Hari ini seperti biasa, Arini duduk di rumah saja. Menjalani hidup yang menurutnya begitu membosankan sekali. Kalau tidak duduk di kamar sendirian ya duduk sendirian di taman. Itulah yang menjadi rutinitasnya sekarang.
Dibandingkan dengan saat hidup sendiri dulu, justru dia malah nyaman dan bisa beraktivitas sesuka hatinya dulu saat hidup sendiri. Bisa pergi kemana saja sesuka hatinya tidak ada yang melarangnya, meskipun kadang dia juga malu dan takut bila bertemu dengan orang yang tidak dikenalnya. Ada beberapa orang yang curiga mengenai statusnya yang masih muda tapi sudah hamil dan belum pernah terlihat ada seorang laki-laki di rumahnya.
"Bibi mau kemana?'Arini baru keluar dari kamarnya dan melihat Bi Sumi menjinjing keranjang kecil.
"Saya mau pergi ke pasar mbak."kata Bi Sumi menoleh kearah Arini yang sedang menutup pintu.
"Enak ya bibi bisa keluar jalan-jalan. Apalagi ke pasar. Pasti seru deh."ucap Arini terlihat ingin sekali bisa berada di posisi Bi Sumi.
"Lha ini bahan-bahan dapurnya habis mbak. Jadi bibi ya belanja ke pasar."Bi Sumi menjelaskannya sambil merasa kasihan. Dia masih ingat dengan perintah Panji untuk tidak membiarkan Arini keluar dari rumah.
"Aku juga ingin sekali bisa seperti bibi. Kemanapun tidak ada yang melarang. Tapi aku tidak."Arini terlihat sedih sekali.
"Mbak Arini yang sabar ya. Itu demi kebaikan mbak Arini juga."kata Bi Sumi kepada Arini. Bi Sumi sudah tahu kalau Arini hamil diluar nikah dengan Panji. Tentu itu bisa jadi bahan pembicaraan orang-orang bila tahu.
"Apa yang baik buat saya bi? Justru saya malah stress sendiri harus di rumah ini terus."Arini berbicara sambil berjalan menuju sofa.
"Mas Panji melakukan ini semua jelas demi kebaikan mbak Arini sekaligus untuk melindungi anaknya juga."Bi Sumi mengikuti Arini dan berusaha menenangkannya.
"Melindungi darimana sih bi."Arini terlihat mulai kesal. Sepertinya Bi Sumi membela Panji yang menurutnya benar-benar bersalah.
"Kalau menurut saya, kenapa mas Panji menyuruh mbak disini saja, karena Mas Panji tahu kalau mbak Arini akan tersiksa bila hidup sendiri. Pasti ada orang-orang yang suka menggosipkan kehamilan mbak Arini. Kalau disini kan tidak. Mbak Arini akan tenang disini karena tidak ada orang yang bisa menyakiti mbak."kata Bi Sumi sambil mengelus pumdak Arini.
"Ya benar sih bi. Tapi kan nggak harus gini juga. Aku dilarang keluar harus duduk di rumah terus. Aku kan jadi bosan sendiri."Arini melemaskan lehernya sehingga sedikit menunduk.
"Mbak Arini harus tahu kalau Mas Panji sayang sekali sama anak yang ada di dalam perut mbak. Kalau tidak, pasti Mas Panji sudah membiarkan mbak Arini hidup diluar sendiri. Kalau Mas Panji sampai menyuruh Mbak Arini kesini berarti Mas Panji sudah benar-benar mengakui anak itu dan ingin melindunginya dari orang-orang yang jahat."Arini mempertimbangkan ucapan Bi Sumi itu.
"Ya sudahlah bi. Memang hidup saya harus begini. Aku sudah pasrah. Yang penting anak ini bisa dekat dengan ayahnya."ucap Arini terlihat sudah percaya dengan ucapan Bi Sumi.
