnya begitu hendak membuang bungkus snack nya ke tempat sampah. Ia mengangkat wajahnya, mengedarkan seluruh pandangannya kemudian memejamkan mata ketika tak menemukan orang yang ingin ia lihat. "BIANCA, KAU MEMBUANG CANGKIR FAVORITKU LAGI?!!" Teriak Elvis dari dapur dengan geram. Derap langkah kaki yang terdengar malas mulai mendekat. Dari balik bilik, Bianca menguap sembari berkata, "Ups, my bad." Ia menghampiri Elvis, menopang dagunya di pundak pria yang lebih tinggi darinya. "Aku lupa itu milikmu, kupikir punya Chad. Sedikit balas dendam," tukas Bianca.
Mendengar itu, Elvis mengusap-usap kepala Bianca dengan kesal. "Hilangkan kebiasaanmu membuang cangkir, Bi. Kita sudah menghabiskan berapa bucks hanya untuk cangkir kopi?"
"Akan kupikirkan lagi," ucap Bianca, tersenyum jahil sambil menepis tangan Elvis. "CHAD! CHAADDD!!" Seru Bianca yang sudah berada di depan pintu kamar Chad, menggedor-gedornya. Namun ketika Chad membuka pintu kamar, satu tinjuan hampir saja melayang ke arah pelipisnya jikalau saja ia tak sigap menangkap tangan dengan beberapa plester itu. "Mau meninjuku hah? Terlalu cepat 100 tahun," cetus Chad dengan tampangnya yang masih sebal disambut dengan erangan Bianca.
"Apa kau masih marah?" Tanya wanita itu, sedikit menyungging senyum miring sembari mengibas-ngibaskan tangannya yang sudah ia tarik dari cengkraman tangan Chad. Chad menaikkan sebelah alis. "Jadi kau sudah menyesali permainan mengeja ini? Kita ini gangster, bukan anak TK."
Bianca terkekeh, kemudian menggigit ujung telunjuknya di ujung bibir. "Hey," Bianca menatap Chad dengan tajam, kemudian dalam sekali jurus, Chad sudah mengerang sambil memegangi perutnya yang menjadi sasaran tinju Bianca. "Aku sudah terlalu cepat lebih dari 100 tahun, Chad. Aku sudah terlalu cepat," timpal Bianca, mengerling puas.
"Jalang," desis Chad, menumpu sebelah tangannya pada bingkai pintu.
"Oh dan jalang ini akan menyuruhmu untuk mengajari David beberapa gerakan penyerang," kata Bianca setelah tertawa beberapa detik dan langsung melenggang pergi.
"AKU? KENAPA TIDAK KAU SAJ..- argh..." Chad memegangi perutnya lagi. Bisa-bisanya ada wanita yang punya tinjuan sekeras ini? Satu hal yang Chad tau, Bianca bukanlah tipe wanita yang akan dikencaninya. Blacklist sampai mati.
Sementara Elvis geleng-geleng kepala usai menyaksikan pertengkaran yang sering terjadi antara kedua partnernya itu, seperti bukan hal baru. "Mengalah lah sesekali, kau tau persis dia wanita seperti apa," ungkap Elvis disertai helaan nafas.
"Akan ku lakukan kalau dia berhenti bersikap kekanakan."
Elvis tak terlalu ambil pusing, lalu menatap Chad yang membalas dengan tatapan tanya. Ia mengangkat kain lap yang penuh dengan darah mengering. "Aku rasa pria asing itu sudah membuat Bianca marah."
Chad tersenyum lebar seolah merasa puas. Baginya mungkin itu adalah pembuktian bahwa pilihan Bianca yang sudah membawa David salah besar. "Moodbooster," ujar Chad. Belum ada 1 menit sebelum alisnya terangkat dan bertanya, "Dimana Arianne?"
•▪•
Arianne memandang lurus pada pria yang tengah mengekorinya dengan susah payah. Lalu setelah memastikan David duduk di kursi dengan nyaman, ia baru mengambil persediaan kotak P3K dan mengambil perban beserta obat merah. "Sudah kau cuci lukanya?" Tanya Arianne dibalas dengan anggukan David. "Tapi darahnya tetap mengalir, jadi ku bungkus saja dengan sobekan kausku."
Arianne melepas perban dadakan yang di buat David, kemudian sedikit meringis ketika tau sedalam apa luka di kaki pria itu yang disebabkan oleh pecahan-pecahan cangkir yang beberapa diantaranya masih menancap.
