Pov Alena...
*
*
Tiga puluh menit...
Aku tertawa singkat.
Waktu kesana hanya beberapa menit. Devan sengaja membiarkan ku menemuinya. Tapi ini Jakarta. Jarak dekat waktu tak mungkin tepat. Tapi aku yakin waktu berpihak padaku saat ini.
Mata ku mengulur mengambil pisau dapur yang ada di dekat kompor.
Mendadak ada kegugupan dan keraguan sendiri.
Tanpa pikir panjang aku segera meraih pisau itu dan menyembunyikan nya di saku celana.
Saat melangkah terbesit keraguan " Apa ini jebakan dari Devan?"
" Aku hanya akan memastikan perbuatan nya! " Sahut hati ku yang lain dan menepis keraguan ku.
Di luar tampak ada 2 penjaga. Ini sedikit sulit. Aku harus beralasan yang benar. Membuat ini seolah olah cara aku kabur.
Dengan buru buru aku menghampiri akses pintu gerbang utama disana.
" Jordan udah pergi ya?"
Kedua penjaga ini tampak terkejut dengan kedatangan ku.
" Udah beberapa menit yang lalu Nona..."
"Aduduh.. Ponsel dia ketinggalan, aku coba kejar dia. Seperti nya masih didepan jalan deh" Ucap ku lalu segera ngacir dari sana meninggalkan rasa kebingungan dari 2 penjaga itu.
Setelah sampai pintu, pisau itu sengaja aku jatuhkan saat aku lari.
Dengan cepat aku berbalik dan memungutnya, tak kuhiraukan kalau penjaga itu melihatnya. Itu memang tujuan ku. Meninggalkan pesan untuk mereka, aku harus punya strategi dengan apa yang aku ambil sekarang. Jaga-jaga kalau Devan macam macam dengan ku. Karena tak pernah tau pertemuan ku nanti seperti apa.
Mereka mengejar tapi aku keburu tancap gas bahkan nyaris saja salah seorang nya tertabrak. Setir ku banting dan berbelok hingga bebas dari kejaran mereka.
Aku yakin setelah ini mereka segera melapor pada majikan nya. Dan aku harus cepat sebelum Jordan menghentikan semuanya.
Aku terus melajukan mobil ini dengan kecepatan tinggi, jarak tempuh ke tempat yang ia sampai kan hanya beberapa ratus meter dari sini.
Mataku kembali melirik pisau di atas dashboard. Kembali ada keraguan yang muncul. Terlebih fakta bahwa yang menyerangku Truk itu bukan Devan tapi pamannya Jordan.
Apakah mungkin yang melakukan teror sebelumnya juga paman nya Jordan?. Tapi ketakutan ku waktu itu nyata itu adalah Devan. Dia sudah mengatakan nya sendiri dan aku selalu mendapat mimpi buruk yang terus menerus. Dan bayangan mimpi itu kembali terlintas, ini pasti perbuatan dia!
Aku menggeram menyakini insting ku.
Dalam percakapan Jordan sendiri tidak mengatakan paman nya yang melakukan teror pada ku. Ya yang paman nya inginkan adalah nyawa ku secara langsung, dan Devan hanya menginginkan bayiku menghilang. Kalau ia ingin membunuh ku sudah dari dulu ia melenyapkan ku.
Sekitar 18 menit aku sampai di gedung Apartement itu.
Langkah kedua ku adalah security disana.
Aku segera masuk kesana dan menyapa basa basi seorang security yang hanya seorang sendiri.
" Malam pak! " Sapa ku ramah.
Pria itu berbalik dan menoleh padaku.
" Malam juga Nona, ada yang bisa saya bantu??" Sahutnya juga tak kalah ramah.
" Saya mau ke Nomor ini dilantai berapa ya ?"
Security ini melihat nomor pintu yang di kirimkan Devan.
" Oh ini lantai Mr Alex benar?
" Iya. Mr. Devan Alexcander Humours " Jawab ku dengan nama lengkap Devan.
Pak Security ini melihat ku tanpa keraguan lagi. " Lantai nya paling atas Nona! Mau saya antar kan?
" Tidak usah pak! Terimakasih ya" Kataku sambil menganggukan kepala dan berlalu. Pak security itu juga mengangguk sambil tersenyum singkat.
Aku sengaja bertanya ke sana agar nanti kalau terjadi sesuatu Jordan dengan mudah menemukan ku dilantai mana aku pergi.
