Aku bukannya tak perduli, hanya saja ada beberapa hal yang menurutku tak usah aku ketahui. Kabarmu, hanya membawaku kembali pada kenangan lama. Aku hanya takut goyah.
Gia terlihat tengah memoles lipstik dengan bantuan kaca pada ponselnya, sementara Rani di sebelahnya tengah merapikan berkas-berkas untuk bersiap pulang ke rumah. Hujan sudah reda beberapa jam yang lalu, membuat semua orang menghela napas lega sebab terlalu malas untuk kembali terjebak di kemacetan atau mungkin di dalam kantor dengan tubuh yang mengigil kedinginan.
Setelah mendengar beberapa alasan yang membuat kepala perempuan itu dipenuhi oleh banyak sekali pertanyaan, pada akhirnya mereka terjebak lagi di dalam ruangan dengan berkas menumpuk di depan wajah. Bahkan, Gia terus mencoba mengabaikan bagaimana Alan yang terus mencoba menariknya masuk ke dalan ruangan lelaki itu dengan bermacam alasan. Tentu saja, Gia terlalu malas menjadi bahan obrolan sekalipun yang genit di sini adalah Alan. Tidak, orang-orang tidak akan pernah mendengarkan penjelasannya kalau hal seperti itu sampai terjadi.
Alan sendiri tidak tahu apa yang terjadi padanya, dia hanya merasa sedikit terkejut dengan keberadaan Gia yang menganggu isi kepalanya. Wajah gadis itu memang tak banyak berubah, bahkan Alan masih ingat betul bagaimana sifat buruk perempuan itu yang membuat semua orang kewalahan. Di sekolah saja mendapat julukan puteri es, sangking tak ramahnya dia pada orang lain. Dan pada akhirnya, yang bisa Alan lakukan adalah memperhatikan perempuan itu dari dalam ruangannya.
"Apa kau benar-benar tidak akan ikut ekspedisi besok, Rani?" Tanya Gia pada gadis di sebelahnya.
Yang di tanya memberi jawaban berupa gelengan pada kepalanya, lalu tersenyum miris. "Kenapa? Apa karena gender lagi?" Tanya Gia lagi.
"Bukan begitu," jawabnya sembari kembali menggelengkan kepala, "alasannya kali ini sedikit berbeda," lalu melirik ke sekeliling ruangan lalu berbisik. "Katanya aku ini pegawai magang, makanya tidak boleh ikut."
Gia mendengus, matanya kini menatap tajam. "Alasan apa lagi itu?"
Rani mengedikkan bahu, lalu menyandang tas selempangnya. "Tidak tahu," jawabnya singkat.
Baru saja berdiri, Rani dibuat terkejut dengan kehadiran Vin dengan senyum canggungnya. "Anu, hm. Nona Gia," panggilnya pelan, nampak gugup. "Apa malam ini kau ada waktu?"
Galang dan Bisma yang sejak tadi memperhatikan dengan wajah harap-harap cemas, kini mendengus serentak. Bisma yang tak tahan, langsung mengambil alih dan berdiri di hadapan Gia yang masih terlihat mengerutkan keningnya. "Pergi sana!" Bentak pemuda itu pada Vin.
"Jadi begini, Nona Gia. Kami biasanya selalu melakukan acara penyambutan untuk karyawan baru, jadi kau mau ikut bergabung dengan kami? Sekaligus sebagai acara supaya kita jadi lebih akrab satu sama lain,"
Gia lalu menoleh, seolah tengah berbicara lewat pikiran dengan Rani. Lantas yang ditatap mengedikkan bahu, seolah memberikan keputusan pada Gia.
"Apa kita semua akan ikut?" Tanya perempuan itu, lalu Bisma mengangguk sebelum akhirnya menggeleng.
"Tidak, maksudnya Rani tidak ikut. Hanya kita berlima,"
Kening Gia kembali berkerut, wajahnya berubah jadi masam. "Kenapa begitu?"
"Karena Rani tidak ikut ekspedisi bersama kita, jadi tak usah mengakrabkan diri dengannya. Cukup kita saja,"
Terdengar dengusan dari ceruk bibir Gia, yang membuat Bisma terkejut dan menatap sebal padanya. "Kalau begitu tak usah mengadakan pesta saja," jawab Gia, lantas berdiri. "Alasan macam apa itu?" Gerutunya.
Alan yang masih berada di dalam ruangannya, kini membuka pintu dan langsung menghentikan langkah kaki Gia yang hampir keluar dari ruangan. "Kita semua," katanya tiba-tiba, membuat Gia mengalihkan atensinya pada sosok itu. "Kita semua akan mengadakan pesta, aku yang traktir untuk malam ini."
