Nekat. Aku menghela nafas panjang, mencoba setenang mungkin dan... Seberani mungkin tentunya. Aku tengok semua penjuru, hutan, seperti tidak ada kehidupan manusia, kaki mulai berjalan hati-hati menyusuri jalan yang diterangi senter dari HP yang remang. Aku berjalan dengan jantung yang berdegup kencang.
"Ya Allah, ya Allah, ya Allah. lindungi aku" Hanya itu yang terucap sepanjang jalan.
"Kik.."
Suara pertama yang memecah kesunyian. Masih tidak aku hiraukan.
"Kikikikikikik"
Nafas dan langkahku terhenti. Suara itu terdengar kencang dan melengking dari atas pohon rambutan yg sedang aku lewati.
"Hah... Hah... Ya Allah..." Aku lemas tapi aku tetap melanjutkan perjalanan. Ini resiko, mungkin juga hukuman untuk anak bandel seperti aku. Tapi disisi lain aku ga mau ayah dalam bahaya. Aku menutup kepalaku dengan jamper, tangan kiri menutup satu telinga dan yg kanan memegangi senter HP ,aku tidak berani menoleh kemanapun.
"Gedebuukk" seperti suara benda jatuh di atas tanah. Langkahku terhenti dan tidak berani bergerak sesaat. "Apa itu? " bisikku dalam hati. Takutnya binatang buas yang mengintaiku.
"Krasaak.... Krasaakkk" semak bergerak seperti makhluk besar melintas di atasnya.
"Aaa" aku terpekik lalu lari sekuat tenaga.Takut jika itu binatang buas.
Kapan ini sampainya! Padahal aku sudah lari secepat mungkin, tapi belum sampai juga. Gerutuku dalam hati.
Setelah beberapa lama, akhirnya lampu remang saung kakek sudah terlihat, membuatku sedikit bernafas lega.
Nafasku terengah-engah, keringat mengucur dari keningku dan leherku bukan karena lelah, tapi karena tegang melalui perjalanan yang... Aghh menyebalkan!
"Akhirnya sampai juga, aku harus menemui ayah. Eh... Tunggu dulu" aku berhenti, menyelinap dibalik pohon yang tidak jauh dari sana. Mengamati saung sambil memastikan sekitarku aman, dari hewan ataupun seseorang yang tiba-tiba menangkap ku. Setelah merasa aman aku menajamkan mata dan memandang ke arah saung lagi.
Disana terlihat kakek yang berpenampilan berbeda, memakai baju adat, kain, ikat kepala, dan di depannya ada bakaran kemenyan. Aku juga melihat Ayah, Apak Eli, Apak Dek dan beberapa orang yang tidak aku lihat kemarin.
Aku merinding... Energinya sangat kuat malam itu.
Aku melihat ada apak Arman, dia minum air dia pun kembali muntah tapi selalu diiringi darah segar. Aku ikut mual melihatnya. Kasihan sekali, badany yang sudah kurus dan pucat di siksa dengan santet semacam itu.
Aku ingat senandung kakek. Jika makan terasa batu, ,jika minum serasa duri. Lantas apakah selama apak Arman terkena santet ini dia tidak makan dan minum? Anehnya, kalau lagi ga kumat, dia juga kelihatan sehat dan baik-baik saja. Seperti siang kemarin waktu aku pertama kali ketemu.
Aku masih mengawasi dari balik pohon, mengamati apa yang akan terjadi selanjutnya, sambil mencari celah bagaimana supaya aku bisa menemui ayah. Tapi dengan caraku yang seperti ini, dia pasti akan marah padaku. Aku mulai bimbang.
Semua orang berdiri mengelilingi tubuh Arman. Entah mantra apa yg d baca kakek, tubuh Arman mulai bergerak aneh, perlahan bergerak berputar seperti diluar kendalinya. Kakek mengangkat tangan kanannya sepertinya mencoba menahan tubuh Arman supaya berhenti.
"Ya Allah tega sekali yg melakukan hal semacam itu, betapa tersiksanya apak Arman. Terkutuklah pada para dukun yang melakukan santet! " ucapku dalam hati.
Ketika semua orang merasa aman, merekapun duduk kembali . Namun, baru sja mereka duduk, tiba-tiba saja Arman berguling memutar hingga keluar saung. Darah keluar dari pelipis Arman karena membentur benda di sekitarnya. Matanya melotot menghadap atas dengan gigi yg tertutup rapat.
Orang-orang mengejarnya, Ayahku mencoba memegangi supaya berhenti tetapi ayah malah terpental. "Ayah! " ucapku pelan. Tapi aku belum berani menghampirinya.
Kejadian itu makin mendekat ke arahku. Aku menutup mulut dengan kedua tangan, sambil terus melihat meski badanku sudah gemeteran. Sesekali menyeka keringat yang masih membasahi kening.
