Aku tak menyalahkan takdir
mungkin mereka yang belum siap
untuk melahirkanku ke dunia .
Ontario.
Disebuah ruangan kepala panti asuhan viona duduk merapikan beberapa file data diri adik-adiknya yang akan dipersiapkan untuk para calon orang tua angkat.
Ceklek!
Pintu terbuka.
"Anakku semua sudah selesai?"tanya ibu Maria kepala panti pada Viona.
"Sudah bu." Viona menjawab pertanyaan kepala pantinya yang dianggap sebagai ibunya sendiri dengan lembut.
"Semoga saja adik-adikmu akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik bersama orang tua barunya nanti,"
"Pastii bu, mereka akan sekolah tinggi dan menjadi manusia yang berguna dimasa depan,"sahut Viona senang.
Ibu Maria menatap Viona yang tengah berdiri penuh semangat, delapan belas tahun lalu ibu Maria menemukan seorang bayi yang terbungkus selimut didalam box bayi sedang menangis didepan rumahnya yang kini dijadikan panti asuhan. Bayi itu kini tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang diberi nama Viona Angel seorang gadis periang yang memilih tetap berada dipanti asuhan daripada tinggal bersama dengan orang tua angkat.
Viona sempat membuat ibu Maria dilema ketika banyak para adopter yang memilihnya untuk menjadikannya anak angkat, akan tetapi permintaan mereka ditolak oleh Viona sehingga membuat calon adopter itu marah karena merasa di sepelekan.
"Ibu mikir apa hayoooo, kenapa melihat Anjie seperti itu,"tanya Viona mengagetkan ibu Maria.
"Ibu hanya sedang mengingat betapa cepat waktu berlalu, Anjie ku kini sudah menjadi gadis dewasa."
"Anjie janji tak akan pernah meninggalkan ibu!!!!"
"Akan datang masanya kau harus hidup mandiri anakku,"bisik ibu Maria pelan sambil memeluk Viona penuh kasih sayang.
Anjie adalah nama kesayangan dari ibu Maria untuk Viona , ibu Maria adalah seorang janda tanpa anak. Mantan suaminya adalah seorang dokter yang meninggal ketika sedang bertugas merawat para pasien penyakit menular pada masa itu, akhirnya ibu maria memilih meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang perawat dan mengabdikan hidupnya untuk anak- anak kurang beruntung yang dibuang orang tuanya.
Viona adalah anak pertama yang ibu Maria selamatkan kala itu jadi ikatan keduanya sangat dalam dibanding anak-anak yang lain, Viona pun tetap teguh pada pendiriannya untuk tak meninggalkan panti dimana beberapa saudaranya memilih untuk ikut tinggal bersama para orang tua angkat.
"Ayo nak para calon orang tua angkat adik-adikmu sudah menunggu diruang tamu,"ajak ibu Maria lembut.
"Ok Anjie yang bawa saja bu,"ucap Viona lembut sambil merebut setumpuk file yang akan dibawa oleh ibu Maria.
Ibu Maria tersenyum melihat bakti anak kesayangannya itu dengan langkah beriringan, Viona mengikuti langkah kaki ibu Maria menuju ruang tamu tempat dimana calon orang tua angkat sudah menunggu.
"Maafkan kami kalau membuat bapak ibu menunggu terlalu lama,"ucap ibu maria membuka percakapan.
"Ini data diri mereka tuan nyonya,"imbuh Viona sambil meletakkan file diatas meja.
Para calon orang tua angkat membaca file yang ada diatas meja, mereka nampak serius melihat foto anak-anak panti. Ibu Maria dan Viona tersenyum melihat para tamunya kali ini, mereka berharap akan ada beberapa anak yang diadopsi.
"Saya bisa lihat anak ini? "tanya seorang wanita dengan rambut blonde.
"Saya juga mau lihat anak ini," imbuh seorang wanita yang menggunakan kaca mata hitam.
"Baik mari ikut saya nyonya-nyonya."Viona membimbing para tamunya menuju kamar bermain adik-adiknya dilantai dua.
Saat melihat anak-anak bermain beberapa wanita nampak bersemangat, bahkan ada dua pasang suami istri yang ingin langsung mengadopsi. Akhirnya ada empat orang anak yang teradopsi hari ini, ibu Maria menyiapkan dokumen anak-anak itu sebelum diserahkan pada calon orang tuanya.
"Lisa harus jadi anak baik ya dirumah baru nanti,"ucap Viona lembut ketika sedang merapikan pakaian adiknya.
"Kak Vio kenapa kami harus pergi? Apakah ibu sudah tak suka pada kami karena kami nakal?"
"Kak Vio tolong bicara ke ibu, kita janji tak akan nakal lagi tapi jangan minta kami pergi,"
"Huhuhuhu kak Vio aku tak mau pergiii!!!"
"Samaaa huaaaaaaaa,"
Mendadak suara tangisan anak-anak terdengar dari kamar anak anak dilantai tiga, Viona mencoba menenangkan adik-adiknya dengan lembut.
"Ibu bukannya tak sayang pada kalian adik-adikku, ibu mau kalian bisa sekolah tinggi meraih cita-cita kalian"ucap Viona lembut sambil memeluk adik-adiknya.
"Anne bukannya ingin menjadi polisi kan nanti, lalu Jakson kan juga mau menjadi pilot kan?" imbuh Viona lembut memberikan pertanyaan pada adik-adiknya.
"Tapi kami bisa sekolah disini kakakkkk huaaa."Tangis Anne gadis empat tahun kembali dengan suara yang tak kalah keras dari sebelumnya.
