Hahhhh.... Hari yang baru lagi untukku, mengenal sekolahan baru, guru baru, dan fasilitas baru. Sebenarnya aku tipe anak yang sangat sulit untuk bergaul, entahlah, kalau srek dihati aku bakal bisa akrab bahkan seperti saudara. Tapi kalau ga srek kenal seseorang, aku cenderung menghindar dan mengasingkan diri. Mungkin sebab itu aku dikenal sebagai anak yang pendiam, dan hanya memiliki satu atau dua teman saja. Ga papa kan ya? Yang penting aku nyaman. Karena ga semua orang bisa nerima aku yang agak aneh ini.
Hari demi hari sampai hitungan bulan. Enjoy tinggal bersama mbah di desa, kadang pulang sekolah aku nyusul mbah ke sawah. Kadang pergi kesungai mencari ikan bersama salah satu teman, hey, meskipun aku cewe aku hobi mancing hehe.
Sebenarnya lumayan nyaman dan mengasikkan meskipun bangunan sekolahan bisa dibilang sudah tidak layak pakai. Sekolah kuno dengan bangunan setengah rusak, ada lubang di setiap tembok dan lantainya, memang sekolahan itu sudah berdiri sejak masih jaman belanda dan belum pernah satupun mendapatkan renovasi pada masa itu.
Biar aku ceritakan tata letak sekolahan, biar nanti untuk cerita selanjutnya kalian paham dan ga bingung. Tepat di taman sekolahan sebelah timur ada satu pohon beringin yang berdiri tegak di sana, memang sih tinggi pohon beringin baru sekitar dua meter, tapi pohon itu memiliki daun yang lebat dan rindang. Di taman itu juga ada sebuah patung buaya di pinggir kolam yang sudah tidak berair. Hanya saja yang aneh, tepat disebelah selatan kolam itu ada rerumputan tinggi dan sebuah batu berdiri tegak seperti batu nisan.
Aku pernah bertanya pada salah satu teman, batu apa yang berdiri tegak di dekat kolam. Kata mereka, batu itu adalah batu nisan kuburan orang belanda. Aku pikir temanku cuma ngarang dan membual, tapi saat aku bertanya pada mbah, beliaupun membenarkan, kalau batu nisan di taman sekolahan memang kuburan orang belanda. Hih, jadi merinding rasanya.
Pantas saja waktu pertama kali kesana aku ngliat orang pake seragam berdiri diam tapi membelakangiku, badannya tinggi besar, dan hilang secara misterius saat salah satu temanku memanggil. waktu itu aku pikir dia adalah guru di sekolahan itu. tapi setelah mengenal semua guru, ga ada satupun yang mirip dengan laki-laki tinggi yang berdiri di semak batu nisan itu. Hah sudahlah, yang penting dia ga ganggu aku.
Disisi sebelah barat sekolahan adalah area persawahan, ada satu pohon nangka besar di sana. Meskipun aku belum pernah melihat sosok apa yang menunggu di pohon itu, tapi setiap kali aku melewatinya seperti ada suatu mata besar yang mengamatiku dari atas pohon. Belum melihat secara jelas, tapi hanya baru merasakan keberadaannya.
Namun akan aku beritahu sisi menariknya, di sebelah utara gedung sekolahan terdapat sungai kecil. Di seberang sungai itu masih ada satu lahan yang tertanam berbagai macam pohon. Dari pohon kelapa, pohon pala, cengkeh, nangka, durian dan lain-lain. Tapi yang paling lebat disana adalah pohon bambu. Lagi-lagi pohon bambu. Huh.
Suatu hari ku ikut bersama temanku memasuki area itu. Kami pergi mencari cengkeh yang berjatuhan di tanah, lumayan kalau dapat banyak bisa dijual dan dapat uang jajan hehe. Sewaktu kami menerobos pepohonan bambu, Ada sesuatu yang membuatku fokus tak berkedip. Ternyata, di tengah rindangnya pohon bambu ada sebuah sumur. Sumur tua yang sudah terbengkalai, bergidik rasanya. Saat melihat sumur itu seperti ada udara dingin meniup tengkukku, meskipun matahari terik, tapi saat kami berada didalam area kebun samping sekolah itu tetap saja gelap karena rindangnya pepohonan sehingga sinar matahari sulit menembus tanah.
"Hey Nimas, kamu ngapain bengong disitu! Ayo jadi ikut nyari cengkeh gak?" tanya Widya. Widya inilah satu-satunya teman akrabku masa sekolah dasar.
"Eh iya" jawabku langsung berlari menghampiri Widya yang sudah jalan paling depan.