"Hargh!" Apak Arman tiba-tiba sudah berdiri tegap di depan pohon tempat aku bersembunyi.
"Aaaaa" reflek aku berteriak kaget melihat wajah Arman yang keliatan seram. Pucat, mata putih semua menghadap ke arahku. HP jatuh dari genggaman tangan.
Setelah itu tubuh apak jatuh tidak sadarkan diri.
"Apa yg kau lakukan di sini hah!" ucap ayah dengan nada tinggi.
"" Ayah... Nimas cuma... "
Masukk!!" Bentaknya lagi.
Tidak lama setelah itu, nenek datang menyusul. Ayah dan nenek saling berpandangan. "Ayo masuk" nenek merangkul ku menuju kamar saung.
Nenekpun memberikan segelas air minum dan menenangkanku. Badanku gemetar hingga memegang gelas saja tidak mampu.
"Apa yg kamu lakukan nak?" ucap nenek lembut sambil mengelus punggungku.
"Aku... A... Aku... Maafin Nimas Nek." jawabku sesenggukan. Mungkin karena nenek tidak tega dengan kondisiku yang masih syok dia menghentikan pertanyaannya.
"Sudah, tenangkan dirimu. Nenek juga salah sudah menguncimu di dalam kamar. Jangan menangis lagi ya" ucapnya lembut.
Aku mulai merasa bersalah, nenek tidak salah, dia ingin melindungiku. "Nek, apa apak bisa disembuhkan? Supaya kondisi cepat stabil dan kita jauh dari permainan setan ini" Ucapku kembali menangis sambil menggenggam tangan nenek dengan erat.
"Semoga Nimas, kita berdoa saja ya. Sudah jangan menangis lagi, dadamu nanti sesak ini minum lagi tenangkan dirimu"
Masih terdengar keributan di luar sana. Aku menutup telingaku dengan kencang, ngeri dan ga tega,nenek memelukku lalu mengelus kepalaku.
"Kamu nekat ya, bisa-bisanya menyusul kesini. Kalau dijalan ada apa-apa gimana" ucap nenek.
"Maaf Nek, Nimas salah"
"Sudah, yang penting kau baik-baik saja sekarang. Sudah malam, istirahat ya"
Aku kelelahan. Seingatku waktu itu, aku ketiduran dipangkuan nenek.
(***)Pagi harinya...
Aku terperajat bangun dan ternyata aku masih berada di kamar saung. Aku ga berani keluar kamar, tapi nenek menghampiriku membawakan sarapan. Kebetulan, aku lapar, karena semalam tidak makan.
Tidak berselang lama kakek pun masuk menghampiriku.
"Pletakk" Tiba-tiba saja sebuah sentilan keras mendarat ditelinga kiri.
"Adoohh" teriakku dengan penuh makanan di mulut.
"Sebagai hukuman atas kenakalanmu! Mau lagi?" Ucap kakek sambil mengancam akan menyentilku lagi.
"Ampuun keekk" ucapku sambil menutup telingaku dengan kedua tangan.
"Dasar bocah nakal! Kamu tau apa yang kakek temukan di kakimu semalam?"
Sambil melahap makanan, aku menggelengkan kepala sebagai jawaban tidak tau. Kakek mengeluarkan sesuatu dari sakunya, kantong plastik bening kecil lalu di tunjukan ke arahku.
"Ini semalam menempel di kakimu khe khe khee" kakek terkekeh.
"Apa itu?" ucapku sambil mengamati tiga benda berwarna hitam yang ada di dalam plastik. Besarnya sekitar seibu jari orang dewasa.
"Uhuk... Uhuk... " tersedak setelah tau benda apa yang ada di plastik itu. Rupanya dia menggeliat dan memiliki permukaan kulit yang licin.
"Sepertinya makhluk ini kenyang melahapmu semalam" ucap kakek dan kembali terkekeh.
"Hiiiiii. Tidak kek, jauhkan monster itu dariku! " ucapku, saat itu juga aku merinding seluruh tubuh. Tapi kakek malah tertawa dengan bahagianya.
Saat itu juga ayah menghampiriku dengan muka yg masih marah.
"Ayo kita pulang" ucapnya sambil menarik tanganku.
"Jangan marahi anakmu! " ucap kakek tegas dan langkah ayah terhenti memandang sejenak wajah kakek. Tapi ayah hanya diam lalu membawaku sampai di atas motor.
Aku agak cemas, sampai di rumah ayah pasti akan marahin aku habis-habisan.
Disepanjang perjalanan kami terdiam.
"Hah." Ayahku kesal dan terduduk sambil memijit keningnya..
"Maafin aku yah... Aku..."
"Masuk kamar." ucap ayah bernada tegas.
Tanpa menjawab lagi ku berlari ke kamar.
Badanku terasa lemas, sakit, seperti habis di kroyok warga. Aku memijit mijit lenganku sambil menahan nyeri.