下載應用程式
14.81% Indigo / Chapter 4: Chapter 3

章節 4: Chapter 3

Meghan dan Reva mulai memasuki rumah mereka, ingatan demi ingatan di mana Meghan menemukan kedua orang tuanya meninggal secara tragis kembali muncul. Meskipun ia sudah diperingatkan untuk tidak kembali ke sana, tapi hatinya tetap ingin kembali ke tempat di mana kedua orang tuanya terbunuh. Hatinya sesak sesaat setelah ingatan itu mulai menghantuinya. Dengan napas berat, Meghan berusaha untuk tetap terlihat tegar di depan adiknya.

“Kak, bukankah kita dilarang untuk kembali ke rumah ini?” tanya Reva dengan tatapan yang terlihat sedikit ketakutan.

Meghan hanya bisa terdiam, ia tidak bisa menjawab pertanyaan dari adiknya. Sebenarnya, gadis itu juga tidak tahu kenapa ia bisa memutuskan untuk kembali ke rumah itu.

“Kenapa Kakak diam?”

“Ah, tidak apa-apa. Ayo, kita masuk!” ajaknya.

Mereka mulai melangkahkan kaki memasuki rumah kosong itu, tanpa sepengetahuan Erwin. Sunyi senyap, tak ada suara apa pun di sana. Hingga membuat bulu kuduk merinding.

"Kak, aku takut," ucap gadis kecil yang masih berusia tiga belas tahun itu.

"Jangan takut, ada kakak di sini." Meghan berusaha menenangkan adiknya, meskipun dalam hatinya ia juga merasakan hal yang sama.

"Tapi, cerita orang-orang itu bohong, 'kan? Rumah ini tidak berhantu, 'kan?" Pertanyaan yang membuat Meghan terdiam untuk seketika, hingga ia memberikan senyuman terbaiknya.

"Itu hanya cerita orang, jangan percaya pada hal seperti itu," ucapnya.

Mereka tak menyadari adanya sesosok wanita yang kini tengah memperhatikan dengan wajah mengerikan dan juga pakaian yang lusuh. Meghan membuka pintu kamarnya. Reva yang terus memegang tangan Meghan merapatkan tubuhnya, angin yang tiba-tiba berhembus dengan pelan memberikan suasana dingin.

"Kak, kita akan tidur di mana nanti?" Reva memandang Meghan.

“Setelah ini, kita akan mencari kontrakan. Jadi, kamu tidak perlu khawatir,” ujarnya.

Mendengar hal itu, Reva hanya menganggukkan kepalanya. Ia duduk di pinggiran kasur yang terlihat sudah bersih. Mengusapnya dengan lembut, dan tak terasa air mata membasahi kedua pipinya.

"Kakak kenapa? Kok nangis?" tanya gadis kecil yang kini tengah duduk memperhatikan dirinya.

Meghan mengusap air matanya yang turun. "Kakak hanya rindu papah dan mamah."

"Aku juga rindu mereka Kak, kalau tidak ada mereka, siapa yang akan mengurus kita?" ucap gadis kecil itu.

"Tenanglah, ada kakak di sini. Kakak yakin, kita akan baik-baik saja." Meghan berusaha untuk tersenyum, mencoba agar adik satu-satunya itu tidak bersedih lagi.

"Kenapa semuanya membenci kita Kak? Apa salah kita pada mereka?" Reva menatap Meghan dengan penuh tanya, sebuah tatapan yang membuat batin Meghan tercekat.

"Mereka tidak membenci kita, tidak ada yang membenci kita." Meghan mengelus lembut rambut Reva, hingga membuat gadis itu memeluk wanita yang duduk di sampingnya.

.....

Erwin dan Rio tengah berada di sebuah rumah sakit, menunggu hasil otopsi kedua orang tua Meghan. Kemudian seorang dokter keluar menemui mereka.

"Bagaimana dokter?" tanya Erwin secara langsung.

"Mari ikut saya, Pak," ajak dokter itu, mereka pun berjalan menuju ruangannya.

"Jadi, bagaimana dok?" tanya Erwin sambil duduk di kursi depan dokter pria itu.

"Seperti yang telah saya amati kemarin malam, kedua korban bukanlah korban pembunuhan." Dokter pria yang bernama Rendra itu menghela napas panjang.

"Bukan korban pembunuhan?" Rio mengerenyitkan dahinya, tak percaya dengan ucapan Rendra.

"Mereka bunuh diri, entah karena stres atau apa, tapi dilihat dari sidik jari pisau yang ada di lokasi kejadian itu sangat cocok dengan sidik jari korban," jelasnya lagi.

"Tapi, kenapa mereka bisa bunuh diri?" Kini Erwin yang tak percaya dengan ucapan Rendra, pasalnya dari introgasi kemarin Erwin tak mendengar korban mengalami stres atau apa pun itu.

"Bisa saja pemicunya dari tekanan keluarga atau ada dalam pekerjaan, hingga membuat pikiran stres dan itu bisa jadi beban," jelas Rendra.

Erwin tak banyak bicara, ia hanya bingung dengan kasus yang kini tengah ditanganinya. Kini mereka meninggalkan rumah sakit, Rio menatap Erwin dengan tatapan intens. “Bagaimana menurutmu? Apa kamu percaya pada yang dikatakan dokter Rendra?” tanya Rio.