Langkah ini langsung menuju pintu lift disana.
"Aku rasa aku akan cepat tertangkap kalau memang benar membunuh Devan, tapi itu lebih baik dari pada aku memiliki beban seumur hidup. Pria itu harus membayar nyawa dengan nyawa" Sisi amarah ku kembali tersulut.
Pintu lift hampir tertutup kembali saat aku berusaha menerobos.
Kupencet angka lantai tertinggi, sepertinya lantai tempatnya merupakan sebuah penthouse.
Penhouse biasanya unit apatement yang terletak di lantai atas yang dibedakan dari unit apartemen lain. Tempat yang memiliki luas berkali kali lipat dari unit apartemen di bawah.
Lift yang mengantar ke lantai 32 itu terbuka. Aku keluar dengan langkah cepat. Di sana tampak sepi. Hanya ada beberapa lorong dan angka nomor pintu yang aku cari ada didepan terpampang jelas.
Kupejamkan mata dan menarik nafas dalam dalam. Setelah aku masuk kedalam aku tidak bisa mundur lagi. Baiklah.. Aku sudah disini. Dia pasti sudah menunggu ku.
"Kriiiiiiieeet
Pintu itu berdecit saat aku dorong.
Pintu nya tak terkunci, Devan sungguh hanya ingin membuat ku terlihat lelucon baginya , apa ia pikir aku sungguh tidak berani melukai nya!!!
Aku melangkah perlahan dengan mata awas.
Ruang tamu disana sangat luas mewah, ini memang sebuah penthouse.
Kalau dalam keadaan normal aku akan berdecak kagum pada fitur disana.
Dan pria itu tak ada disana. Apa dia bersembunyi dulu? Aku kembali mengedarkan pandang ke sisi ruangan mewah disana. Bahkan keberadaan nya tak bisa kurasakan.
Hingga kulihat ada sebuah pintu kamar terbuka lebar. Disana gelap tapi insting ku mengarah kesana.
Devan sedang mengajak ku main petak umpat! Oke aku ikuti langkahnya.
Aku masuk ke kamar yang gelap itu hingga kulihat ada cahaya api. Ada cahaya lilin diatas meja yang berhadapan dengan sebuah jendela dibiarkan terbuka separuh, dan sisi lain selebihnya adalah kegelapan. Aku bisa melihat kursi disana dimana tadi ia menghubungi ku. Aku memang di tempat yang dimaksud Devan.
Tapi pria itu tak ada dikursi itu atau tempat tidur disebelah nya.
Kriiiiet.
Bruk
Pintu dibelakang ku tertutup sendiri dengan suara keras. Membuat ku kaget dan nyaris teriak.
" Berhenti main petak umpet Devan. Aku sudah disini sebelum 30 menit! Kamu dimana" Seru ku dengan nafas putus putus. Rasa gugup menjalar ditengah kegelapan disana.
Bunyi pematik dan api kecil terlihat di belakang pintu. Bisa ku lihat pria itu disana bersandar dengan cardigan kebesaran menutupi tubuhnya dengan leher kaos putih yang rendah, kaki sebelahnya menahan kedinding, ia terlihat santai, bebeda dengan ku yang kadang tak bisa mengontrol rasa was was ku. Kuraba pinggang belakang ku tempat menyelipkan pisau itu.
Ia mengesap rokok disana berkali kali
" Hmm nyali mu cukup besar juga.. Alena" Kata pria ini lalu membuang rokok nya dengan santai. Kepulan asap tak terlalu jelas tapi bau asap seperti langsung mencemari persedian oksigen yang tersedia.
Ia lalu berjalan perlahan membuat jantung ku kembali berpacu. Kemana keberanian ku yang tadi mengebu? Pria ini berbahaya dalam segi apapun tapi Tidak aku harus membuat nya membayar apa yang ia perbuat pada anak ku.
Aku tak beranjak dari sana. Semakin kesini wajah Devan makin terlihat mengikuti cahaya lilin di belakang sana. Aura nya sangat kuat, aura mengintimidasi, aku tak kan goyah. Sedikit lagi aku bisa menggapai tubuhnya kalau ia macam macam dengan ku.
" Kamu yang melakukan nya kan! Kamu membuat anak ku meninggal!" Ucap ku dengan nafas memburu! " Kamu mengirimi ku boneka bayi itu?? Membuat ku ketakutan"
Suara ku tercekat dengan suara jantung ku sendiri.
