下載應用程式
13.33% Janji Suci Yang Ternoda / Chapter 2: Bab 2

章節 2: Bab 2

Kedua orang tua Nadine masih memandangi putrinya, sementara yang dipandang masih setia menunduk dengan air mata yang menetes membasahi pipinya. Nadine tidak bisa mengelak lagi, rahasianya telah terbongkar. Sementara itu, amarah Devian masih menguasai dirinya. Andai Nadine bukan seorang wanita, mungkin Devian sudah menghajar bahkan melenyapkannya.

"Nak Devian, sebaiknya kita bicarakan masalah ini baik-baik." Irawan hendak mengajak menantunya itu untuk duduk, tetapi Devian menolaknya.

"Cepat jelaskan sekarang!" tegasnya, Devian benar-benar sudah tidak sabar ingin mengetahui siapa orang yang sudah mendahuluinya.

Irawan menghembuskan napasnya. "Malam itu Nadine baru pulang dari rumah temannya saat diperjalanan mobilnya dicegat oleh sekolompok preman. Nadine pikir preman itu hanya akan merampoknya, tetapi ternyata tidak. Mereka membawa Nadine ke gedung yang sudah tak terpakai lagi."

Irawan menarik napasnya. "Di sana Nadine  dibawa masuk ke dalam. Setelah itu orang yang menyuruh mereka membawa Nadine ke tempat yang sudah disiapkan. Orang itu merenggut kesucian Nadine dengan cara paksa. Nadine tidak bisa berbuat apa-apa lagi, tenaganya tidak cukup kuat untuk melawannya."

"Nadine tidak tahu entah berapa kali dan siapa saja yang melakukannya. Pagi harinya kami menemukan Nadine sudah tergeletak di depan teras dengan keadaan .... " Irawan tidak sanggup lagi untuk menceritakannya.

"Nadine, apa kamu tahu siapa yang melakukannya?" tanya Devian dengan menahan emosinya.

Nadine menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu, orang itu memakai penutup wajah, aku benar-benar tidak tahu siapa mereka."

"Jadi kalian sekongkol untuk membohongiku, iya!" teriak Devian dengan penuh amarah.

"Mas, tolong maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk berbohong, aku .... "

"Kamu pikir dengan meminta maaf keaucianmu bisa kembali! Kamu pikir dengan maaf .... "

"Aku tahu, Mas. Kata maafku saja tidak cukup. Tapi aku mohon, tolong maafkan aku." Nadine bersimpuh di kaki suaminya. Tangisnya pecah saat melihat kemarahan Devian. Pria yang baru saja menghalalkannya.

Tanpa menghiraukan istrinya, Devian melangkah pergi masuk ke dalam kamar. Pria itu membanting vas bunga yang terletak di meja rias. Marah, kecewa itu yang Devian rasakan, bisa-bisanya mereka merahasiakan masalah sebesar itu. Ingin rasanya Devian memberi pelajaran pada pria yang sudah mendahuluinya.

Sementara itu, Widya mendekap tubuh putrinya, ia tidak menyangka jika rahasia itu begitu cepat terbongkar. Widya hanya bisa berdo'a semoga masalah yang menimpa putrinya cepat selesai. Begitu juga dengan Irawan, ia juga berharap semoga masalah itu secepatnya selesai. Namun yang mereka khawatirkan sekarang adalah nasib pernikahan Nadine dan Devian.

Selang beberapa menit Devian keluar dari kamar, pria beralis tebal itu berjalan sembari membawa koper miliknya. Irawan yang melihat itu bergegas bangkit dan melangkah menghampiri menantunya itu. Begitu juga dengan Widya dan Nadine, dua wanita itu juga ikut bangkit. Namun Nadine sama sekali tidak mau memandang wajah suaminya, ia terlalu takut.

"Nak Devian, kamu mau kemana?" tanya Irawan.

"Aku mau pulang." Devian melangkah pergi. Namun Irawan mencegahnya.

"Nak Devian, tolong jangan pergi. Kami tahu kami memang salah, tapi apa kata orang nanti jika melihatmu pergi setelah hari pernikahan," jelas Irawan. Hal itu membuat Devian terdiam sejenak dan mencerna ucapan ayah mertuanya itu.