Erwin memberhentikan langkahnya, ia balik menatap Rio dengan tatapan santainya. “Kak, bukankah aku sudah jelaskan. Kalau mereka itu ditumbalkan, bukan bunuh diri.”

“Tapi Erwin, kalau mereka ditumbalkan seharusnya kedua orang itu mengalami sakit terlebih dahulu.”

Erwin nampak berpikir, perkataan Rio memang ada benarnya. Jika mereka ditumbalkan, maka seharusnya kedua orang tua Meghan akan sakit parah beberapa hari sebelumnya.

“Di mana wajah yakinmu kemarin itu? Yang mengatakan kalau kedua orang itu dibunuh makhluk halus?” tanya Rio dengan nada ledekan.

“Ayolah, Kakak juga percaya akan hal itu bukan? Aku akan tetap mencari tahu tentang hal ini, jadi Kakak tidak perlu khawatir.” Erwin menepuk pundak Rio, lalu meninggalkannya dengan sebuah senyuman.

Mario hanya bisa memandang Erwin, ia tidak bisa membiarkan adiknya itu masuk lebih dalam.

......

Waktu menunjukkan pukul tiga sore, Reva tertidur dengan lelap di kamar Meghan. Ia pun meninggalkan gadis itu agar tak mengganggu tidur adiknya.

Ia berjalan menuju dapur, mencari bahan makanan untuk dimasak. Tak ada bahan makanan apa pun di dalam kulkas, hanya sebutir telur yang bisa ia temukan. Sejenak ia mengingat kembali kejadian di mana ia menemukan kedua orang tuanya yang tak bernyawa, hingga tanpa sadar suara langkah kaki mengagetkannya. Ia menoleh ke arah sumber suara, mencoba untuk mencari pemilik suara kaki itu.

"Reva? Kamu sudah bangun?" Meghan keluar perlahan dari dapur, sayang ia tak menemukan siapa pun di sana.

Kini langkah kaki itu terdengar di dalam dapur, dengan perasaan takut ia mencoba memberanikan diri untuk menoleh kembali ke arah dapur. Namun, lagi-lagi tak ada apa pun di dalam sana. Meghan menelan ludahnya, bulu kuduk yang tiba-tiba merinding. Hingga sesuatu terdengar walau sedikit samar, tapi masih bisa Meghan dengar.

"Kalian akan mati!"

Sontak Meghan ketakutan, telur yang sedang ia pegang pun terjatuh dan pecah.

"Si-siapa di sana? Cepat keluar!" Dengan napas yang memburu, Meghan menoleh kesana kemari mencari sumber suara, tapi anehnya suara itu tak bisa di temukan.

Tiba-tiba suara langkah kaki itu terdengar kembali, kini suara itu semakin jelas dan semakin mendekat. Meghan langsung memegang sebuah pisau yang ada di dapurnya itu. Hingga suara anak kecil kembali mengagetkannya.

"Kakak? Kenapa membawa pisau seperti itu?" tanya Reva yang kini tengah memandangnya dengan heran.

"A-ah, kamu sudah bangun?" ucap Meghan dengan sedikit gelagapan akibat ketakutan yang tadi dialaminya.

"Aku bangun karena mendengar Kakak berteriak tadi, memang ada apa?"

"Oh, tadi ada tikus, jadi kakak usir, hehe," jawab Meghan.

Reva menatap wajah kakaknya itu. "Oh iya Kak, tadi aku mimpi aneh, aku bertemu dengan seorang perempuan. Dia seolah bicara padaku, katanya 'ayo ikut aku', begitu."

Mendengar ucapan adiknya, gadis yang masih dua puluh tahun itu terlihat terkejut. "Itu hanya sebuah mimpi, jangan percaya pada bunga tidur seperti itu." Meghan mengelus kepala adiknya dengan memberikan senyuman padanya.

"Aku juga tidak percaya pada hal seperti itu," ucap Reva balas tersenyum pada Meghan.

Meskipun dalam hatinya terdapat kerisauan, ia mencoba untuk tak menampakkannya pada Reva. Apalagi dengan kejadian yang baru saja ia alami.

Di balik sebuah pintu kamar yang sedikit terbuka, terlihat sosok wanita dengan darah memenuhi wajahnya yang rusak, tengah memperhatikan mereka dengan seringai yang menakutkan.

…..

To be continued …


Load failed, please RETRY

禮物

禮品 -- 收到的禮物

    每周推薦票狀態

    Rank -- 推薦票 榜單
    Stone -- 推薦票

    批量訂閱

    目錄

    顯示選項

    背景

    EoMt的

    大小

    章評

    寫檢討 閱讀狀態: C4
    無法發佈。請再試一次
    • 寫作品質
    • 更新的穩定性
    • 故事發展
    • 人物形象設計
    • 世界背景

    總分 0.0

    評論發佈成功! 閱讀更多評論
    用推薦票投票
    Rank NO.-- 推薦票榜
    Stone -- 推薦票
    舉報不當內容
    錯誤提示

    舉報暴力內容

    段落註釋

    登錄