Kiara sudah berdandan rapi. Ia memakai dress pink dengan bandana pita berwarna merah.
Anggi memesan taksi dan pergi ke kedai Kamal terlebih dulu. Sambil menunggu jam makan siang, Anggi membantu Kamal di kedainya. Kiara bermain di halaman kedai.
"Kia, Sayang." Christian lewat di depan kedai dan melihat Kiara. Ia pun keluar dari mobil dan menyapa Kiara yang asyik bermain sendiri.
"Om Ganteng," sahut Kiara. Ia berlari menghampiri Christian.
"Kia sedang apa di sini sendiri?"
"Kia nunggu nenek," jawab Kiara.
"Nenek di dalam, terus kenapa Kia sendiri di sini?" tanya Christian. Ia sama sekali tidak tahu kalau itu adalah kedai milik ayah angkat Haruna. Ia pikir Anggi sedang mengajak Kiara makan siang di sana.
"Nenek sedang membantu kakek. Jadi Kia main sambil nunggu nenek," jawabnya lagi.
Christian berjongkok, "jadi, ini kedai kakek?" tanya Christian sambil memegang pundak Kiara dengan lembut.
"Iya," jawab Kiara singkat.
"Antarkan Om buat bertemu kakek, yuk!" ajak Christian. Ia menggendong Kiara layaknya seorang ayah yang menggendong anaknya. Mereka masuk ke dalam kedai.
Dari seberang, ada seorang laki-laki misterius yang mengamati dan mengambil potret saat Cristian menggendong Kiara. Sebuah senyuman misterius tersirat di bibir laki-laki misterius itu.
***
"Haruna, sudah siap?" tanya Tristan yang tidak sabar menunggu Haruna mengganti baju.
Sementara di dalam kamar, Haruna sedang kesulitan menarik resleting dress yang dipakainya. Ia ingin memanggil Sinta, tetapi ia tidak bisa keluar dari kamar dengan keadaan seperti itu. Apalagi Tristan sedang menunggu di depan kamar.
"Aduh, gimana sih susah sekali," gerutu Haruna pelan. Tangannya tidak sampai ke bawah. Resleting itu juga tersangkut di tanktop yang dipakainya sebagai baju lapisan.
"Hei, kenapa lama sekali?" Tristan menerobos masuk.
"Akhh! Tristan, siapa yang mengizinkan kamu masuk? Aku sudah bilang tunggu di luar!" Haruna berbalik membelakangi cermin. Ia menyembunyikan punggungnya dari pandangan Tristan. Hari ini Haruna memakai tanktop tipis transparan agar tidak terlihat dari luar dressnya. Namun, tanpa sengaja resleting itu menyangkut di tanktopnya.
Tristan melihat punggung Haruna dari pantulan di cermin. Ia melangkah maju dan berdiri satu langkah dari Haruna. Dengan senyuman yang begitu menggoda, Tristan menatap kedua manik mata Haruna.
"Mau dari depan atau dari belakang?" Tristan bertanya dengan misterius tanpa mengatakan maksudnya.
"Apa maumu? Pergi!" teriak Haruna ketakutan. Bagaimana tidak. Tristan bertanya seperti itu di saat punggung Haruna terlihat di balik tanktop transparan. Tentu saja Haruna jadi berpikir macam-macam.
"Mau aku bantu menarik resleting dari arah depan atau belakang?" Tristan membuat pertanyaannya sedikit lebih jelas.
Haruna mengerti maksud Tristan sekarang. Namun, ada dua hal yang membuat Haruna dilema.
"Kalau aku jawab dari depan, berarti dia memeluk aku dong. Kalau aku bilang dari belakang, punggungku dilihat si mesum ini," batin Haruna. Ia pun bingung harus menjawab apa.
"Dari mana, depan atau belakang?"
"Belakang saja," jawab Haruna. Ia pun berbalik. Tidak apa-apa Haruna, kan masih ada lapisannya. Tidak secara langsung dilihat sama dia kan. Batin Haruna membenarkan pilihannya.
Tristan menarik resleting dress, tetapi karena tersangkut, Tristan harus menggunakan dua tangannya untuk memisahkan kain tanktop itu dengan resleting.
Jantung Haruna berdebar-debar merasakan tangan Tristan yang menyentuh punggungnya. Ada gelenyar aneh di sekujur tubuh Haruna. Entah mengapa, wajah Haruna jadi memerah.
Setelah berhasil menarik resleting itu, Tristan mendaratkan kecupan di tengkuk Haruna.
Deg!