Sekarang perasaan Arini jauh lebih baik ketimbang tadi. Sekarang dia tidak ingin mementingkan egonya tapi justru lebih memikirkan anaknya. Biargimanapun juga dia sangat membutuhkan sosok Panji di dekatnya agar anaknya bisa merasakan kasih sayang dari Panji.
"Bi aku mau ikut ke pasar dong."Arini langsung beranjak dari sofa.
"Ke pasar mbak?"Bi Sumi terkejut. Bi Sumi takut karena Panji telah melarang Arini pergi keluar.
"Tapi mas Panji tidak membolehkan mbak Arini keluar. Nanti kalau Mas Panji tahu pasti marah. Lagian nanti Mbak Arini kalau ikut pasti capek sendiri."Bi Sumi cepat-cepat mencari alasan agar Arini tidak ikut ke pasar dan tetap di rumah saja.
"Tolong lah bi. Aku akan memakai penutup muka dan kacamata biar tidak ada yang mengenaliku. Dan dia tidak akan tahu kalau aku pergi."Arini sambil memohon kearah Bi Sumi.
Bi Sumi melihat Arini sampai memohon membuatnya tidak tega untuk menolaknya. Dari sorot mata Arini nampak begitu tulus dan ingin sekali keluar dari rumah. Bi Sumi juga tahu bagaimana perasaan Arini. Pasti bosan harus duduk diam sendiri di rumah.
"Gimana ya mbak. Bibi juga takut kalau Mas Panji menciduk Mbak Arini keluar."Bi Sumi memalingkan wajahnya sambil menahan rasa takutnya pada Panji.
"Bibi percaya sama aku. Dia tidak akan tahu. Yang tahu cuma aku sama bibi saja. Jadi bibi nggak usah khawatir." Arini memegang tangan Bi Sumi sambil meyakinkan.
"Ya bi. Aku akan memakai kacamata dan penutup kepala."Arini tidak memperdulikan persetujuan dari Bi Sumi malah langsung berlari mengambil kacamata dan penutup kepala di kamarnya.
Bi Sumi terlihat bingung sendiri. Belum menjawab malahan Arini langsung pergi saja dan ikut pergi ke pasar. Saking antusianya Bi Sumi melihat sampai tidak tega menolak Arini.
Akhirnya mereka berdua terpaksa pergi ke pasar secara diam-diam agar Panji tidak tahu. Kebetulan di luar bodyguardnya sedang istirahat. Itulah kesempatan mereka untuk berlari.
Arini keluar memakai daster longgar milik Bi Sumi dan di kepalanya terdapat sehelai kain yang menutupi rambutnya. Tidak lupa dia juga memakai masker dan kacamata hitam milik Panji yang berada di kamarnya.
Selama perjalanan Arini masih menampakkan kulitnya yang putih mulus itu. Meskipun hampir semua tubuhnya tertupi kecuali bagian dahi, kening dan hidung, tetap saja aura cantik yang dimiliki Arini masih bisa trelihat. Bi Sumi yang berjalan disamping Arini terlihat biasa saja agar tidak ada orang lain yang curiga.
"Pasarnya masih jauh ya bi?"Arini berjalan sesekali menunduk kebawah.
"Kurang sedikit sampai kok mbak. Mbak Arini capek?"Bi Sumi terlihat khawatir sekali.
"Nggak kok bi. Saya pengen tahu aja pasarnya masih jauh pa nggak gitu."Arini sudah merasa kesal setelah baru beberapa langkah keluar dari rumah.
"Oh ya sudah. Bibi pikir mbak Arini sudah capek. Kalau capek bilang ya mbak nanti kita istirahat dulu."kata Bi Sumi sambil melihat kearah kacamata hitam yang menempel pada mata Arini.
"Nggak kok bi. Arini nggak capek kok. Justru Arini merasa senang sekali."kata Arini sambil berjalan.
Akhirnya mereka berdua tiba di pasar. Bi Sumi langsung membeli semua kebutuhannya. Kebetulan dia sudah menulis semua kebutuhan yang akan dia beli. Jadi kini mereka tinggal membeli saja.
"Bi apa dia sudah makan sekarang?"Panji mengirimkan chat kepada Bi Sumi.
