"Bukankah kamu kemarin tidak menerima kami. Kenapa kamu sekarang berubah?"Arini melihat kearah Panji yang sedang duduk di sofa dekat kasurnya. Panji sedang memainkan ponselnya.
"Kenapa? Apa ada yang salah?"Panji masih memainkan ponselnya. Meskipun Arini sedang mengajaknya berbicara.
Memang Panji itu cuek. tapi disisi lain dia itu sebenarnya baik. Itulah yang masih diingat dari ucapan Bi Sumi mengenai Panji. Panji masih asyik memainkan ponselnya.
"Kamu nggak ada niat yang lain kan untuk aku?"Arini mulai curiga kepada Panji.
Panji mendengar ucapan Arini membuatnya refleks langsung berpaling dari ponselnya dan menatap tajam kearah Arini. Bukankan perlakuannya tadi itu sangatlah baik dan terkesan peduli dengan Arini.
"Maksutmu?"Panji memasukkan ponselnya kesaku. Kemudian berdiri dan berjalan mendekati kasur Arini. Arini melihatnya menjadi gugup sendiri.
"Bukan gitu. Aku takut kalau kamu punya rencana buruk untuk aku. Kemarin aja kamu nyuruh aku untuk menggugurkan anak ini. Terus tiba-tiba sekarang kamu kelihatan peduli sama aku."Arini berbicara sambil menunduk. Dia takut kalau Panji akan marah mendengarnya.
"Masalah kemarin lupakan. Lagian anak itu nggak bersalah. Kamu sekrang harus menjaganya dan melahirkannya dengan selamat."kata Panji dengan tatapan santai tidak terlalu tajam seperti biasanya.
"Aku nggak mimpi kan ini."Arini mendongak sambil menampar-nampar pipinya sendiri. Dia ingin membuktikan kalau dirinya ini memang benar-benar tidak mimpi.
"Kamu kenapa?"Panji menghentikan tangan Arini yang sedang menampar pipinya sendiri. Arini tersentak merasakan dinginnya tangan Panji menggenggam tangannya. Itu berarti dia memang tidak bermimpi.
"Apa kamu sudah mengakui anak ini?"Arini memberanikan diri untuk bertanya.
Panji melihat wajah Arini yang begitu menunggu jawabannya membuat hatinya ikut merasa sedih. Dia tahu gimana perasaan Arini jika tahu kalau dirinya tidak mengakui dan tidak akan bertanggung jawab pada anak yang dikandungnya itu. Panji menatap mata Arini dengan tatapan tenang dan menyejukkan.
"Hmm."Panji mengangguk sekali saja. Jujur Arini sekarang merasa lega. Akhirnya Panji mengakui anaknya juga. Dia teringat dengan perbuatannya dulu pada Arini hingga membuat Arini bisa hamil sekarang. Dia sekarang memang sudah mengakui anak itu adalah buah hatinya.
"Mbak Alena?"entah dari bisikan darimana Arini bisa menyebut nama Alena dihadapan Panji. Wanita yang sekarang sangat dicintai Panji itu. Arini tanpa sadar mengucapkannya.
"Aku nggak mau bahas itu. Fokus saja sama kandunganmu itu."Panji mengalihkan pandangannya dari Arini.
"Pengakuanmu saja sudah membuatku lega. Karena biargimanapun juga anak ini butuh pengakuan darimu."batin Arini sedikit lega.
Arini tahu maksud dari Panji itu. Tentu tidak mudah bagi Panji dihadapkan dengan masalah seperti ini. Satu sisi Panji sangat mencintai Alena tapi disisi lain ada satu kehidupan baru yang sudah menanti tanggung jawabnya yaitu anak yang sedang dikandung Arini.
"Kalau kamu belum siap dan kamu sangat mencintai dia. Aku nggak apa-apa sama anak ini harus berjuang sendiri tanpa kamu."Arini berbicara sambil menunduk. Mulai ada genangan air mata di pelupuk matanya.
"Aku bilang aku nggak mau bahas ini. Fokus saja sama anak itu."kata Panji dengan keras dan langsung pergi. Arini mendengarnya tambah merasa sedih dan langsung meneteskan air matanya.
"Kenapa kamu nggak ngebolehin Bi Sumi ngasih tahu aku sekarang dimana?"kata Arini sambil melihat Panji yang masih berjalan menjauhinya.
"Lebih baik kamu diam saja disini. Jangan berusaha kabur."jawab Panji sambil berjalan tanpa menatap Arini.