Haruna berjingkat kaget saat Tristan mengecup tengkuknya. Jantungnya berpacu semakin cepat. Ia merasakan bibir lembut dan basah milik Tristan itu tidak hanya sekali mengecup. Tristan mulai memainkan lidahnya di leher belakang Haruna.
"Tristan, lepaskan aku!" Haruna mencoba melepaskan pelukan Tristan, tetapi tenaga Haruna sama sekali tidak bisa menggerakkan tangan Tristan. Haruna mencoba untuk melepas tangan Tristan dari pinggangnya.
Haruna tidak sanggup menahan rasa geli dan nikmat yang dirasakannya. Ia tidak bisa seperti ini, tetapi kedua kaki Haruna semakin lemah. Lidah Tristan terus bermain di tengkuknya dengan lincah
Tristan berhenti bermain lidah, tetapi tangannya mencoba menyusup di bagian bawah dress Haruna. Haruna menahan tangan Tristan.
"Jangan! Aku mohon, Tristan," ucap Haruna dengan napas terengah-engah menahan hasrat. Bagaimanapun juga, Haruna wanita dewasa yang memiliki hasrat seksual tentunya. Permainan Tristan membuatnya benar-benar mulai terbakar.
Tristan tersenyum jahil. "Mulutmu menolak, tapi tubuhmu mengatakan sebaliknya," bisik Tristan tepat di samping telinga Haruna.
Embusan napasnya menyapa telinga Haruna. Ia semakin kewalahan menahan godaan Tristan. Tristan membalik posisi Haruna agar berhadapan dengannya. Ia segera melumat bibir Haruna yang merekah merah dan sangat menggoda hasrat Tristan.
Haruna mendorong Tristan, tetapi Tristan meraih kedua tangan Haruna dan memerangkapnya ke belakang. Tristan menghisap bibir atas dan bawah milik Haruna dengan lembut. Ciuman itu berbeda dari biasanya. Ciuman itu begitu lembut, dalam, dan penuh perasaan. Haruna perlahan terhanyut dan membalas permainan lidah dan bibir Tristan. Mereka saling menghisap dan melumat penuh gairah. Lidah Tristan menjelajah di setiap sudut rongga mulut Haruna.
Satu tangan Tristan memegangi kedua tangan Haruna. Sementara satu tangan yang lain mulai bergerak turun dan kembali menyusup ke bawah dress Haruna. Tristan tersenyum karena telah berhasil membuat Haruna bak cacing kepanasan. Saat jari-jari tangan Tristan bermain nakal di bawah sana.
Runtuh sudah pertahanan Haruna. Tanpa sadar Haruna pun mendesah. Hal itu membuat Tristan semakin nakal. Jarinya semakin liar mempermainkan gua lembab itu. Ia menatap wajah Haruna yang memerah dengan mata terpejam rapat. Tristan tersenyum dan berniat membuat Haruna terbang bersamanya, tetapi Tristan gagal melakukannya karena sebuah ketukan di pintu.
Tok! Tok! Tok!
"Tuan, sopir sudah siap di bawah." Sinta menginterupsi kegiatan Tristan.
Haruna membuka mata dan mendorong Tristan. Kali ini Tristan tidak menahannya dan melepaskan Haruna. Setelah lepas dari Tristan, Haruna berlari masuk ke dalam kamar mandi. Ia sangat malu karena telah menikmati cumbuan Tristan.
"Bodoh sekali. Kenapa aku malah menikmatinya. Dasar pemain wanita ulung, dia sudah terbiasa membakar gairah para wanita. Dengan bodohnya tubuhku ini juga terbakar karenanya. Haruna, Haruna jangan sampai kamu jatuh ke tangannya. Tidak boleh!" Haruna menepuk-nepuk kedua pipinya agar ia segera sadar. Setelah membasuh wajahnya, Haruna keluar dari kamar mandi. Untung saja Haruna memakai kosmetik waterproof, jika tidak akan sangat merepotkan karena harus merias kembali wajahnya.
"Sudah keluar. Aku pikir mau tinggal di kamar mandi," goda Tristan.
Haruna melemparkan tatapan tajam. Ia kesal sekali karena Tristan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Haruna tidak tahu harus bagaimana melampiaskan kekesalannya.
"Mau dilanjut tidak?" Tristan melangkah pelan menghampiri Haruna.
"Lanjut apanya? Dasar cabul!" Haruna memaki Tristan dengan ketus.
"Tapi kau menikmatinya," balas Tristan.
Haruna tidak bisa membantah ucapan Tristan. Ia pergi meninggalkan Tristan lebih dulu karena ia merasa malu. Apa yang Tristan ucapkan tadi, memang benar adanya.
