Tidak terasa kini cahaya matahari sudah menembus kamar Panji. Tidak peduli kalau ada dua orang yang sedang ketiduran disana. Arini mulai merasa ada sengatan cahaya terik matahari mengenai matanya. Dia mulai membukakan matanya dengan pelan.
"Hmmm."mata Arini susah untuk dibuka karena kemarin habis menangis.
"Aku dimana ini."matanya mulai mengamati sekitarnya. Ternyata dia sudah tidur di kasur. Seingatnya tadi malam dia tidak tidur di kasur tapi kenapa dia bisa tidur di atas kasur.
Arini merasa ada sesuatu yang mengganjal di tangan kanannya. Saat dia menoleh ke tangan kanannya ternyata ada seseorang yang tertidur disampingnya. Arini mengamati orang yang ada disampingnya itu.
"Tanganku."Arini ingin menarik tangannya yang kebetulan ditindih kepala laki-laki itu.
"Apa dia Panji."Arini mengenali bentuk rambut Panji yang pendek tapi tegak itu.
Kemudian dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul 8 pagi. Bukannya ini waktunya kerja. Arini ingin membangunkan Panji tapi dia juga takut karena Panji masih tidur.
"Panji."tangan satunya Arini mengusap kepala Panji dengan pelan.
Panji merasakan ada sesuatu yang mengganggu tidurnya. Sebenarnya dia ingin melanjutkan tidurnya tapi berhubung gangguan itu terasa begitu halus, dia penasaran. Dia ingin tahu siapa yang telah mengganggu tidurnya itu. Panji mendongakkan kepalanya dan mengerjapkan matanya untuk fokus menatap orang yang ada di depannya.
"Kamu."Panji baru tahu kalau didepannya itu Arini. Kemungkinan besar yang telah membangunkan tidurnya tadi adalah Arini.
"Ngapain kamu disini?"tanya Arini dengan mata yang sedikit sipit karena bekas menangis tadi malam.
"Astaga aku sampai ketiduran disini."Panji mengamati posisi tidurnya sambil duduk di lantai dan kepalanya ditidurkan di tepi kasur Arini.
"Tadi malam kamu pingsan."jawab Panji dengan datar.
Arini mengingat kembali kejadian sebelumnya. Kemudian dia ingat kalau kemarin telah dibuat menangis oleh Panji hingga pingsan tadi malam.
"Kamu mau kemana?"tanya Panji. Tiba-tiba Arini berusaha bangun.
"Apa peduli kamu sama aku."jawab Arini tanpa memperdulikan sosok Panji yang ada disampingnya. Arini kesal setelah ingat kejadian kemarin.
"Apa beginikah sikapmu? Aku bertanya baik-baik tapi jawabanmu gitu."suara Panji mulai emosi. Arini kemudian mendongak dan menatap Panji.
"Aku mau ke kamar mandi."Arini tidak ingin bertengkar lagi dengan Panji. Sudah cukup kemarin saja melihat Panji memarahinya.
"Ayo aku bantu."Panji langsung membantu Arini bangun dari kasur dan hendak menuntun Arini menuntun ke kamar mandi.
"Eh nggak usah. Aku bisa sendiri."Arini menjauhkan tangan Panji dari bahunya. Panji tidak tahu kenapa Arini menolaknya. Padahal dia berniat baik hanya ingin membantu saja.
Arini sebenarnya tadi tidak ingin ke kamar mandi. Hanya saja dia ingin mencari alasan untuk menghindar dari Panji.
"Apa kamu nggak pergi kerja?"tanya Arini sambil menyandarkan kepalanya ke tembok.
"Astaga sudah jam 8."Panji melirik kearah jam tangannya dan terkejut melihat jam sudah menunjukkan pukul 8. Dia sudah terlambat berangkat kerja.
Panji dengan cepat langsung pergi ke kamar mandi. Kebetulan kamar yang sekarang ditiduri Arini itu terdapat kamar mandi dalamnya. Jadi Panji langsung mandi disana.
Setelah beberapa menit kemudian, Panji keluar dari kamar mandi. Arini tercengang melihat Panji hanya memakai sehelai handuk yang melingkar di pinggangnya sedangkan bagian dadanya yang bidang itu dibiarkan telanjang.
"Ehhh."Arini langsung menutupkan matanya saat melihat tubuh Panji yang nampak seperti roti sobek.
"Nggak usah kaget. Kamu sudah pernah merasakannya bukan."jawab Panji sambil menggoda. Arini mendengarnya langsung merasa malu dan memanyunkan bibirnya. Memang benar yang dikatakan Panji.
Selang beberapa menit, Panji sudah memakai kemeja yang telah tersedia di almarinya. Kemudian dia menoleh kearah Arini yang masih mengatupkan kedua tangannya untuk menutup matanya.
"Sudah.'kata Panji. Arini langsung menurunkan tangannya.
Panji menyempatkan untuk melihat ponselnya sebentar. Betapa terkejutnya dia ketika tahu ada chat dan panggilan yang tidak terjawab dari Alena. Dia tidak tahu kalau Alena sudah menghubunginya tadi malam. Kemungkinan dia tidak menjawab karena sedang menemani Arini.
"Pasti dia marah sekarang."Panji segera menutup ponselnya dan memasukkan ke sakunya. Rencananya dia ingin membalasnya saat tiba di kantor.
Arini membuka kaca jendela. Dibukanya lebar-lebar agar udara dari luar bisa masuk dengan leluasa ke kamar. Meskipun itu bukan kamarnya tapi itulah yang sekarang dia tempati.
"Aku mau berangkat."Panji menghampiri Arini.