"Wid, itu sumur apaan?" tanyaku penasaran. Jujur saja, sebenarnya jadi tidak nyaman setelah tau ada sumur disana. Tau gini aku nolak tadi. Tapi udah terlanjur basah ya udah nyebur aja deh.
"Oh itu, sumur tua. Tapi udah ga ada airnya kok" jelas Widya dengan begitu santainya.
Aku hanya mengangguk tanda mengerti, tapi tetap saja tidak nyaman. Karena di setiap gerakanku seperti ada yang mengawasi dari atas sumur itu. Saat aku melihat ke tanah untuk mencari cengkeh, selalu saja dari ujung mataku terlihat ada kain berwarna putih duduk di pinggiran sumur itu. Tapi pas aku menoleh, kain putih itu sudah tidak ada, selalu terulang setiap aku sedang melihat ke tanah sampai beberapa kali.
"Kamu kenapa si, liatin sumur itu terus ?"
"Aku... Ga papa. Wid, udah yuk. Kita balik ke sekolahan" ajakku. Rasanya merinding, benar-benar udah ga nyaman.
"Kenapa? Takut ya? Hahaha"
Iya, aku ga mau bohong. Memang rasanya menakutkan, entah Widya ga peka atau memang urat takutnya udah putus sampai dia bisa sesantai itu. Namun, ditengah rasa was-was, Widyapun membuka cerita.
"Eh Nimas, kamu tau ga? Sebenarnya sumur itu angker loh"
Deg. Menyebalkan sekali, aku sedang mengalihkan perasaanku tapi Widya malah nambahin cerita. "Angker gimana?" takut sekaligus penasaran.
"Mbahku pernah lagi metik pala di pohon itu, tapi tiba-tiba kedengeran suara bayi nangis di dekat sumur. Tapi pas mbah nyari darimana suara bayi itu ternyata ga ada apa-apa dan suara bayi itu hilang secara misterius. Terus, mbah kan lanjutin metik pala. Gantian ada suara cewe nangis, dan suara itu juga berasal dari deket sumur itu. Pas mbah ngedeket ternyata suaranya berasal dari dalam sumur."
Mendengar cerita Widya, berulang kali aku menggosok tengkukku karena merinding. "Udah yuk, balik" ucapku maksa Widya untuk kembali ke sekolahan.
"Ahaha. kamu takut ya" Widya masih saja meledekku.
Seandainya dia tau kalau sosok yang ia bicarakan sedang menatapnya. Aku yakin Widya pasti tidakakan menertawakanku, bahkan mungkin dia akan lari kabur sambil nangis. "Ya sudah kalau kamu ga mau balik. Aku mau balik sendiri" ucapku kesal sambil meninggalkan Widya yang masih tertawa.
"Eh. Tungguin! Nimas!"
Bodo amat. Yang terpenting sekarang aku harus balik ke sekolah sebelum lonceng tanda bel berbunyi dan sebelum aku kena sawan di tempat itu. Widya akhirnya berlari menyusulku. Langkah kami semakin dekat melewati sumur itu, tapi aku tidak berani sedikitpun menoleh kesana lagi.
*****
Keesokan paginya, sengaja aku berangkat pagi karena pas hari piketku di sekolahan. Sesampainya di sekolahan, baru ada 3 siswa kelas 6 yang datang juga pak Sarman penjaga sekolahan. "Eh, pagi sekali kamu berangkat?" tanya pak Sarman yang sambil mencabuti rumput di depan ruangan kantor guru.
"Iya pak. Hari ini jadwalku piket"
Pak Sarmanpun mengangguk. Aku masuk ke dalam kelas, menaruh tasku di bangku tempat biasa aku duduk bersama Widya. Suasana sekolah masih sangat sepi, aku berniat pergi ke gudang sekolahan untuk mengambil pengki dan sapu. "Pak, gudang sudah dibuka kan ya?" tanyaku pada Pak Sarman yang masih sibuk diposisinya tadi.
"Sudah dong" jawabnya. Aku langsung berjalan menuju gudang. Sebelum masuk mengambil sapu dan pengki, lebih baik melongok dulu ke dalam memastikan kondisi aman dan tidak ada sesuatu yang mengejutkan nantinya. Setelah mendapatkan sapu dan pengki, aku bergegas keluar dari gudang. "Huft. Aman"
Untunglah, aku menyelesaikan piket tepat waktu. Saat anak-anak lain datang, kelas sudah selesai disapu. Sekolah mulai ramai, para guru juga sudah mulai datang. menjelang 20 menit sebelum bel sekolah berbunyi. Saat itu aku sedang duduk Bersama Widya dipatung buaya taman sekolahan, seperti biasa kami selalu ngobrol ngalor ngidul sambil menunggu bel masuk disana.