"Baik, aku akan pulang besok." Devian kembali ke dalam kamar dan meletakkan kopernya di sebelah sofa. Setelah itu Devian memilih untuk istirahat, meski otaknya terasa pusing dengan masalah yang ada, tetapi badannya butuh istirahat.

***

Keesokan paginya, pukul enam pagi Devian sudah bersiap untuk pergi. Pria berkemeja biru itu bergegas keluar dari kamar, semalam Devian tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bayangan masalah yang menimpa pernikahannya membuat pria beralis tebal itu tidak bisa berpikir tenang. Devian tidak menyangka jika di hari bahagianya justru berakhir dengan kekecewaan.

Devian keluar dari kamar, Nadine yang sedari tadi berdiri di depan pintu sedikit tersentak. Wanita berjilbab merah muda itu tersenyum, tetapi Devian sama sekali tidak menghiraukannya pria berkemeja biru itu terus melangkahkan kakinya tanpa menoleh ke arah istrinya. Sakit itu yang Nadine rasakan, meski ia tahu semua itu terjadi karena ulahnya sendiri.

"Mas, sarapan dulu," tawar Nadine. Ia berjalan mengikuti langkah suaminya.

Diam, Devian sama sekali tidak menjawab ucapan istrinya. Ia melangkah menuju ruang tengah di mana kedua orang tua Nadine berada. Irwan dan Widya saling pandang saat melihat menantunya datang dengan diikuti oleh Nadine. Sementara itu, Devian bergegas berpamitan untuk segera pergi dari rumah itu. Rasanya Devian ingin cepat-cepat keluar.

"Aku pamit." Devian mencium punggung tangan Irawan dan juga Widya.

"Maafkan kami, Nak Devian. Kami tidak bermaksud untuk berbohong," ucap Irawan dan hanya dibalas dengan anggukan oleh Devian.

Setelah itu Devian melangkah pergi, tetapi langkahnya terhenti saat Widya bersuara. Devian berhenti dan membalikkan badannya menghadap ke arah di mana Widya dan Irawan berdiri. Pria beralis tebal itu mengernyitkan keningnya, entah apa yang sebenarnya orang tua Nadine inginkan. Mereka sudah tega berbohong, dan sekarang saat Devian ingin pergi mereka masih berani mencegahnya.

"Nak Devian tidakkah mengajak Nadine. Dia sudah sah menjadi istrimu, dia tanggung jawabmu sekarang," ucap Widya. Raut wajahnya terlihat begitu memohon agar Devian mau mengajak Nadine ikut bersamanya.

Devian terdiam sejenak, memang yang Widya katakan itu benar. Nadine sudah sah menjadi istrinya, dan tanggung jawabnya kini sudah berpindah padanya. Namun saat mengingat kebohongannya, membuat rasa benci itu muncul seketika. Devian melirik Nadine yang berdiri di samping ibunya. Matanya sudah berkaca-kaca, tetapi Devian sama sekali tidak memperdulikannya.

Devian melenggang pergi meninggalkan istrinya begitu saja, jangankan mau mengajaknya, berpamitan saja tidak. Seketika bulir bening itu jatuh, meski sakit tetapi Nadine mencoba untuk tetap tegar. Nadine akan menerima semua keputusan yang akan Devian berikan. Walaupun nantinya Devian akan meninggalkannya, Nadine sudah ikhlas.

"Aku terima mas, ini memang kesalahanku. Kamu berhak marah dan benci sama aku," batin Nadine, air matanya semakin deras mengalir membasahi kedua pipinya.

"Sabar ya, Nak. Jika kalian berjodoh, pasti kalian akan bersama kembali." Widya mengusap punggung putrinya dengan lembut. Bahkan Widya mendekapnya memberikan Nadine kekuatan.

Sementara itu, Devian bergegas keluar dari rumah Nadine, pria berkemeja biru itu segera masuk ke dalam mobil. Setelah itu Devian mulai menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tujuannya saat ini adalah rumah orang tuanya, ia akan meminta pendapat kedua orang tuanya. Meski Devian marah tetapi ia juga sadar jika Nadine telah menjadi istrinya.

***

Kini mobil BMW i8 berwarna putih milik Devian sudah berhenti di pelataran sebuah rumah mewah berlantai dua. Devian bergegas keluar dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah orang tuanya. Pria beralis tebal itu mengedarkan pandangannya. Terdengar jika kedua orang tuanya tengah berada di ruang makan, Devian pun bergegas menuju meja makan.

