Erwin kini tengah berada di kantor polisi, tepatnya di ruangan Rio. Memeriksa setiap laporan yang diterima oleh kakaknya itu. Menarik napas dengan kasar, dan sejujurnya kini pikirannya tengah diisi oleh kekhawatiran terhadap Meghan dan juga Reva.
Sejenak ia terdiam, memijat pelipisnya secara perlahan. Bahkan, ia tak peduli dengan suara aneh yang tiba-tiba saja muncul. Sebuah benda terjatuh di atas lemari di ruangan itu. Ia hanya menatap sekilas benda itu, lalu kembali menarik napas dengan kasar.
Ia mencoba untuk tetap fokus pada laporan mengenai kasus kematian orang tua Meghan. Namun, suara gangguan itu kembali muncul, kali ini sebuah vas bunga yang berada di pojok kiri ruangannya, bergerak dengan sendirinya. Erwin menatap vas bunga itu, tanpa terlihat takut sedikitpun.
"Jadi, kamu ingin bermain denganku?" tanyanya pada sesosok makhluk yang tengah berdiri di pojok kanan ruangannya.
"Aku sedang tidak ingin bermain, jadi pergilah!" perintahnya.
Tak memperdulikan barang-barang yang berjatuhan secara misterius, Erwin hanya memperhatikan laporan di tangannya. Suara dering ponsel membuatnya terdiam sejenak, ia menatap layar ponselnya dan sebuah nama yang tertera di sana.
"Halo?" jawab Erwin mengangkat telepon itu.
"Erwin, bisakah kamu datang ke rumah sakit sekarang?" tanya seseorang di seberang sana, yang tak lain adalah Andre.
"Ada apa? Bukankah aku sudah menyerahkannya padamu?" ucap Erwin dengan malas.
"Kamu harus lihat ini, jadi cepatlah datang!" Andre langsung menutup teleponnya.
Erwin menatap layar ponselnya, dan menoleh ke arah pojok kanan sejenak. "Kamu dengar? Aku sibuk sekarang. Jadi tolong jangan ganggu aku lagi!"
Erwin segera bergegas menuju rumah sakit. Pikirannya benar-benar tak karuan, di sisi lain ia khawatir dengan keadaan Meghan. Namun, di sisi lain juga ia tidak bisa ikut campur lebih dalam lagi urusan kehidupan gadis itu, karena tugasnya hanya untuk menyelesaikan kasus kematian kedua orang tuanya.
Sesampainya di rumah sakit, Erwin langsung menghubungi Andre. Dan kembali bergegas ke tempat di mana pria berbadan tinggi itu berada. Kini ia sampai di ruangan yang hampir di takuti oleh setiap orang. Yaitu kamar mayat.
Erwin memasuki ruangan itu, ia melihat Andre dan seorang dokter yang tengah berada di antara mayat kedua orang Meghan. Di sana juga ada Rio yang menatap Erwin dengan lekat.
“Oh, Kakak juga ada di sini?” tanya Erwin.
“Hm, aku baru saja sampai,” jawabnya.
“Kamu membiarkanku sendirian di ruanganmu, lalu tanpa bersalahnya ke rumah sakit sendirian?” ujarnya.
“Ayolah Erwin, kamu sudah besar. Lagi pula, aku tidak meninggalkanmu sendirian tadi, hanya saja saat aku akan kembali ke kantor tiba-tiba saja Andre menghubungiku. Jadi, aku langsung bergegas ke sini,” jelas Rio.
Erwin hanya menganggukan kepalanya pelan. Ia pun menatap ke arah tubuh tanpa nyawa yang tengah terbaring di hadapannya.
"Jadi ada apa? Apa ada masalah besar?" tanya Erwin.
Rio, Andre dan juga dokter itu hanya saling pandang. Tanpa banyak bicara, sang dokter pun membuka kain yang menutupi wajah mayat ibunya Meghan. Terlihat kekagetan di wajah Erwin.
"Dokter, bisa tinggalkan kami bertiga?" ujar Rio.
Dokter wanita itu hanya menganggukkan kepalanya, lalu berjalan keluar dari sana. Rio menatap Erwin dengan lekat, seolah menang dengan asumsinya, Rio pun menepuk pundak Erwin.
"Sekarang kamu lihat sendiri, 'kan? Mereka benar-benar bunuh diri," ucap Rio yang terus mencoba untuk menyakinkan Erwin.
Wajah yang lebam karena pukulan benda tumpul, serta bekas tali dilehernya terlihat jelas di sana.
"Lalu, bagaimana dengan mayat laki-lakinya?" tanya Erwin.