"Aaaaaa"
Tiba-tiba terdengar teriakkan dari salah satu murid, tak lama setelah itu, disusul oleh suara tangisan meraung seperti orang yang ketakutan. Sontak saja, satu sekolahan heboh berlarian menuju ke sumber suara, termasuk aku dan Widya yang langsung menghampiri dan melihat, siapa yang berteriak tadi.
"Ada apa?" tanya salah satu guru panik mendekati siswa yang sedang menangis dengan wajah yang pucat dan badan yang gemetar. Aku dan Widya mendesak masuk ke kerumunan murid lain. Ternyata yang histeris adalah Mila, anak tetanggaku yang saat itu duduk di kelas 3. Apa yang membuat Mila sehisteris dan sepucat itu?
"Bu, ada hantu bu. Ada hantu" ucap Mila belum berhenti menangis.
"Hantu? Dimana ada hantu?" ibu guru benar-benar tidak mengerti.
"Di sana bu, ada hantu" Mila menunjuk kedalam kelasnya. Saat itu juga ibu guru langsung mengecek kedalam kelas, tapi tidak ada apa-apa disana.
"Mila, mungkin kamu salah lihat!" ucap Ibu guru bingung.
"Enggak bu, Mila lihat ada hantu beneran bu. Rambutnya panjang, bajunya warna hitam. Tapi dia ga punya kaki, kakinya patah berdarah huu huu" Mila kembali menangis histeris.
Para guru saling berpandangan, mereka benar-benar dibuat bingung pagi itu. Akhirnya Mila dibawa ke kantor dan istirahat disana. Mungkin setelah tenang, dia bisa mengikuti pelajaran nanti. "Loh Nimas, kamu mau ngapain?" ucap Widya sedikit berbisik saat melihatku berjalan masuk ke kelas tiga.
Apa yang membuat Mila setakut itu? Apa beneran ada hantu barusan?. Gumamku sambil menelusuri ruangan kelas tiga. Tapi, sewaktu aku berdiri di pojokan kelas itu, hidungku mencium bau amis yang sangat menyengat. Dari pojokan bawah terlihat ada ceceran darah segar yang keluar dari lantai. Aku melangkah mundur sambil mengamati darah itu.
"Nimas! Apa yang kamu lakukan disini?" Tanya pak Bram guru matematika.
Kaget. Aku langsung menoleh ke arah pak bram. "Kamu kelas sebelah kan? Masuk ke kelas sana, sebentar lagi bel berbunyi" ucap pak Bram.
"Tapi Pak, disini ada... " ucapku terputus, aku ingin memberitahu pak Bram tentang darah yang keluar dari lantai, tapi saat menoleh darah itu sudah hilang tanpa bekas.
"Ada apa Nimas?" Pak Bram merenyitkan alisnya.melihat ke lantai yang aku tunjuk.
"Hehe, emm.... Ga ada apa-apa pak" ucapku lagi.
"Cengengesan. Sudah sana masuk kelas!"
"Pak, bau amis ga?" Tanyaku masih penasaran. Karena hidungku asih mencium aroma tidak sedap. Pak Brampun mengendus endus udara disekitarnya.
"Enggak tuh. Kamu kali belum mandi ya!"
Enak aja, aku mandi tau! Protesku dalam hati. Aneh, pak Bram ga nyium bau anyirnya.
"Nimas! Malah bengong. Masuk kelas bapak bilang!" mata pak Bram mulai melotot. Udah pelajarannya seram, gurunya ga kalah seram. Langsung aku ambil langkah seribu.
Widya masih menunguku di depan kelas 3 untuk masuk kelas sama-sama. "Nimas, kamu habis ngapain sih?" tanya Widya penasaran.
"Aku ga ngapa-ngapain. Cuma liat kedalem aja apa beneran Mila ngliat hantu" hiihh... Rasanya merinding dengan ucapanku sendiri.
"Terus, ngliat ga?" Widya menatapku seksama.
"Em... Enggak. Udah yuk masuk" tangan Widya aku tarik supaya masuk kedalam kelas dan berhenti banyak tanya.
Bau itu, darah itu, hilang setelah pak Bram datang. Tapi sudahlah, meskipun aku melihat tapi yang lain tidak, lebih baik aku diam dan menyembunyikannya. Daripada di katain berhalusinasi dan orang aneh, lebih baik aku diam menyimpannya sendiri.