"Assalamualaikum." Devian berjalan menghampiri kedua orang tuanya.

"Wa'alaikumsalam." Sarah dan Gunawan menjawab salah Devian secara bersamaan.

"Dev, tumben sepagi ini kamu datang. Ada apa?" tanya Sarah.

"Ada yang mau Dev bicarakan dengan kalian." Devian menarik kursi untuk duduk.

"Ada apa? Pengantin baru tidak mungkin ada masalah 'kan." Gunawan tersenyum melihat raut wajah putranya yang terlihat gusar.

"Mereka telah membohongiku," ucap Devian, hal itu membuat Sarah dan Gunawan terdiam dan saling pandang.

"Maksud kamu?" tanya Sarah. Ia penasaran dengan apa yang putranya itu katakan.

Devian menarik napas, setelah itu ia mulai menceritakan tentang apa yang terjadi. Devian mengatakan jika Nadine dan keluarganya telah berbohong. Sarah dan Gunawan terkejut setelah mendengar cerita Devian, mereka tidak menyangka jika menantunya telah merahasiakan masalah sebesar itu. Seharusnya ini adalah hati bahagia mereka, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

"Mama pikir Nadine itu wanita baik-baik, tapi ternyata dia sama saja seperti wanita di luar sana," ujar Sarah dengan nada menyindir.

"Dev, mungkin mereka punya alasan tersendiri. Sehingga mereka merahasiakan hal itu, apa lagi kalian itu sudah lama kenal. Kalian juga sudah lama bertunangan. Jika tiba-tiba kamu membatalkan pernikahan itu, mereka yang akan malu. Kamu harus bisa mengambil sisi baiknya dari masalah ini," jelas Gunawan, ia mencoba untuk menasehati putranya itu.

"Kok, Papa malah belain mereka. Sudah jelas-jelas mereka bersalah, mereka sudah membohongi keluarga kita, Dev yang jadi korban, Pa. Orang lain yang makan nangkanya, putra kita yang kena getahnya," protesnya. Sarah benar-benar tidak terima jika putranya dihina seperti itu.

"Ma, bukannya papa belain mereka. Papa hanya ingin .... "

"Sama saja, Papa lebih belain mereka," potong Sarah dengan cepat.

"Stop! Dev ke sini mau nyari solusi yang terbaik. Tapi kenapa kalian ribut sendiri!" teriak Devian. Seketika Gunawan dan Sarah diam.

"Bawa istrimu ke rumahmu. Dia sekarang adalah tanggung jawabmu," titah Gunawan.

"Tidak, Mama tidak setuju. Lebih baik kamu ceraikan saja, mama bisa mencari istri yang lebih baik dari dia," sergah Sarah. Ia tidak setuju dengan usul yang Gunawan berikan.

"Ma, mereka baru saja menikah. Sangat lucu jika mereka tiba-tiba bercerai, apa kata orang nanti!" tegas Gunawan.

Devian menghembuskan napasnya, bukannya mendapat solusi, tapi justru otaknya semakin pusing. Pria beralis tebal itu mencoba mencerna ucapan ayahnya, mungkin ada benarnya. Mereka baru saja menikah, dan baru saja sehari tiba-tiba mereka bercerai. Bukan hanya keluarga Nadine yang malu, tapi dirinya juga. Terlebih Devian itu seorang CEO, sama saja dia mempermalukan diri sendiri.

"Ikuti saja saran papa, kalian jalani dulu pernikahan ini. Jika kedepannya kalian tidak cocok, terserah. Papa tidak akan pernah menghalangi kamu, jika kamu ingin bercerai. Tapi kamu harus ingat, sekarang Nadine adalah tanggung jawabmu," tutur Gunawan. Ia berharap semoga putranya mau mendengarkan apa yang dia ucapkan.

"Pa .... "

"Mama diam saja, jangan menambah beban untuk Devian," potong Gunawan dengan cepat. Sementara Sarah hanya mendengkus kesal.

"Sekarang kamu jemput Nadine, ajak dia ke rumahmu," titah Gunawan. Namun Devian hanya diam, entah apa yang tengah dia pikirkan.

"Dev, kamu dengar papa 'kan." Gunawan menepuk bahu putranya.

"Ah. Iya, Pa. Dev pamit. Assalamualaikum." Devian bangkit lalu mencium punggung tangan kedua orang tuanya.

