"Huh! sampai juga, serasa membakar jiwa panas banget," celoteh Velda.
Dia membuka kulkas lalu ambil botol minum meneguk hingga setengah tanpa ada rasa dingin pada tenggorokannya. Setelah itu dia menghampiri meja makan penutup sayur, ada kangkung tumis, terong sambal, ikan goreng, sama beberapa gorengan di meja berbaris.
Di singkirkan penutup sayuran itu atas kulkas, dia ambil piring dan sendok, seperti biasa ambil nasi dari rice cooker listrik. Kemudian duduk makan tanpa mencuci tangan lagi. Perutnya lebih di utamakan daripada ke bersihkan.
Makan dalam diam memang prinsipnya namun suara dentingan sentuh piring dan sendok tetap tidak bisa di diamkan. Setelah selesai makan, dia pun mengangkat piring di letakkan begitu saja. Karena yang akan mencuci itu si Bibi Zaina. Pembantu rumah tangga yang sudah lama menginap di rumah tanpa bertingkat itu.
"Baru pulang, Non?" tegur Bibi Zaina habis angkat jemuran baju di belakang halaman rumah.
"Iya, nih, Bi. Panas, terus baru siap makan," sahutnya memukul perut tak berlemak itu.
"Syukurlah, Oh iya, Non. Ibu Raiya sama Bapak Jonathan berpesan, kalau Nona Velda sudah pulang. Di minta bersiap-siap. Katanya mereka mau ajak makan malam di luar." Bibi Zaina memberitahukan kepada Velda.
Velda mengerut alis dan kening." Ajak makan malam? Untuk apa? Terus di dapur banyak sayur kok ajak makan malam lagi. Ini pasti ulah Mama!" merepetnya si Velda
"Kurang tau, Non. Cuma di minta sampaiin sama Nona Velda saja," katanya lalu pergi membawa baju yang sudah kering tadi.
Sementara Velda masuk ke kamarnya menghempaskan tubuh atas kasur sangat empuk, cuma dia itu lebih suka tidur di bawah lapis kasur tipis lipat daripada empuk walaupun lebar.
Merogoh ponsel dari celana biru jins-nya. Ponselnya suka banget pakai kata kunci biar nggak ada yang sembarangan membajak sosial medianya. Banyak pesan masuk entah apa saja isinya. Rata-rata operator dari Telkomsel, terus pinjaman uang, terus kouta internet waktu akan berakhir.
Dia mengabaikan pesan semua tidak bermutu itu, yang harus dia lihat adalah sosial media seperti Facebook, instagram, whatsapp, BBM. Aplikasi BBM- nya sudah sepi pengen banget dia hapus aplikasi itu. Cuma terlalu di sayangi bisa lihat group beberapa online di sana.
Setelah puas dengan aplikasi chatting-nya. Dia mulai mengalihkan ke sosial media, Facebook sama hal dengan aplikasi lainnya serba online shop. Instagram pada enak jalan-jalan keluar negeri. Yang paling di bencinya itu satu status amarah pelakor merebut suami, sesama wanita pun bisa berantem.
Lagi asyik sama sosial medianya, sesuatu panggilan telepon masuk membuat dirinya mendecak kesal. Mama Simpati menelepon....
"Ya, Ma, ada apa?" sambutnya lebih dulu sebelum beliau menyambut.
"Kamu ada dimana sekarang?" sambungan suara dari Mamanya yaitu Raiya
"Di kamar, kenapa, Ma?" jawabnya santai dan nadanya biasa saja.
"Bibi Zaina sudah beritahu ke kamu. Nanti malam..."
"Sudah tau, Ma..."
Benar rasanya dia paling benci dengan namanya jamuan makan malam diluar. Sepertinya Velda malas untuk hadir acara itu.
"Bagus, nanti sopir Hardi jemput kamu. Mama tunggu kamu di sini. Pakai baju yang sopan dan cantik. Oke, sayang..."
"Hmm..." lenguhnya. Panggilan telepon berakhir. Hembusan napas darinya mengesahkan jiwa. Di angkat kepala sandarkan ke tepi kasur lebar tatapan langit kamar terpejam lah kedua matanya itu.