" Ya.. Itu aku!"
Jawab pria b*jingan ini! Sambil menjatuhkan rokok nya kelantai. Menginjak nya hingga titik api disana padam.
Emosi ku melonjak!!
" Kamu hamil saat kita belum resmi bercerai! Bayi itu pantas menerima nya!! " Ucapnya dengan emosi tinggi, suara nya meninggi.
Rasanya kaki ku melemas, rasa pening sontak menyerang ku. Bayangan saat aku hamil terlintas, janin yang semakin besar dalam perut ku hari demi hari aku menantikan anak itu lahir tinggal 1 bulan lagi anak ku akan lahir didunia ini dan Dia adalah manusia yang sudah hidup dalam perut ku dan pria ini membunuhnya!
" Kamu memang bre*gsek Dev..., pembunuh!! Aku maju beberapa langkah dan menghujamkan pisau itu mengarah kebahunya.
Tapi dengan cepat ia menahan tangan ku. Kekuatan ku kembali dipermainkan disini! Dia selalu lebih unggul.
" Kamu hanya akan memberi ku cedera kecil! Disebelah sini ini jantung ku!" Ia menunjuk dada sebelah kirinya.
Aku melotot mengiringi tangan nya mengarahkan pisau yang harus nya cukup mengenai bahu bawah nya malah lari ke dada kiri. Sedikit gerakan lambat kami diudara,Ada bagian mengelak dalam otak ku aku tidak ingin menusuk nya disana.
Blek
Bisa kurasakan runcing pisau disana menusuk bagian daging yang keras. Dan tampak cepat saat tenaga Devan mendorong nya kedalam. Suara dan irisan daging yang mengerikan kurasakan hingga ada yang menghalangi, pisau itu mengeni tulang rusuk dada. Pisau itu aku tahan dengan kuat. Apa dia gila membuat ku menancapkan pisau itu tepat kejantung nya dia bisa mati seketika!! Tangan ku gemetaran hebat, dan ia menahan tangan ku lebih kuat.
" Kenapa ditahan, apa kamu kasian melihat ku hanya masuk IGD? Kau ingin membunuh ku kan. Lakukan lagi..." Ucapnya disana masih terdengar normal.
Tangan nya menarikku lagi dan membuat pisau ini semakin dalam bahkan memutar nya. spontan aku merasa mual. Melihat kaos putih disana sudah menyerap darah segar, warna darah yang gelap mirip percikan api yang menyebar saat pematik jatuh kekolam minyak. Lantas tangan ku terlepas aku menggigil ketakutan.
Suara erangan yang ditahan, tapi bisa kurasakan rasa sakit nya sangat dalam.
" Tinggal sedikit, ayo teruskan! Kamu ingin membunuh ku kan!! Kamu ingin membalas kematian anak itu!! Kamu berhasil Alena"
Mulut Devan mengeluarkan darah segar. Bahkan ia terbatuk. Darah nya keluar lebih banyak lagi dan lagi.
Aku menatap nya bingung juga syok dengan apa yang terjadi.
Devan tidak bisa menompang tubuh nya. Ia jatuh membungkuk dilantai dengan tangan sebagai pemangku tubuhnya. Kepalanya menunduk, darah terlihat keluar dari mulutnya dan dada itu.
Aku semakin panik
" Kamu harus kerumah sakit Dev.. " Aku mendorong bahu nya dan mata ku nanar melihat cardigan itu melorot. Ada luka bakar disana yang masih basah. Kulihat tangan nya disana juga ada luka bakar yang besar.
Sepintas seperti bayangan saat tangan penuh luka itu yang mengeluarkan ku dari dalam mobil malam itu.
" ini...
Sesuatu yang panas merambat naik keluar.
" Kamu.. Dev.. Jelaskan padaku.." Teriak ku marah dan membenci pria ini.
" Ada apa Alena.. ?kenapa tidak menusuk ku lebih dalam?" Ucapnya lalu terbatuk darah lagi. Darah nya muncrat ke leher ku.
" Apa kamu batal membunuh ku! Ingat aku membunuh anak mu! Aku membun-
" Hentikan! Kamu bisa kehilangan banyak darah" Teriak ku tidak ingin mendengar ucapanya itu.
" Apa kamu masih mencintai ku saat melihat ku begini" Ia masih meracau dengan senyum yang tampak menahan sakit disana.