Setelah itu Devian melangkah keluar dari rumah orang tuanya. Gunawan tersenyum saat melihat putranya mau menuruti ucapannya, tetapi tidak dengan Sarah. Ia benar-benar kesal karena Devian lebih menurut dengan ayahnya dibandingkan dengan dirinya. Kini Devian sudah berada di dalam mobil, sebelum itu ia mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan.

@Devian

[ Bereskan pakaianmu, sebentar lagi aku sampai ]

@Nadine

[ Baik, Mas ]

Setelah itu, Devian meletakkan ponselnya, lalu mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Sejujurnya ia malas jika harus kembali lagi ke rumah Nadine, tetapi jika tidak pasti ayahnya akan marah. Mau tidak mau Devian harus menuruti keinginan ayahnya itu. Devian juga harus menjaga nama baiknya sebagai seorang pengusaha yang terkemuka.

***

Pukul sembilan pagi Devian sudah tiba di rumahnya sendiri. Pria beralis tebal itu datang ke rumah Nadine hanya untuk menjemputnya saja, setelah berpamitan ia langsung membawa istrinya pergi. Di rumah Devian, Nadine terlihat heran, rumah nampak sepi seperti tak ada penghuninya. Di rumah itu hanya ada Devian, asisten rumah tangganya, dan satpam serta supir pribadinya saja.

"Bi, tolong tunjukkan kamar untuk dia, sebelah kamarku," titah Devian pada asisten rumah tangganya.

"Baik, Tuan. Mari, Nyonya." Perempuan setengah abad itu membungkuk hormat pada majikannya. Setelah itu dia membawa Nadine ke lantai dua.

Setibanya di depan kamar, bi Mirna membuka pintu kamar tersebut. Luas dan megah, Nadine sedikit takjub melihat kamar yang akan dia tempati. Andai saja ia  menempatinya bersama dengan sang suami, pasti Nadine merasa lebih bahagia. Namun semua itu hanya hayalan saja, Devian mau mengajaknya tinggal bersama saja sudah bersyukur.

"Silahkan masuk, Nyonya. Jika perlu sesuatu tinggal panggil bibi saja," ucap bi Mirna.

"Iya, Bi. Terima kasih." Nadine tersenyum, setelah itu ia masuk ke dalam kamar tersebut. Sementara itu bi Mirna bergegas turun dan akan kembali bekerja.

Selesai menyimpan pakaiannya, Nadine turun ke bawah. Terlihat jika suaminya tengah bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, padahal setahu Nadine jika Devian mengambil cuti selama sebulan. Ah, mungkin ada urusan yang penting, wanita bermata teduh itu berjalan menghampiri suaminya yang tengah berdiri di ruang tengah.

"Mas mau ke kantor?" tanya Nadine. Sementara Devian hanya berdehem.

Setelah memakai jasanya, Devian bersiap untuk pergi, tetapi langkahnya terhenti saat Nadine memanggilnya. Wanita berjilbab itu hendak mencium punggung tangan suaminya, tetapi Devian sama sekali tidak peduli. Pria berjas itu melenggang pergi meninggalkan Nadine yang masih berdiri dengan tangan yang terulur.

Hati Nadine sakit saat sang suami mengabaikannya. Ia tahu jika dirinya memang bersalah, tetapi apa salah jika Nadine berbakti pada suaminya sendiri. Tak terasa cairan bening itu lolos begitu saja. Nadine hanya bisa berharap semoga kedepannya hubungan mereka bisa membaik seperti semula lagi. Sebelum mereka menikah.

Sebaik-baiknya wanita adalah yang ta'at kepada Allah dan patuh kepada suaminya. Karena keta'atan seorang istri pada suami, maka surga baginya.


Load failed, please RETRY

每周推薦票狀態

Rank -- 推薦票 榜單
Stone -- 推薦票

批量訂閱

目錄

顯示選項

背景

EoMt的

大小

章評

寫檢討 閱讀狀態: C2
無法發佈。請再試一次
  • 寫作品質
  • 更新的穩定性
  • 故事發展
  • 人物形象設計
  • 世界背景

總分 0.0

評論發佈成功! 閱讀更多評論
用推薦票投票
Rank NO.-- 推薦票榜
Stone -- 推薦票
舉報不當內容
錯誤提示

舉報暴力內容

段落註釋

登錄