3rd POV.
...
Lagu serendipity itu mengalun merdu nan syahdu di waktu pagi berhias gerimis tipis. Seorang pemuda bertubuh mungil—sedikit bantet; jari kelingkingnya—tengah mendendang mengikuti irama lagu.
Jemari mungilnya itu ia bawa untuk merawat bunga-bunga di depan toko, menyiramnya satu persatu. Badannya membungkuk, ia ciumi kuncup bunga aster didepannya.
"Selamat pagi." Ucapnya, menyapa setiap bunga yang bermekaran dan terlihat begitu cantiknya.
"Kak Jimin." Jimin, terkejut bukan main. Pasalnya saat ia membungkuk tadi, seorang gadis melompat keatas punggungnya.
"Tebak siapa aku~" Jimin tersenyum, tentu saja ia tahu siapa gadis ini. Gadis urakan dan sering bertindak bodoh. Tinggalnya tepat di belakang toko bunga, di rumah kontrakan milik Hoseok Septianto
"Yak! Turun dari punggung Jimin, Seira." Hoseok Septianto, si pemilik toko bunga sekaligus mas-mas kontrakan tempat Seira dan Chaera tinggal. Datang sembari berkacak pinggang, menatap tajam Seira yang masih menggelendoti Jimin bak lintah penghisap darah.
Seira merengut,masih di posisinya yang semakin menyamankan diri di gendongan Jimin. "Mas Anto gak bisa liat orang seneng dikit."
Anto berdecak, bersiap mengambil gagang sapu dibalik pintu toko. Seira buru-buru turun dari gendongan Jimin, lalu balik bersembunyi di belakang punggung. "Gadis nakal. Ingat umur! Selalu saja bertingkah seperti gadis 12 tahun"
"Aku memang masih umur 12 tahun kok. Aku kan imut. Iya kan, Kak Jimin." Seira menatap Jimin dengan puppy eyes nya.
"Eh? Seira tanya Jimin? Terus Jimin harus tanya siapa?" Anto terkekeh menang, senang sekali kalau di saat seperti ini, mode telmi Jimin yang no kaleng-kaleng itu terpakai.
"Kak Jimin~" Seira mencebik dengan bibir mengerucut, pas sekali untuk di kuncir dengan gelang karet. Karena serius, Hoseok Septianto sudah lelah mendengar suara cempreng Seira setiap pagi.
"Mas Anto, masak apa hari ini??" Kini giliran Anto yang di gelayuti manja oleh Seira. Gadis ini selain berisik, juga tak tahu malu. Kerjaannya setiap pagi meminta sarapan pada Anto.
"Aku heran, kamu yang modelan begini sok-sok'an mau jadi dokter??" Lalu Anto kembali masuk ke dalam, di ekori Seira dan Jimin.
"Jangan bawa-bawa profesi, Mas. Biarpun aku ini alergi sama jarum suntik, harusnya mas Anto bangga. Adikmu ini bisa jadi dokter." Ucap Seira lalu duduk di meja makan. Mengambil beberapa lembar roti tawar dan memakannya tanpa selai. Efek lapar di tambah derita anak kosan.
"Dulu aku juga alergi jarum suntik, Sei." Ucap Jimin di sela-sela kunyahan rotinya. Seira tertarik, ternyata Jimin yang manis,menawan dan tampan di saat bersamaan ini juga punya phobia jarum suntik. Siapa tahu kan dia bisa minta tips sama Jimin.
"Oh ya? Terus sekarang gimana??" Tanya Seira antusias, Jimin tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit.
"Gimana apanya? Sampai sekarang juga masih takut." Dan seketika Seira jadi tak nafsu makan. Anto tertawa keras sekali, benar-benar lelucon yang bagus untuk konsumsi pagi harinya.
"Jimin, kamu benar-benar lucu. Hahhaah." Seira ingin sekali menyumpal mulut Anto yang tertawa lebar, tapi dia masih sayang sarapan paginya. Kalau dia kurang ajar, bisa-bisa ia tak akan dapat sarapan pagi lagi dari Anto.
"Mas, tau gak? Waktu aku lahir, aku diberi pilihan. Menjadi pemuda manis dan imut atau memiliki memori yang luar biasa."
"Terus kamu pilih apa?" Tanya Anto setelah menyesap teh melati favoritnya.
"Aku tidak ingat." Jawab Jimin lalu tersenyum lebar. Hoseok langsung pasang wajah datar namun di dalam hati mengumpati Jimin. Sementara Seira, giliran dia yang menertawakan Hoseok.
"Aku serius, Jim. Kalo kamu bukan karyawan disini, sudah dari tadi cangkir teh ini melayang ke kepalamu." Hoseok berdecak kesal. Kenapa di hidupnya di kelilingi orang-orang macam Seira dan juga Jimin.
—
—
—
Siang harinya, seorang pembeli datang ke toko bunga Anto. Namun hanya ada Jimin yang kebetulan ada menjaga toko.
"Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?" Jimin tersenyum ramah, menyapa seorang gadis muda yang tengah kebingungan mencari-cari bunga apa yang pas untuk ia bawa ke Rumah Sakit.
"Mbak, butuh bunga untuk mengunjungi teman yang di rawat begitu?" Tanya Jimin halus, gadis itu mengangguk.
"Kira-kira bunga apa ya mas?" Tanya gadis itu, Jimin tersenyum lalu mengambil bunga lily putih, tulip dan juga aster berwarna kuning. Merangkainya sedemikian cantiknya, lalu di berikannya kepada gadis itu.
"Biasanya, orang-orang membeli bunga seperti ini, untuk orang yang sedang sakit." Gadis itu menerimanya, menatap penuh binar buket bunga hasil karangan Jimin.
"Cantik. Oh ya mas, bisa di kasih kartu nama kan ya??" Jimin mengangguk, beralih ke balik meja untuk mengambil sebuah kartu ucapan dan juga pulpen.
"Mau di kasih nama apa mbak?"
"Wendy. Wendy Red Velvet." Jimin mendongak, menatap gadis itu dari atas ke bawah. Jimin jelas tahu, gadis ini bukan Wendy.
"Heheheh, bercanda mas. Kasih aja nama 'Netijen Enamdua'." Jimin mengangguk, lantas menuliskan nama gadis tersebut di kartu ucapan. Setelah selesai, Jimin memberikannya lalu gadis itu pamit setelah membayar.
"Jim, sepertinya kita akan punya tetangga baru." Anto datang dari depan, di tangannya membawa sekantung bibit bunga yang Jimin tak tahu jenisnya apa.
Anto menaruh kantung bibit itu di sudut ruangan toko, lalu berjalan ke depan. Menatapi dua pemuda yang tengah sibuk membereskan barang-barang mereka di seberang toko bunga.
"Mas, itu kan..." Jimin menatap Anto, khawatir. Dan Anto mengangguk patah.
"Namjoon Mahardika..."
Rival Anto di segala urusan, sejak jaman sekolah hingga kuliah. Dan Jimin saksi hidup keduanya.