Tanpa sadar Bi Sumi pergi ke pasar tidak membawa handpone. Jadi dia tidak tahu kalau Panji telah mengirimkan pesan kepadanya.
Setelah selesai berbelanja Bi Sumi dan Arini pulang. Awalnya saat berangkat mereka berdua hanya membawa badan dan uang saja tapi saat pulang mereka membawa barang belanjaan cukup banyak. Hari ini Bi Sumi belanja untuk keperluan memasak hingga satu minggu kedepan. Jadi wajar saja kalau jumlah belanjaannya cukup banyak.
"Bi sini biar Arini bantu."Arini membantu menjinjing tas plastik yang berisi barang belanjaan.
"Nggak usah mbak. Biar bibi saja."Bi Sumi langsung merebut tas yang ingin dibawa Arini. Dia tidak ingin merepotkan Arini apalagi tengah hamil.
"Nggak papa bi. Itu banyak sekali lho bi."kata Arini.
"Jangan mbak. Mbak Arini sedang hamil tidak boleh membawa berat-berat."Bi Sumi cepat-cepat mengambil dan membawa semua barang belanjaannya.
"Tuh kan jatuh. Sudah biar aku bawa saja bi."Arini melihat Bi Sumi kuwalahan membawa semua barang belanjaannya.
Bi Sumi melihat barang belanjaannya memang jauh lebih banyak ketimbang hari-hari sebelumnya. Kalau dibawa sendiri pasti kewalahan. Akhirnya dia tidak bisa menolak bantuan dari Arini.
"Sedikit saja mbak. Kasihan nanti mbak nya."Bi Sumi menerima bantuan Arini.
Arini dan Bi Sumi rencananya pulang menggunakan angkutan umum. Melihat barang belanjaan mereka yang cukup banyak jadi tidak memungkinkan untuk mereka jalan kaki seperti saat berangkat. Kebetulan mobil angkutannya berada di depan pasar jadi terpaksa Arini dan Bi Sumi harus berjalan sebentar ke depan pasar.
Mereka berdua berjalan melewati beberapa toko dan rumah makan yang ada di pinggir jalan. Arini tetap fokus melihat kedepan dan tangannya sambil membawa beberapa tas kecil. Bi Sumi juga berjalan disampingnya.
"Ehhhh."tiba-tiba ada orang yang menabrak tubuh Arini dari samping. Sehingga Arini harus terpental dan giliran menubruk tubuh Bi Sumi yang ada disebelahnya.
"Maaf."kata seorang perempuan yang telah menabrak Arini.
"Aduh."kerudung Arini terlepas dan kacamatanya juga ikut jatuh. Beruntungnya tubuhnya tidak sampai jatuh mengenai tanah.
"Mbak nggak papa?"tanya Bi Sumi membantu Arini menjaga keseimbangan tubuh Arini.
"Nggak papa kok bi."Arini menatap Bi Sumi. Sedangkan Bi Sumi mengambilkan kacamata Arini.
"Arini."tiba-tiba ada suara yang memanggil dan membuka masker Arini. Arini langsung menoleh kearah orang yang berada didekatnya. Terlihatlah muka Arini yang sudah tidak tertutupi dengan masker dan kacamata.
"Mbak Alena."batin Arini. Kedua mata Arini membelalak karena melihat Alena berada di depannya sekarang.
Bi Sumi terlihat cemas saat tahu ekspresi Arini begitu takut dan gelisah saat menatap cewek yang telah menabraknya tadi. Arini dan Alena saling adu pandang dan tidak berbicara.
"Kamu."Alena menghentikan tangan Arini yang berusaha memasang kacamata hitamnya lagi.
"Awww."Arini merasa cengkraman tangan Alena mengenai bekas memar karena cengkraman Panji kemarin.
"Kamu Arini kan?"Arini tidak bisa menutupi wajahnya dengan kacamata dan kerudungnya lagi karena Alena telah menahan tangannya.