"Hanya ditemukan bekas sayatan di lengan kanannya, sepertinya ia memotong urat nadinya," timpal Andre.
“Apa Kakak berubah pikiran? Bukankah dari awal Kakak setuju akan pendapatku?” tanya Erwin yang terheran-heran dengan sikap Rio.
“Erwin, aku memang percaya padamu, hanya saja setelah melihat bukti ini aku berubah pikiran. Makhluk seperti itu tidak mungkin dapat melukai manusia.”
“Kak, untuk melukai manusia mereka membutuhkan energi yang besar. Dan apa Kakak tahu sumber energi mereka? Yaitu ketakutan manusia, semakin mereka merasa takut maka energi yang didapat pun akan semakin besar. Jadi, tidak menutup kemungkinan kalau dugaanku ini benar,” sahut Erwin dengan percaya diri.
“Erwin, aku tahu kamu memiliki kemampuan khusus, tapi kamu dengar sendiri bukan bagaimana penjelasan dari dokter?” tanya Andre kali ini.
"Bisa kamu ceritakan awal mulanya?" tanya Erwin lagi, ia menepis kenyataan jika kedua orang itu telah melakukan bunuh diri.
"Seperti yang dikatakan dokter Rendra kemarin, mereka itu sedang mengalami depresi berat. Mungkin karena tekanan keluarga dan juga beban pekerjaan, jadi mereka memutuskan untuk bunuh diri," jelas Rio.
Erwin tak merespon ucapan Rio. Pikirannya melayang pada sebuah kenyataan, jika memang di keluarga Meghan, mereka dibenci oleh kerabatnya.
"Dan kamu tahu? Sang suami lah pembunuh sesungguhnya, ia tega memukul wajah istrinya dengan benda tumpul. Dan buktinya bisa kamu lihat sendiri, 'kan?"
Erwin menoleh ke arah wajah mayat seorang wanita yang penuh luka lebam itu.
"Dan setelah itu, ia mengikat leher istrinya dengan tali tambang yang ia ambil di sebuah gudang di rumah itu. Lalu ia menarik tali itu hingga akhirnya sang istri tewas di tangannya sendiri," jelasnya lagi.
"Lalu?" tanyanya dengan singkat.
"Lalu ia membawa istrinya ke kamar mandi dan mendudukkan tubuhnya di dalam bathtub, dan seperti foto yang aku tunjukkan padamu beberapa waktu yang lalu, posisi mereka yang duduk berdua di dalamnya itu sudah termasuk ke dalam rencananya. Ia membawa pisau dan menyayat tangannya sendiri, hingga akhirnya ia kehabisan darah."
Erwin menghela napas panjang, ia kembali memijat keningnya.
"Dan kamu? Masih percaya jika mereka dibunuh oleh makhluk lain?" tanya Rio yang tak mendapat respon apa pun dari Erwin, "Ayolah, ini bukan cerita di dalam film maupun novel. Ini nyata Erwin, aku tahu kamu seorang indigo, tapi jangan mengaitkan masalah ini dengan 'mereka'," ujarnya.
"Aku mengerti, lalu apa yang harus kita lakukan? Menutup kasus ini, karena sang pelaku sudah tewas bunuh diri? Lalu selesai, seperti dua kasus lainnya?" ucap Erwin yang terdengar seperti ledekan itu.
"Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu, tapi bagiku kasus ini selesai Erwin!" tegasnya sembari keluar dari kamar mayat.
Erwin hanya bisa menatap punggung pria itu dengan lekat, ia benar-benar tak percaya. Jika asumsinya selama ini ternyata salah, mungkin karena ia terlalu terobsesi pada makhluk astral. Dan percaya bahwa mereka mampu membunuh seperti seorang manusia.
Andre menepuk pundak Erwin yang berada di sampingnya. “Bagi kami, kasus ini selesai Erwin.”
“Kalau seperti ini jadinya, untuk apa meminta bantuanku dari awal,” ujarnya. Andre hanya terdiam dan menarik napasny a panjang.
....
Erwin pulang dengan mengendarai mobilnya. Pikirannya kacau, ia tak menyangka jika Rio dapat berubah pikiran secepat itu. Apa sebenarnya yang ada di dalam otak kakak angkatnya. Apa ia tahu, jika selama ini Erwin tengah menggali masa lalunya.
“Argh! Apa yang ada di pikirannya, berubah secara cepat seperti itu,” ocehnya. Erwin benar-benar dibuat kesal kali ini. Mario, ada apa dengannya.
……
To be continued …