****
Pada malamnya pun telah tiba, di tempat restoran ternama elite dan berkelas penuh suasana canda tawa. Percakapan antara para wanita yang berumur lanjut tengah sibuk membahas fashion show dan segalanya. Sementara para pria yang berumur tidak muda lagi, tengah membahas bisnis usaha mereka.
Velda tengah duduk di tengah-tengah para orang tua sibuk kegiatan mereka sendiri benar membuat hidupnya bosan. Dia sudah prediksikan kalau makan malam di luar hanya sebagai pawang nyamuk mereka. Untung saja ponsel miliknya tidak pernah putus dari tangannya. Selalu setia setiap saat jika rasa bosan menghampirinya.
Dengan serunya dia chatting seseorang di sana. Sampai tersenyum - senyum bukanlah sifatnya. Hanya ada kelucuan di balik ponsel miliknya.
"Pa, kemana Damian?" suara dari Mega menanyakan kepada suaminya yakni Albert.
Albert melihat jam arloji pada pergelangan yang melingkar di lengannya. Motif jam bermerek emas menyilaukan mata. Telah pukul sembilan malam, orang yang di nantikan oleh ke empat dewasa ini menjadi resah.
"Biar Papa telepon Damian, dulu. Makan saja dulu," ujarnya bangkit dari duduk menjauh dari tempat jamuan makan malam.
Raiya menyenggol siku putrinya yaitu Velda tengah asyik memainkan jempolnya begitu cepat membalas chattingan itu. Merasa terusik Velda mendecik, dia tidak peduli sikap memiliki kesopanan pada tamu ada di depannya.
Tak lama kemudian Albert kembali bergabung dengan mereka, wajahnya begitu lesu, pasti putranya tidak bisa datang menghadiri acara pertemuan dengan tamu ada di hadapan mereka berdua.
"Sepertinya Damian-putraku tidak bisa datang untuk acara perjodohan ini. Dia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Untuk masalah perjodohan tetap berlaku. Maaf sekali atas ketidaknyamanan dari kami, Bapak Jonathan, kami sangat malu telah mengajak kalian datang menghadirkan pertemuan untuk membahas perjodohan yang sudah kita tentukan. Mungkin di lain waktu kami pastikan ini tidak terulang kembali," ucap Albert menjelaskan kepada Velda, Raiya, dan Jonathan.
"Tidak apa-apa. Mungkin putra anda memang sibuk. Saya dengar dia giat dan tekun. Jangan mengucapkan maaf. Ya, mungkin pertemuan hari ini tidak sesuai. Mungkin pertemuan berikutnya bisa kita bicarakan lagi," balas Jonathan merasa tidak enak hati.
Sementara Velda memilih diam, rasanya makanan yang ada dalam mulutnya tidak bisa ia telan semaksimal mungkin. Seperti ingin memuntahkan kunyahan itu. Serasa hambar atau pahit. Mendengar kata perjodohan sudah dia yakin, kan, kalau orang tuanya menginginkan dirinya segera menikah.
"Velda nggak mau menikah." Suara lebih dulu di keluarkan oleh seorang wanita yang cantik dan ayu tengah menatap jalanan gelap di kaca tertutup rapat itu.
Ketika berpamitan dengan kedua orang tua lelaki yang akan di jodohkan oleh orang tuanya. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun dari mulutnya.
Raiya yang duduk di depan menatap putrinya tengah menatap keluar namun sorot kedua matanya bisa di tebak sangat jelas.
"Menikah atau tidaknya, pilihan Mama sudah tetapkan, perjodohan ini terbaik untukmu. Untuk sekarang kamu bisa katakan tidak ingin menikah, tapi suatu saat nanti kamu pasti menyetujuinya. Tidak ada salahnya di coba," kata Raiya kepada putrinya.
"Itu pilihan Mama, pilihan Velda beda. Velda tetap tidak akan menikah dengan siapa pun. Meskipun Mama sudah menyusun perjodohan dengan lelaki mana pun. Prinsip Velda tetap sama!" tegasnya sekali lagi, dia langsung masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam kepada Bibi Zaina ada di depan pintu utama.
Velda menghempaskan tubuhnya, air mata yang di tahan - tahan terkeluarkan juga. Sangat terasa tidak adil untuknya. Namun apa adanya semua telah di susun sedemikian rupa oleh orang tua tidak mengerti perasaan kesungguhan hidupnya.
****