Melihat Alena berada didepan matanya kini malah membuatnya takut. Dia takut kalau Alena akan menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan kehamilannya itu. Dimana dia hamil itu karena Panji. Laki-laki yang sangat dicintai Alena.
"Sayang ayo kita pulang. Ngapain kamu disini."tiba-tiba ada seorang laki-laki dan perempuan yang umurnya kira-kira 40 an ke atas menghampiri Alena.
"Bentar mah pah."ucap Alena tidak ingin diganggu dua orang itu.
Arini terus memandangi dua orang yang baru datang tadi. Matanya fokus menatap laki-laki parubaya yang berjalan menghampiri Alena. Sepertinya Arini tidak asing dengan wajah laki-laki parubaya itu.
"Kamu ngapain disini?"tanya Alena pada Arini. Arini diam saja dan terus fokus melihat ayah Alena.
Berhubung Arini sekarang memakai daster longgar milik Bi Sumi jadi perut buncitnya tidak terlalu terlihat. Alena juga tidak tahu kalau perut buncit Arini tengah bersembunyi dibalik daster longgar itu.
"Sayang ayo kita pulang. Nanti malam tamu spesial kita datang ke rumah kita. Jadi kita harus siap-sia."kata seorang ibu yang tidak dikenal Arini sambil menggandeng tangan Alena.
"Bentar mah pah."Alena masih ingin berbicara dengan Arini. Tapi malah mamahnya sudah menyeret tangannya untuk pergi.
"Kamu kenal sama dia?"ayah Alena bertanya pada Alena sambil menunjuk kearah Arini. Alena langsung menggeleng. Dia tidak mau menjelaskan kepada orangtuanya mengenai Arini. Baginya itu tidak penting.
"Ayah?"Arini tanpa sadar mulutnya langsung memanggil auyah Alena dengan panggilan ayah.
Seketika Alena dan orangtuanya menoleh kearah Arini. Mata Arini fokus kearah ayah Alena.
"Apa kamu bilang. Kamu memanggil papahku dengan ayah?"tanya Alena.
"Kamu siapa?"ayah Alena yang bernama Ardi giliran bertanya kepada Arini.
"Ayah ini aku Arini. Anakmu yang telah ayah tinggal dulu sama ibu."jawab Arini dengan mata berkca-kaca.
"Dasar gila. Nggak waras ya kamu. Ini ayahku. Jangan mengaku-ngaku."kata Alena tidak terima Arini mengaku-ngaku sebagai anak dari ayahnya.
Sedangkan orangutan Alena hanya diam saja dan beradu pandang satu sama lain. Seperti mereka menutupi sesuatu dari Alena. Arini tidak peeduli dengan perkataan Alena. Yang menjadi proritasnya adalah ayahnya sekarang.
"Ayo mah pah kita pulang. Dasar gila. Urusi saja hidupmu itu."Alena menganggap Arini sudah tidak waras.
Alena langsung menggandeng orangtuanya. Meskipun dia tadi ingin ngobrol sama Arini tapi itu tidak penting lagi karena ada urusan yang lebih penting lagi yaitu menyiapkan segala keperluan makan malam di rumah untuk menyambut keluarga Panji ke rumahnya.
"Bambang Sartono."panggil Arini kepada ayah Alena. mendengar nama ayah Alena dipanggil Arini, seketika Alena dan orangtuanya termasuk ayah Alena berbalik badan.
Arini dan ayah Alena saling adu pandang. Arini yakin seratus kalau ayah Alena adalah ayah kandungnya yang selama ini dia rindukan.
"Pah kenapa dia tahu nama ayah?"tanya Alena sambil memegang lengan ayahnya.
"Papah juga nggak tahu sayang."jawab ayah Alena dengan gelagapan. Seperti ada yang sedang ditutup-tutupi.
"Ayo yah kita pulang. Ngapain sih kita ngurusi orang asing kayak dia. Ayo nak pulang."mamah Alena terlihat mulai pucat dan gelisah. Cepat-cepat dia menggandeng tangan Alena dan suaminya pergi meninggalkan Arini.