Vanilla tergugah dari lamunannya atas pertanyaan Jake yang terpaksa diulang dua kali karena tidak ada respon darinya. "Apakah dia kekasihmu?"
"Bukan. Dia hanya sekedar pria yang kukenal saja." Kejujuran Tara membuat keadaan menjadi canggung dan sensitif.
"Maaf, kupikir kalian memiliki hubugan khusus."
"Kebiasaan memakan informasi secara mentah-mentah dan langsung berkesimpulan, itu kurang baik bagi siapapun." Jake menoleh ke arah Vanilla yang sedang menatapnya datar. Dari sisi ini Jake sungguh dapat melihat bagaimana sikap Vanilla mirip sekali dengan Tara. Seperti memang mereka diciptakan dengan jalan pemikiran yang sama.
"Mungkin memang itu kekuranganku. Tapi aku berpendapat sebagai seorang pria, jika laki-laki tadi sedikit..."
"Aku tau, pria itu terlalu percaya diri. Sikap arogannya sudah sulit ditolong." Jake terbatuk. Sepertinya mood wanita itu langsung pecah, dan wajah Vanilla terlalu kaku untuk diajak santai. Jakepun memilih diam.
Kacau. Tara benar-benar ingin menjerit sekarang juga. Bagaimana bisa Morrow langsung muncul di dekatnya tanpa ia sadari? Dan ia belum siap menemui pria itu. Beruntung, jantungnya tidak berdegup kacau seperti sebelumnya. Ia yakin dirinya mulai dapat terkendali, tapi itu kurang untuk pertemuan mereka nanti malam. Membayangkan Morrow berdiri di depan pintu apartemennya sukses membuat wajah Tara menghangat.
Vanilla sama sekali tidak memiliki gaun ataupun baju layak untuk acara formal, dan pakaian-pakaian di dalam lemari milik wanita itu sungguh mengerikan. Terlalu kusam karena sering dicuci. "Dasar wanita bodoh!" Umpat Tara. Bisa-bisanya ia memikirkan pakaian apa yang pantas untuk berkencan dengan Morrow. Mungkin saja pria itu bukan mengajaknya makan malam di sebuah restoran.
"Sepertinya kau memerlukan gaun baru untuk berkencan dengan pacarmu." Jake memukul pelan kepada Vanilla. Sudah semenit yang lalu mereka tiba ditujuan dan Vanilla masih saja berbicara sendiri.
"Dia bukan pacarku! Dan aku tidak memerlukan gaun apapun untuk bertemu pria menjengkelkan seperti dia!" Bentak Tara melampau batas.
"Jika memang begitu yang terjadi. Kuharap kau bersikap profesional dalam pekerjaanmu. Dan turun dari mobilku sekarang juga karena kita sudah sampai." Balas Jake ketus padahal dalam hati ia terbahak melihat ekspresi kaget Vanilla atas tindakannya barusan. Wanita memang manusia unik. Kenapa tidak jujur saja bahwa Vanilla butuh pulang cepat untuk membeli gaun baru serta berdandan. Jake tak keberatan. Ia juga sudah membaca tulisan Vanilla yang dikirim lewat email kemarin malam. Dan hari ini mereka hanya mendiskusikan tentang pola kepenulisan Vanilla yang terbilang kacau tapi tetap mudah dipahami maksud yang ingin disampaikan.
"Maaf atas sikapku. Akhir-akhir ini aku melewati kejadian rumit. Dan kau tau aku sedang mencari alasan saja." Vanilla tampak muak lalu terburu keluar dari mobil.
Ketika jam makan siang, mereka tetap pada pekerjaannya. Jake memesan dua porsi lasagna secara delivery hingga mereka hanya cukup berada di tempat kerja. Jake sangat menyanyangi setiap detik waktunya dalam artian lain, disamping itu dia merupakan pria cekatan. Pantas saja beberapa wanita luluh oleh perhatiannya, tapi tak mengubah sudut pandang Tara kalau Jake masih tetaplah pria menjengkelkan.
"Aku ingat, pacarmu bilang akan menjemputmu jam delapan malam. Akan aku usahakan untuk menyelesaikan pekerjaan kita sore pukul tiga."
"Kau terlalu repot untuk mengingatkan itu." Sumpah! Tara ingin mencekik leher Jack. Pria itu memang sengaja memprovokasinya untuk marah. Namun Tara tidak akan terpancing untuk benar melakukannya.
"Kau bisa bertanya apapun tentang perasaan pria padaku. Karena beberapa kali aku melakukan survey serta membaca artikel membahas bagaimana pola psikologi pria jika berhadapan dengan wanita yang ia incar. Itu bagus bukan?" Jack adalah lulusan jurusan Psikologi. Sayang sekali Tara menganggap Jake benar-benar bodoh dalam bidang tersebut.
"Bersikaplah profesional. Kau mengatakan itu sebelumnya." Balas Tara.
"Kalau itu aku bercanda. Aku jarang sekali bekerja terlalu serius, maka dari itu aku akan sesekali berkencan untuk bersenang-senang ditengah kepadatan pekerjaan."
Kau selalu saja memaksaku menyelesaikan novel tulisanku, padahal kau hanya bersenang-senang! Kita lihat, betapa mengerikannya pembalasanku, gumam Tara sambil tersenyum tipis penuh kelembutan Vanilla.
"Begitukah? Baik aku akan pulang sekarang juga. Dan aku akan meminta Nila untuk menggantikanmu sebagai teman diskusi. Karena bagiku setiap imajinasi, waktu menulis, serta berdiskusi. Semua itu berharga bagiku dan selamat menikmati kencanmu yang selanjutnya."
"Vanilla, kau hanya terlalu emosi saja."
"Tidak. Itulah masalahnya. Kau rekan yang tidak kompeten, aku jadi meragukanmu padahal di awal kau sangat bersemangat." Pergerakan Tara berhenti sejenak saat merapihkan barang bawaannya yang memang sedikit. Tiba-tiba Jack berdiri di hadapan Tara sambil menunjukkan ponselnya, menampilakan artikel lama kurang lebih setikar dua belas tahun yang lalu. "Pacarmu itu apakah benar dia? Seorang mantan narapidana?"