Arini melihat dari atas kebawah tubuh Panji. Lagi-lagi dia terpesona melihat ketampanan dan kegagahan Panji. Meskipun sekarang Panji tertutupi dengan setelan kemeja dan celana hitam panjangnya tapi tetap menyiratkan aura ketampanannya.
"Hmmm."Arini mengangguk saja.
"Kalau ada apa-apa bilang sama Bi Sumi."Panji sambil melihat ponselnyadan kemudian memasukkan ponselnya lagi ke saku.
Setelah itu Panji langsung pergi meninggalkan Arini, entah kenapa Arini merasa berat sekali saat ditinggal Panji pergi. Bukankah kemarin dia ingin kalau Panji pergi meninggalkannya. Tapi kenapa sekarang berbeda.
Panji tidak bisa berlama-lama menemani Arini. Kini dia harus pergi.
"Jangan keluar lagi. Dan jangan temui orang itu lagi."pesan Panji sambil berjalan meninggalkan Arini.
"Kenapa dia itu kan teman aku."jawab Arini dengan ekspresi kesal.
"Pokoknya jangan."kata Panji.
Arini memandangi tubuh panji yang sudah cukup jauh. Dalam perasaan Arini terasa sesak sekali seiring dengan langkah Panji yang semakin jauh darinya. Ingin sekali dia berlari dan menahan Panji. Tapi dia takut karena dia bukan siapa-siapa Panji.
"Panji."Panji langsung terhenti langkah kakinya. Dia merasa Arini memanggilnya dengan halus sekali.
Panji menoleh kebelakang. Mereka berdua saling adu pandang dengn jarak yang lumayan jauh. Panji hampir saja menyentuh dan membuka pintu tapi diurungkannya karena Arini telah memanggilnya.
"Aku boleh memeluk kamu."ucap Arini dengan tatapan sendu.
Meskipun kemarin dia telah diperlakukan dengan kasar oleh Panji tapi entah kenapa tiba-tiba dia ingin memeluk Panji. Dia tidak ingin melepas Panji pergi. Jujur dia sudah menahan rindu pada Panji dari dulu. Dan sekarang waktunya dia ingin melepas rindunya dengan memeluk Panji.
"Apa ? Dia mau meluk aku."batin Panji tidak percaya. Kedua alisnya menyatu dan mengkerut.
"Kamu mau meluk aku?"tanya Panji dari kejauhan berusaha memastikan lagi. Arini mendengarnya dan langsung mengangguk dengan cepat. Arini begitu tidak sabar mendengarkan jawaban dari Panji. Dia sangat berharap Panji mau dipeluknya.
"Silahkan."Panji tanpa pikir panjang lansung mengiyakannya. Sebenarnya dia juga penasaran kenapa Arini tiba-tiba ingin memeluknya. Bukankah seharusnya Arini masih marah karena perlakuannya kemarin.
Jawaban Panji yang singkat itu mampu membuat Arini tersenyum bahagia. Akhirnya dia bisa memeluk laki-laki yang ada di depannya. Arini berjalan dengan sedikit cepat. Dia tidak sabar segera memeluk tubuh ayah dari anak yang dikandungnya itu.
Sampai-sampai Panji terdorong kebelakang karena Arini berlari dengan cepat kearahnya. Arini memeluk tubuh Panji dengan erat sekali.
Kedua tangan Arini sampai bertemu di punggung Panji. Dia tidak ingin melewatkan masa-masa langka itu. Pelukan erat Arini itu membuat Panji bisa merasakan perut buncit Arini.
"Apa yang aku rasakan ini anakku."batin Panji dalam hati sambil meraskaan ada tonjolan dibagian perut Arini. Kebetulan Panji memakai kaos tipis jadi bisa merasakan langsung lekak lekuk tubuh Arini apalagi bagian perut Arini yang buncit itu.
Diam-diam Arini meneteskan air matanya. Panji tidak tahu kalau Arini sampai meneteskan air mata. Arini merasa terharu sekaligus bahagia bisa memeluk Panji. Sudah lama dia tidak bertemu dengan Panji. Saat di Bandung rindunya pada Panji tidak bisa dibendung. Makanya sekarang dia ingin menghilangkan rasa rindunya dengan memeluk Panji. Dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Panji membalas pelukan Arini dengan mengelus punggung Arini.
"Apa ini membuatmu nyaman?"Panji takut kalau Arini merasa tidak nyaman pada bagian perutnya. Arini langsung menggeleng, malahan kini tambah mengeratkan pelukannya. Panji semakin merasakan perut buncit Arini.
Ahirnya mereka berdua berplukan di dalam kamar. Panji membiarkan Arini terus memeluknya hingga Arini puas. Entah kenapa Panji merasa nyaman juga saat berpelukan dengan Arini.
"Hiks…hiks…"suara tangis Arini tidak sengaja didengar Panji. Panji langsung melepaskan Arini.
"Kamu kenapa?"Panji penasaran.
"Nggak papa. Sudah kok. Kamu bisa berangkat kerja."kata Arini sambil menyeka air matanya. dia tidak menjawab pertanyaan Panji. Dia tadi menangis karena terharu bisa memeluk Panji.
"Beneran kamu nggak papa?"tanya Panji sambil menatap Arini dengan dekat. Arini langsung mengangguk.
Panji kini giliran memeluk Arini. Dibelai dengan halus rambut Arini. Dia tidak tahu kenapa Arini menangis tadi.Tapi dia berharap dengan dipeluk itu Arini bisa sedikit tenang. Ternyata benar Arini mulai merasa sedikit tenang saat dipeluk Panji.
Setelah itu Panji pamit pergi ke kantor. Dia menitipkan Arini kepada Bi Sumi selama Panji tidak ada di rumah.