Arianne menggelengkan kepalanya samar-samar. Sejak mengenal Bianca, Arianne langsung tau bahwa gadis itu agak impulsif dan kesulitan mengontrol diri sehingga menimbulkan kesan sembrono dan seenaknya. Oleh sebab alasan itu, hal seperti ini sangat mungkin terjadi. "Tahan," perintah Arianne saat akan menempelkan kapas beralkohol ke luka David. Ia sedikit terkejut melihat reaksi David yang tenang. Kalau dipikir-pikir, responnya yang langsung menutup luka dengan perban dadakan juga jarang dilakukan orang awam.
Seolah mengetahui keterkejutan Arianne, David angkat bicara. Kali ini sedikit menjaga nada dan perkataannya karena tak ingin mengusik salah satu anggota gangster ini mengingat perlakuan dan peringatan Bianca semalam. "Aku sudah biasa mendapat luka seperti ini saat wajib militer."
Arianne semakin mengerutkan keningnya. "Amerika sudah menghapuskan wamil sejak 1975," tukasnya. Gerakan Arianne mulai melambat seakan-akan menunjukkan bahwa ia sedang berhati-hati pada David.
"Well, dulu aku di daftarkan ke 2 kewarganegaraan sebelum orang tuaku bercerai. Ibu ku warga Korea selatan dan Ayahku Amerika Serikat. Saat aku umur 18 tahun, selama 2 tahun aku ikut wajib militer dan 6 bulan di tugaskan di Afganistan. Selesai wajib militer, aku harus menyerah dari 1 kewarganegaraan. And here i am." David menahan senyumnya saat Arianne menghembuskan nafas lega. "Ada bantal dan selimut ekstra di kamarku kalau kau mau," tutur Arianne sembari bangkit berdiri dan menepuk-nepuk kedua tangannya, seolah pertanda bahwa pengobatan telah selesai.
David ikut bangkit berdiri kemudian menggaruk tengkuknya ragu-ragu. "Aku tak tau apa boleh mengatakan ini, tapi.. terimakasih," ucapnya disertai senyum tulus. Untuk sesaat Arianne terdiam, dan di detik selanjutnya ia membenarkan letak kacamata dengan kedua tangannya seolah salah tingkah.
"Ada apa?"
"Bagi salah satu orang dari sekelompok orang jahat seperti ku, ini adalah pertama kalinya aku mendapat kata terimakasih," kata Arianne. Ia menggeleng setelahnya. "Ayo kembali."
"Ya."
•▪•
BRAAKK
Tiga pria yang tengah memeriksa berbagai berkas segera berdiri dengan tegap sambil memandang pria berbadan besar yang baru saja membanting pintu dengan kerasnya. Ada raut frustasi di wajah gelap itu.
"Frank, ku rasa kau tak perlu memaksakan diri," lerai pria berambut sebahu yang di ikat dengan rapi. "Kita semua sedang berusaha di sini."
Frank -si pria berbadan besar- buru-buru menghampiri Linford dengan langkah besar. "Dan jika aku tak memaksakan diri, siapa yang akan bertanggung jawab atas tindakan kriminal Alpha yang tidak dapat di duga?! Sudah kesekian kali nya mereka berhasil lolos dari genggaman kita!" Seru Frank tanpa memedulikan Linford yang sudah memandangnya muak. Linford mengepalkan kedua tangannya. "KITA SEMUA SEDANG BERUSAHA DAN KAU HANYA BISA MEMBENTAK!!"
"YA KARENA KALIAN TIDAK BECUS MENJALANKAN TUGAS!!"
"APA KATAMU HAH?!"
"HEY HEY, STOP!" Pekik Songan dari tempatnya, membuat Linford dan Frank terdiam dan beradu pandangan dengan nafas tersengal karena emosi. "Kita ini Osmers! Organization of Strategy and Menace Handlers! Kita yang akan menangani bahaya tapi bagaimana kita akan melakukan itu kalau kalian berdua saja tidak bisa menangani emosi sendiri?" Lanjutnya. Ia menepuk-nepuk pundak Frank pelan. "Tenanglah, ok? Menjadi komandan memang sulit, tapi kita harus memenangkan situasi yang memusingkan ini dengan bekerja sama."
"Songan benar," O'Neil angkat bicara, kemudian matanya kembali pada berkas-berkas yang berada di atas mejanya. "Lagipula, kemarin Alpha baru saja melancarkan aksi. Kita harus mendapatkan petunjuk-petunjuk kecil."
Pria berambut cepak dengan ukiran zigzag di sisi kanan itu menyeringai sambil mengangkat sejumlah berkas.
"Ketemu."