Tristan tersenyum geli melihat Haruna pergi. Ia pun segera menyusul Haruna ke parkiran. Tiba di parkiran, Haruna langsung masuk ke dalam mobil disusul Tristan lima menit kemudian.
Sopir pun segera menyalakan mesin mobilnya dan melaju pergi meninggalkan halaman rumah Tristan.
Anggi melirik jam dinding di kedai. Sudah jam sebelas siang. Ia segera berpamitan pada sang suami dan pergi ke cafe bersama Kiara.
"Kia bisa bertemu Mama di cafe ya, Nek?" tanya Kiara.
"Sepertinya tidak, Sayang. Kia bisa makan yang Kia suka di sana. Nenek akan membelikan apa pun yang Kia mau," ucap Anggi. Ia merasa sedih melihat Kiara murung.
"Tenang ya, Kia! Kita akan segera berkumpul lagi," batin Anggi.
Kiara seperti memiliki ikatan batin dengan Haruna. Ia sangat yakin kalau ia akan bertemu Haruna di cafe. Hatinya pun berdoa, semoga ia benar-benar bisa bertemu sang ibu angkat.
***
Di cafe, Haruna turun lebih dulu meninggalkan Tristan yang baru membuka pintu mobil. Haruna tidak tahan mendengar ejekan Tristan selama di dalam perjalanan. Tristan terus menggoda Haruna tentang bagaimana cumbuan yang dilakukannya pada Haruna.
Haruna masuk ke dalam cafe yang sudah lumayan ramai oleh pengunjung. Haruna tidak tahu di mana mejanya. Ia disambut oleh Jef.
"Haruna! Kamu sudah datang. Senang bertemu denganmu lagi," ucap Jefri. Ia terus memandang wajah Haruna dan tersenyum manis padanya. Kalau saja Haruna bukan milik Tristan, Jefri pasti akan mengejar cinta Haruna.
"Ekhem! Apa yang kau lakukan pada calon istriku? Kau berani menggodanya di depanku," cibir Tristan.
Tristan tiba-tiba sudah berdiri di belakang Haruna. Ia mengejek Jefri karena merasa cemburu. Meskipun Jefri adalah temannya, ia tetap merasa cemburu.
"Yo, cemburu nih," ejek Jefri. Ia tertawa melihat Tristan yang meliriknya dengan tajam. Jefri merasa heran, sejak kapan Tristan melupakan cinta pertamanya, Stevi. Perasaan yang Tristan tunjukkan begitu dalam pada Haruna. "Sudahlah. Aku tidak tahu kenapa kau harus cemburu padaku, tapi sekarang sebaiknya aku antar kalian ke meja kalian. Ikuti aku!" Jefri berjalan lebih dulu untuk menunjukkan meja Tristan.
Jefri menarik kursi untuk Haruna. Hal itu membuat Tristan semakin cemburu. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja. Tatapannya tidak terlepas dari wajah Haruna yang tersenyum kepada Jefri.
"Dia bisa berterima kasih pada pria lain dengan senyuman seperti itu, tapi di hadapanku .... Benar-benar mencari masalah, awas saja kau!" batin Tristan.
"Kalian pesan saja yang kalian mau. Aku traktir kalian hari ini, oke!" ucap Jefri sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Haruna. Jefri sengaja melakukannya untuk membuat Tristan cemburu. Sejak dulu, Jefri memang paling suka menggoda Tristan. Jefri pergi meninggalkan mereka dengan senyum geli yang sedari tadi tertahan.
"Dasar genit! Untuk apa terus mengumbar senyum seperti itu? Kau selalu ketus terhadapku, kenapa dengan pria lain kau bisa seramah itu," gerutu Tristan.
"Bukankah dia sangat manis?" Haruna sengaja memuji Jefri di depan Tristan. Sangat menyenangkan bagi Haruna saat melihat pria dingin dan arogan di hadapannya ini marah. Ia menahan senyum geli dengan minum air putih.
"Berani memuji pria lain di depanku, tidak takut?" tanya Tristan dengan senyum mesum yang membuat Haruna terdiam seketika. Kini giliran Tristan yang tersenyum penuh kemenangan. Haruna terdiam hanya dengan satu ancaman darinya.
Tidak lama kemudian, suara seorang gadis kecil menggema di dalam cafe. Haruna menegang kaku dengan jantung yang berdebar cepat. Ia meneteskan air mata mendengar suara gadis kecil yang sangat dirindukannya. Namun, Haruna tidak segera menoleh.
"Mama!" panggil seorang gadis kecil.