Rasanya aku mau tertawa saja. Perkataan konyolnya.
Kemudian disana sangat gelap. Api lilin disana mati tertiup angin yang datang dari jendela.
Kepanikan menguasai ku. Aku tak bisa melihat keadaan nya kalau begini
aku meraba dan semakin terpukul karena pisau itu kembali ku sentuh. Aku khawatir akan kembali memperdalam pisaunya. Dia tidak boleh mati! Itu yang aku pikirkan! Berbanding terbalik dari apa yang aku niatkan saat datang kesini.
Terdengar nafas pendek disana dan lutut ku yang berasa lengket. Darah nya merembet ke lantai dengan cepat dan Bau darah kembali tercium kuat membuat rasa pening ku meningkat.
Aku mencari kepala nya dan meletakkan di pahaku meraba hidung nya, nafas nya masih ada tapi sangat sedikit.
" Jangan begini Devan... Kamu pembunuh baj*ngan.. Kenapa kamu seperti ini" Teriak ku frustasi. " Kalau kamu mati aku ingin menyiksa mu lebih dulu! Tidak semudah itu kamu matii" Jerit ku dengan air mata.
Kudengar suara tawa nya yang ringan ditengah nafas pendek nya.
" Ini yang kamu ingin kan. Aku tidak akan mengganggu hidup mu lagi! Ini yang setimpal untuk kematian anak mu! Jejak ku akan hilang setelah ini. Aku ucapkan selamat untuk perkawinan mu mendatang, berbahagia lah kalian"
" Berhenti bicara! Kamu bodoh"
" Aku yang membunuh anak mu" Ucapnya lagi seolah terus memprovokasi emosiku.
Harusnya aku tusuk lagi pisau ini agar ia mati seketika. Tapi nyata nya aku hanya menangis. Rasa sakit yang tajam. Aku kehilangan anak ku dan itu anak nya. Lalu ini aku akan kehilangan nya.
Rasanya dunia sedang mempermainkan ku. Harusnya aku bahagia bukan. Ia dan jejak nya benar benar akan hilang.
Tapi rasa sakit aneh yang tak terkira kurasakan di ulu hati ini.
"Tolooooong"
Aku berteriak keras sampai pita suara ini nyaris putus. Aku meletakkan kepala Devan dilantai dan merangkak dan meraba mencari tempat pintu disana. Langkah ku makin terburu saat suara batuk dan nafas disana yang sudah lenyap.
Handle pintu berhasil ku tarik. Aku keluar dari sana seperti orang gila bahkan sampai tergelincir. Darah Devan yang licin membuat ku terjatuh. Aku kembali bangkit dan berlari keluar berharap ada orang disana menolong ku diluar untuk Menyelamatkan Devan.
Aku tak ingin ia kehilangan nyawanya itu yang ku harapkan saat ini.
Saat menggapai pintu utama aku kaget pintu terdorong ada Jordan dengan ponsel ditelinga nya dan getaran lain di saku ku juga terasa. Siasat ku berjalan bagus. Ia datang disaat yang tepat.
Jordan melihat ku kaget apalagi tangan ku penuh dengar darah segar.
" Apa yang terjadi!"
" Panggil ambulans J.. Devan sekaraaat" Pekik ku menangis sejadi jadinya juga lega melihat Jordan disana, tubuh ku luruh saat itu juga " dia dikamar gelap itu tolong selamatkan dia" Tunjuk ku lagi.
Jordan berlari kedalam kamar. Kulihat lampu disana hidup.
Kurasakan tubuh ku sangat lembek bak tak bertulang. Nafas ini merendah. Aku benar benar takut kehilangan nyawanya. Nyawa seorang yang sudah mengambil nyawa anak ku!
Aku menguatkan kaki dan bangkit dari sana. Berjalan cepat menuju kamar yang menyala.
" Segera panggil ambulans! Ada pria sekarat di sini! " Kata Jordan disana dengan ponsel menempel di telinga nya. Ia berteriak nyaring.
Aku menghambur kesana. Kulihat bagaimana darah begitu banyak menggenang lantai marmer itu dan Devan tergeletak dengan wajah sangat putih. Matanya terpejam yang labih membuat ku lemah, pisau yang aku bawa masih tertancap di sana.
Tak berselang lama pintu disana dimasuki petugas medis yang langsung mengerahkan tenaga mereka untuk memberikan pertolongan pertama pada Devan.