"Kenapa dia bisa tahu. Kan kalau aku tahu dimana sekarang, aku bisa minta tolong sama Kak Dilan untuk menjemput aku. Emang dasar Panji jahat sekali."batin Arini memanyunkan bibirnya.
"Mbak ini makannya."setelah beberapa menit di dalam kamar sendirian. Bi Sumi datang sambil membawakan segelas susu dan sepiring nasi beserta lauknya.
"Oh ya bi. Makasih."Arini menerimanya. Memang perutnya sekarang tengah lapar.
"Kalau kayak gini terus aku juga bisa nyaman sih. Semuanya ada yang melayani tanpa harus repot-repot dan meminta bantuan ke kak Dilan dan Kak Yanaur."Arini membatin sambil melihat Bi Sumi melayaninya.
"Bi dia kemana?"Bi Sumi tahu siapa yang dimaksud Arini. Tentulah Panji.
"Mas Panji sedang ada dibelakang mbak. Kayaknya sedang menerima telepon."jawab Bi Sumi sambil menunjuk kearah luar.
"Oh ya sudah. Makasih bi."
Arini melahap makanannya hingga tanpa sisa. Setelah beberapa menit istirahat di dalam kamar kakinya kini sudah sembuh. Tidak terlihat bengkak lagi. Dia senang melihatnya. Itu berarti dia bisa berakitivitas lagi.
Ceklek
Arini membuka pintu. Ketika pintunya sudah terbuka dia melihat Panji sedang teleponan sama orang lain.
"Ya sayang. Ini aku mau pulang. Tunggu ya."Panji beranjak dari kursinya. Kebetulan Arini melihat dan mendengarnya.
"Kamu."Panji terkejut setelah mematikan teleponnya dan hendak pulang malah melihat Arini nongol keluar dari kamar.
Arini diam saja. Dia sudah tahu siapa yang sedang teleponan dengan Panji tadi, pasti Alena.
"Aku mau pergi."Panji berhenti dan menatap Arini. Dia mencari alasan. Padahal Arini sudah terlanjur mendengarnya dan tahu kalau dia tadi habis teleponan dengan Alena. Dan sekarang dia ingin pulang karena ingin segera menemui Alena.
"Hmmm."jawab Arini sambil menutup pintu.
"Jangan kemana-mana. Kalau ada apa-apa minta sama bi Sumi."kata Panji. Arini hanya mengangguk saja.
Panji terlihat mulai pergi meninggalkan Arini. Arini hanya bisa memandangi punggung Panji yang mulai menghilang. Sebenarnya Panji tidak tega membiarkan Arini sendirian di rumah. Tapi mau gimana lagi di tempat lain sudah ada Alena yang menunggunya di rumah. Andai saja dia tidak berada di posisi yang membingungkan ini pasti dia tidak akan bingung seperti ini.
"Ya lebih baik kamu pergi saja. Aku juga sadar kalau hatimu itu hanya milik Alena."batin Arini sambil menggerutu sendiri.
Arini melihat kepergian Panji dari balik kaca jendela rumah. Nampak Panji manaiki mobilnya dan keluar. Mata Arini kini fokus melihat ada dua orang pria gagah yang sepertinya itu bodyguard Panji. Tentu itu pasti orang suruhan Panji untuk menjaganya agar tidak keluar dari rumah itu.
"Kak Yanuar, Kak Dilan tolong keluarin aku dari sini. Gimana kabar kalian. Sudah lama kita nggak bertemu. Apakah kalian mencariku."Arini menutup tirai jendela. Dia teringat dengan teman-teman baiknya Yanuar dan Dilan.
Arini tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan. Melihat kondisinya sekarang yang harus terkurung di dalam kandang Panji karena diluar ada beberapa bodyguard membuatnya hanya bisa pasrah saja. Andai dia kini memegang handpone pasti dia akan menghubungi dan meminta pertolongan pada Yanuar dan Dilan untuk membebaskannya. Tapi sayangnya handponennya ketinggalan di rumah saat Panji menjemputnya kemarin. Dia tidak sempat membawa handponenya.
Untuk menghilangkan rasa sedihnya, Arini mencari Bi Sumi. Hanya Bi Sumi yang bisa dijadikannya teman sekarang.
"Bibi nggak ada."batin Arini sambil mondar mandir mencari Bi Sumi. Di dapur tidak ada gerak gerik Bi Sumi.
"Mending aku kesitu saja."Arini ingin duduk di taman belakang rumah Panji. kebetulan dia sangat suka dengan suasana yang rindang nan hijau.
Arini duduk di atas rumput-rumput kecil. Matanya mendongak keatas sambil melihat lembaran-lembaran daun kelapa menari-nari diatas kepalanya. Melihatnya saja sudah membuatnya tenang sendiri.