Sebenarnya Gia tak terlalu menyukai pesta, apalagi kalau pestanya harus selalu diiringi dengan meminum alkohol atau mengadakan permainan kejujuran yang hukumannya menenggak segelas penuh alkohol sampai habis kalau tak mau mengungkapkan kejujuran itu. Tapi mau bagaimana lagi, dia juga tidak bisa menghindari ini sebab sudah terjadi. Maka terdiam dengan mata terbelalak tatkala moncong botol mengarah padanya, yang berarti bahwa dia harus menjawab pertanyaan yang akan orang-orang ini lontarkan.
Rani sudah terlihat mabuk, matanya bahkan terpejam dengan tubuh bersandar pada sofa. Begitupula Vin, sementara Galang yang memang tak minum banyak kini menyengir lebar dan Bisma juga seperti menanti hal ini terjadi dengan semangat. Tapi semua pertanyaan yang sudah mereka berdua siapkan harus ditelan lagi, tatkala Alan mendahului dengan melempar sebuah pertanyaan yang membuat Gia kelabakan.
"Kenapa kau menghilang?"
Sebuah pertanyaan abu-abu yang menghadirkan kerutan pada kening kedua pemuda itu, sementara Gia kini menelan ludahnya susah payah. Perempuan itu lalu mengambil gelas berisi alkohol dan menenggaknya sampai habis, mengabaikan rasanya yang pahit dan terasa membakar ketika melewati kerongkongan, serta fakta bahwa dia tak punya toleransi alkohol yang tinggi. Tidak seperti Alan, ataupun Bisma yang masih terlihat segar walaupun sudah menenggak banyak sekali alkohol.
Melihat Gia yang menghindari pertanyaan itu tentu saja membuat Alan geram, rasanya ingin marah tapi dia tahan sebisa mungkin. Tatkala efek alkohol itu mulai beraksi pada tubuh Gia, lelaki itu mengulas senyum kecil dan langsung menangkap tubuh Gia yang hampir jatuh. Kedua pemuda yang sejak tadi masih didekap rasa bingung, kembali bertanya-tanya di dalam kepalanya.
"Shit! Apa dia benar-benar sudah mabuk?" Tanya Bisma tak percaya.
Galang lalu mengangguk, pun menatap lekat pada Gia yang memejamkan matanya. "Dia benar-benar anak baik," ujarnya sarkas, "pasti dia tidak pernah minum alkohol sebelumnya."
Alan lantas mendengus, kemudian merogoh isi dompetnya dan melempar kartu atm berwarna emas ke atas meja. "Bayar sana, aku harus segera pulang. Kasihan perempuan ini," ujarnya, "lalu hubungi pacar Rani, dan kalian bertanggungjawab atas Vin."
Setelah mengatakan itu, Alan langsung berdiri sembari membawa Gia dalam gendongannya. Perempuan itu masih memejamkan matanya, nampak nyaman tertidur bersandar pada bahu besar Alan. Hingga setibanya di dalam mobil Alan, perempuan itu membuka matanya meskipun terlihat masih tak sadarkan diri karena egek alkohol. Bibirnya tersenyum, lalu terkekeh dengan manik mata yang fokus menatap ke arah Alan yang sudah duduk di bangku kemudi.
"Oh, mantan pacarku, ya?" Tanya gadis itu, sedikit meracau.
"Apa sesulit itu menjawab pertanyaanku dan lebih memilih meminum alkohol padahal tidak terbiasa, Gia?"
Lagi-lagi kening Gia berkerut, pipinya nampak bersemu merah. "Memangnya tadi mantan pacarku ini bertanya apa?"
Alan menghela napas, lalu menjawab. "Lupakan,"
"Aku hanya takut goyah kalau kembali menghubungimu," Alan pikir Gia sudah sadarkan diri tatkala dia mendengar perkataan itu keluar dari ceruk bibir Gia yang memerah, tapi ternyata perempuan itu masih dipengaruhi oleh alkohol. "Lebih baik benar-benar putus hubungan, supaya aku cepat melupakanmu. Luka yang kau torehkan nyatanya berhasil membuatku hampir kehilangan setengah dari kewarasanku,"
"Aku ini dari keluarga berantakan, sudah hampir kehilangan alasan hidup dan tiba-tiba kau muncul memberikanku kebahagiaan semu. Lantas setelahnya, kau malah menyakitiku. Kau ini manusia atau apa, hm? Kejam sekali!"
Alan menatap sendu pada Gia yang menatap dengan mata menyipit, perempuan itu terlihat menitikkan air matanya lalu terdiam setelah mengatakan kalimat yang sukses membuat Alan kembali mempertanyakan perasaannya lagi. Lantas, dalam sekali sentakan lelaki itu menarik tubuh Gia untuk mendekat ke arahnya. Gia nampak pasrah, apalagi dengan belah bibirnya yang sedikit terbuka. Kemudian, tanpa pikir panjang Alan mendekatkan bibirnya untuk mencium bibir ranum itu.
Tapi sayang, Gia lebih dulu memuntahkan isi perutnya dan mengenai kemeja Alan. Dan ciuman itu berakhir gagal.
Kenapa?!
To Be Continued