Tubuh ku langsung di tompang Jordan dari dibelakang, kami hanya sibuk dengan perihal didepan sana dengan rasa syok yang luar biasa tentunya.
Paramedis itu memindahkan tubuh Devan ke dalam tandu dan segera meninggakkan kamar itu.
Aku berlari mengikuti dengan perasaan linglung.
Devan dimasukan kedalam lift itu. Tak ada tempat untuk ku.
Kubiarkan mereka membawa nya. Aku bisa menggunakan tangga darurat.
Tangga itu aku cari dan segera lari kesana.
Aku tak peduli ini lantai atas yang tinggi.
Aku ingin berada di sebelah Devan. Memastikan ia masih hidup.
Anak tangga demi anak tangga aku turuni, kaki ini sampai terasa sangat lemas tapi tungkai ini tak berhenti untuk terus turun. Aku seperti kehilangan akal sehat berlari kesetanan seperti ini. Rasa lelah kuabaikan.
Ciiiittt
Perut ku mendadak nyeri, dan kepala ini ikut pening. Pegangan ku agak melemah, tidak! Aku tidak akan berhenti.
Dengan nafas melemah kaki ku terus turun. Bahkan saat memejamkan mata rasanya semua nya berputar.
Sedikit lagi..
Kulihat didepan sana pintu dasar. Aku tersenyum pias dan nyeri di perut ini membuat ku ingin muntah. Ku raba pinggang ku. Entah ini darah siapa. Kulihat telapak tangan ku berdarah. Apa mungkin jahitan operasi ku terbuka atau ini darah Devan.
Aku mengabaikan nya hingga handle pintu ku buka disana.
Nafas ku memburu tajam. Pandangan juga semakin buram.
Kulihat petugas medis disana baru keluar dari lift. Bahkan untuk sekarang aku bangga dengan diriku sendiri bisa mengejar kecepatan lift yang tingginya lebih 30 lantai.
Ku seret kaki ini dengan bayangan berputar disana. Mungkin sekarang aku mirip zombie yang datang tiba tiba.
Terlihat bagaimana beberapa orang melihat kearah ku dengan kaget, dan ada yang berteriak dengan suara tak jelas dipendengaran ku, mereka kaget melihat kondisi ku bersimbah darah dan ada tetesan dari ujung kaki ku.
Tempat itu kembali berputar putar hingga kaki ini serasa jadi Jelly.
Aku terjatuh di depan tak jauh parmedis disana dan suara teriak an orang orang disana terdengar.
Aku Merasa hidung ku di jejel alat oksigen dan tubuh lemah ku di pindahkan ke tandu.
" Alena.. Kamu.. Ga papa?" Kulihat didepan ku Jordan mengikuti langkah petugas disana. Aku menggeleng dan pandangan kami menjauh saat salah seorang para medis mengangkat ku masuk kedalam ambulans. Pintu depan sana tertutup bisa kulihat Jordan yang entah bicara apa. Aku Mengabaikan nya.
Nafas ku terasa letih. Tapi saat aku berpaling disebelah kanan ku ada Devan yang seolah tertidur. Wajah nya tertutup alat medis, nyaris terhalang oleh benda benda itu. Tapi matanya terpejam seolah tertidur.
Suara alat alat disana juga memecahkan keheningan disana. Tangan nya ku sentuh terasa sangat dingin seperti bongkahan es.
Kurasakan air mata ku mengalir melihat Devan seperti itu. Tubuhnya seolah tak berdaya. Dimana ketangguhan dirinya yang aku kenal. Rasanya ingin ku ejek pria ini. Mengejek nya dan membuat harga dirinya melorot hingga kedasar. Aku ingin melakukan nya andai dia membuka mata sekarang. Aku ingin berdebat mulut dengan nya melihat raut kemarahan yang menguar dan sorot tajam matanya itu dengan tatapan membunuh. Entah kenapa aku merindukan caranya marah dan menatap ku tajam.
Aku nyaris terbatuk saat tertawa. Ini perbuatan ku! Ini aku yang melakukan nya! Aku yang menikam kan pisau itu disana. Dan nyawa nya sedang dipertaruhkan saat ini.
Suara deru mesin jantung Devan dengan panjang berbunyi. Tubuh ku rasanya teras sangat lemah. Aku tak bisa bangun. Kulihat seorang para medis disana tampak panik dan entah apa yang ia lakukan. 1 harapan ku Devan jangan pergi.