Raa sepi dan sedihnya kini hilang. Pemandangan taman yang begitu indah di depan matanya mampu menghiburnya. Dia kini terus menikmati suasana taman yang menyejukkan matanya itu.
"Mbak Arini ngapain disini. Ini sudah hampir gelap lho. Di dalam saja mbak."Bi Sumi menghampiri Arini.
"Di dalam aku jenuh bi. Jadi aku disini saja. Hehehe."tanpa sadar, Arini sudah lama menghabiskan waktunya di taman.
"Tapi sebentar lagi malam mbak. Udaranya pasti dingin."Bi Sumi menasehati Arini.
"Itu nggak baik buat kesehatan. Mending di dalam saja ya mbak."imbuh Bi Sumi sambil memegang bahu Arini.
Setelah dipikir-pikir, benar apa yang dibilang Bi Sumi itu. Bentar lagi akan gelap dan udaranya pasti jauh lebih dingin nanti. Akhirnya dia mau masuk kedalam. Bi Sumi membantu Arini berdiri.
"Bi Sumi aku ingin makan buah jeruk. Ada nggak di kulkas?"Arini melangkahkan kakinya ke dapur untuk mengecek kulkas. Tiba-tiba dia ingin makan buah jeruk.
"Ada kok mbak."Bi Sumi cepat-cepat menutup pintu agar udara dingin malam nanti tidak masuk.
Arini senang mendengarnya. Dengan cepat dia langsung membuka pintu almari kulkasnya.
"Woww."Arini jingkrak-jingkrak melihat ada banyak buah-buahan di dalam kulkas termasuk buah jeruk.
"Sini mbak, biar bibi yang ngupasin."Bi Sumi menghampiri Arini yang sudah membawa beberapa buah jeruk di taruh di kaosnya bagian depan.
"Nggak usah bi. Aku juga bisa sendiri kok."Arini tidak ingin menyusahkan Bi Sumi. Lagian dia juga bisa sendiri.
Dret dret
Bi Sumi merasa ponselnya yang ditaruh di dalam saku celananya bergetar.
"Dia sedang apa bi?"tanya Panji lewat chat.
"Dia sedang ngidam makan buah jeruk mas."Bi Sumi menjawab pesan masuk dari Panji dengan senyum-senyum sendiri.
"Kenapa bi kok senyum-senyum sendiri."Arini membuyarkan lamunan Bi Sumi yang sedang merasa lucu dengan hubungan Arini dan Panji. Diam-diam Panji memperhatikan segala aktivitas Arini. Bukannya tanya sendiri pada Arini, ini malah Panji bertanya kepada asistennya.
"Nggak papa kok mbak."Bi Sumi cepat-cepat memasukkan ponselnya kembali ke dalam sakunya.
"Suatu saat nanti mereka akan bersatu dengan adanya itu."Bi Sumi melirik perut Arini yang buncit itu. dia berprasangka kalau suatu saat nanti Panji dan Arini akan bersatu demi anak yang dikandung Arini sekarang. Meskipun sekarang mereka berdua masih terlihat belum saling mengenali dan belum mencintai.
Arini melanjutkan makannya. Sedangkan Bi Sumi masih berdiri dan menatap Arini yang sedang keasyikan makan buah jeruk.
"Mbak Arini pasti sekarang sedang ngidam buah jeruk."kata Bi Sumi. Arini kaget dan bingung dengan apa yang baru saja didengarnya itu. Dia tidak tahu apa yang dimaksud ngidam.
"Ngidam? Apa itu bi?"tanya Arini mengehentikan mulutnya yang sedari tadi mengunyah buah jeruk yang manis.
"Ngidam itu, sebutan buat ibu hamil ketika ingin makan sesuatu. Kayak mbak Arini ini. Ingin sekali makan buah jeruk."jawab Bi Sumi ikut duduk di dekat Arini.
"Ohhh itu namanya ngidam ya bi. Aku baru tahu."Arini melanjutkan makan buah jeruknya lagi. Jujur baru kali ini dia makan buah jeruk dengan enak dan nikmat sekali. Seperti tidak pernah makan buah jeruk sebelumnya. Bi Sumi hanya melihatnya dengan tatapan lucu saja.
Arini makan dengan pipi membulat dan sepertinya di dalam mulutnya penuh dengan buah jeruk. Arini tidak peduli Bi Sumi yang terus melihatnya. Baginya sekarang hanyalah makan dan makan, menghabiskan semua buah jeruk sampai habis.