"Tidak mungkin, itu … Kia. Itu suara Kia," batin Haruna. Ia pun menoleh ke arah sumber suara. Pundak Haruna turun naik menahan isak tangisnya.
Gadis kecil itu berlari dan memeluk Haruna yang duduk terpaku. Haruna tidak percaya kalau ia bisa berjumpa Kiara di sini. Haruna mengangkat Kia untuk duduk di pangkuannya.
Sementara Tristan hanya tersenyum menatap mereka. Tristan tidak merasa marah. Ia justru bahagia melihatnya.
"Kia, hiks. Kia kesini sama siapa?" tanya Haruna sambil mengusap air matanya. Ia mencium kedua pipi Kia dan juga keningnya. Ia memeluk Kita dengan erat. Semua rasa rindu Haruna tertumpah seketika.
Di depan pintu, Jefri sedang berbicara dengan Anggi. Anggi tidak sadar kalau Kiara sudah masuk ke dalam cafe dan bertemu Haruna. Ia sibuk berbicara dengan Jefri.
"Nak Jefri, selamat atas pembukaan cafenya. Oh, iya, perkenalkan, saya Anggi, Mamanya Vivi," ucap Anggi memperkenalkan diri.
"Terima kasih, Tante. Saya, Jefri. Vivi sudah bilang bahwa Tante akan ke sini. Saya sangat penasaran, seperti apa ibunya Vivi. Setelah bertemu, sekarang saya sadar kenapa Vivi begitu cantik? Ternyata karena dia sangat mirip dengan Tante," ucap Jefri berbasa-basi.
Namun, Jefri tidak tahu kalau Anggi mandul. Vivi dan Haruna bukan anak kandungnya. Jadi, bagaimana bisa mereka mirip dengan Anggi. Anggi sedikit muram karenanya.
"Kenapa Tante sedih? Jefri salah bicara ya? Maaf kalau Jefri salah," ucap Jefri penuh penyesalan. Niat hati ingin memuji, tetapi rupanya ia salah. Ia tidak salah memuji Anggi cantik, hanya saja Jefri tidak tahu kalau Anggi tidak punya anak kandung.
"Gak salah, kok, Nak Jefri. Kedua putri Tante memang sangat cantik, tapi tidak seperti Tante. Mereka pasti mirip dengan ibu mereka," jawab Anggi sambil tersenyum.
Jefri mengerti sekarang, alasan Anggi bersedih karena ia tidak mengandung mereka. Vivi hanya seorang anak angkat. Jefri pun meminta maaf kembali. Namun, Anggi tidak merasa marah sama sekali. Ia tersenyum memaafkan ucapan Jefri.
"Silakan masuk, tante! Saya antar ke meja Tante," ucap Jefri.
Saat hendak melangkah masuk, Anggi pun sadar kalau Kiara tidak ada di sampingnya. Ia celingukan mencari Kiara. Tingkah aneh Anggi itu pun membuat Jefri bingung.
"Cari siapa, Tante?"
"Cari Kiara, cucu Tante," jawab Anggi dengan wajah yang mulai cemas.
"Mungkin saja sudah masuk. Coba Tante cari dulu di dalam! Siapa tahu saja ada. Kalau tidak ada, nanti saya bantu cari dia."
"Terima kasih, Nak Jefri. Tante coba cari dulu," ucap Anggi. Anggi pun melangkah masuk ke dalam cafe, diikuti oleh Jefri di belakangnya.
Sampai di dalam cafe, Jefri segera berlari ke dapur dan memberitahu Vivi. "Vi, ada ibu kamu di depan, tapi ibumu sedang mencari Kiara. Apa dia masuk ke sini?"
"Apa? Kiara hilang!" Vivi segera berlari keluar untuk menemui Anggi, tetapi ia terkejut saat melihat ibunya sedang duduk bersama Haruna dan Kiara. Satu orang lainnya yang duduk bersama mereka membuat Vivi marah. "Untuk apa si brengsek itu ada di sini?" gumam Vivi. Rahang Vivi, mengeras, tangannya terkepal, dan pandangan matanya berkilat penuh amarah.
Jefri melihat perubahan Vivi yang tidak biasanya. Sudah tiga hari Vivi bekerja dengannya, tapi baru kali ini Jefri melihat kemarahan dan kebencian di wajah Vivi. Jefri pun mengikuti pandangan Vivi. Betapa terkejutnya ia saat tahu ke mana tatapan itu ditujukan.
"Tristan! Kenapa Vivi begitu membenci Tristan? Ini sangat menarik," batin Jefri. Ia menyunggingkan senyum. Ada apa sebenarnya dengan Tristan dan Vivi. Jefri sangat penasaran.