Viona memeluk adik-adiknya untuk menengkan selama tiga puluh menit, ibu Maria hanya mengintip mereka dari balik pintu dengan tersenyum penuh arti. Akhirnya Viona berhasil membawa adik-adiknya kebawah dan diserahkan kepada orang tua angkat mereka dengan tersenyum, ada beberapa anak yang menangis ketika mengetahui saudaranya pergi bersama orang tua barunya, ikatan kekeluargaan di panti asuhan membuat mereka menjadi sangat dekat.
Ibu Maria menghapus air mata yang jatuh di pipinya ketika melihat keempat anaknya pergi bersama orang tua barunya, Viona memeluk ibunya dengan erat dari samping untuk menenangkannya. Tak lama mereka masuk kembali ke panti karena hari sudah mulai malam.
"Ikut ibu sebentar nak,"ucap ibu Maria mengajak Viona naik ke balkon dilantai tiga.
Viona mengekor ibunya dari belakang tanpa curiga sedikitpun.
"Nak kau tahu kan keuangan panti sedang ada masalah, makanya ibu sangat getol mencarikan orang tua angkat untuk kesepuluh anak-anak yang tersisa dipanti ini," ucap ibu maria lirih membuka percakapan.
"Anjie paham maksud ibu, tapi Anjie merasa ibu seperti sedang menyimpan sesuatu dari Anjie,"jawab Viona dengan cepat.
"Baca ini nak "ibu Maria menyerahkan hasil pemeriksaan dari lab pada Viona.
Brug
Viona terjatuh dilantai ketika selesai membaca surat itu.
"Ini bohong kann buuu."Tangis Viona dengan keras.
"Ibu juga berharap ini salah nak, tapi ibu sudah melakukan tes di tiga rumah sakit yang berbeda,"ucap ibu Maria lirih, air matanya membasahi scarf yang dipakainya.
"Besok akan ada calon adopter lagi yang akan datang, ibu harap ketiga adik-adikmu yang tersisa akan mereka bawa," imbuh ibu Maria pelan.
"Hikss hiksss Anjiee tak mau kehilangan ibu,"isak Viona dalam tangisnya.
Ibu Maria memeluk putrinya dengan erat, ibu dan anak yang tak sedarah itu menangis bersama meratapi takdir yang sedang menuntun keperpisahan mereka. Ibu Maria divonis terkena cancer darah stadium empat dan diperkirakan usianya tak sampai dua bulan lagi. Viona sempat merasa curiga saat melihat ibunya semakin kurus tapi sang ibu dengan pandai mengelak setiap pertanyaan yang diberikan padanya.
"Pengacara yang ibu hubungi sudah berhasil menjual rumah ini nak, sebulan kedepan kita harus mengosongkan rumah ini,"ucap ibu Maria lirih dengan suara bergetar.
Viona tak merespon ucapan ibunya dia terlalu berat untuk mengeluarkan suara, tenggorokannya tercekat sehingga membuatnya membisu. Viona hanya ingin memeluk ibunya dengan erat sampai tak ingin melepaskannya.
"Ayo masuk Anjie udara diluar semakin dingin,"bisik ibu Maria pelan mencoba merayu Viona yang masih menangis.
Viona bangkit dari duduknya kemudian berjalan kedalam dengan tetap memeluk ibunya dengan erat, ibu Maria tertidur setelah meminum obat yang diberikan Viona. Viona memegang tangan ibu Maria dengan erat, diciuminya tangan itu dengan berulang-ulang. Tangan penyelamatnya delapan belas tahun yang lalu, seorang wanita yang pantas disebut ibu yang tanpa pamrih mau merawat dan membesarkan anak-anak yang tidak terlahir dari rahimnya sedangkan diluar sana banyak wanita yang dengan tega membunuh anaknya sendiri.
"Anjie akan mencarikan dokter terbaik untuk ibu,"isak Viona lirih dalam tangisnya, airmatanya menganak sungai diwajahnya yang memerah karena menangis.
Viona mencium wajah ibunya yang sudah tertidur dengan lembut, pipi ibu Maria yang nampak lebih tirus dari sebelumnya tak menghilangkan kecantikan alami dari wajahnya.
"Goerge."
Viona menghentikan aktivitas tangannya ketika mendengar suara ibunya menyebut nama suaminya yang sudah meninggal puluhan tahun lalu.
"Ibu rindu pada ayah ya?"tangis Viona meledak kembali.
Viona akhirnya tertidur disamping ibu maria dengan masih memegang erat tangan ibunya dan berharap akan terbangun dari mimpi buruknya hari ini. Keesokan paginya ketiga anak terahir berhasil diadopsi oleh orang tua angkat mereka.
"Selamat jalan anakku,"ucap ibu Maria ketika mengantar ketiga anak terakhirnya ke pintu gerbang, dia melambaikan tangannya dengan lembut.
Viona berdiri disamping ibunya mencoba menahan tubuh ibunya yang sudah makin lemah, tak lama kemudian datang seorang pengacara masuk ke rumah bersama seorang asistennya.
"Ini hasil penjualan rumah ini ibu Maria,"ucap pengacara itu lembut seraya menyerahkan cek dan uang tunai kepada ibu Maria dan Viona.
"Mereka meminta rumah ini dikosongkan paling lama satu minggu dari sekarang ibu Maria," imbuhnya kemudian.
"Baik pak saya mengerti, terima kasih bantuannya pak,"ucap ibu Maria lembut saat menyalami dan mengantarkan tamunya pergi.
Viona merapikan berkas yang diberikan oleh pengacaranya kemudian menuntun ibunya masuk ke kamar untuk kembali istrirahat.
"Nak semua ini untukmu, ibu harap kau bisa melanjutkan hidupmu dengan uang ini,"ucap ibu Maria lemah.
"Ini uang untuk ibu berobat, dimanapun dokternya kita kejar. ibu pasti sembuh,"cicit Viona menahan tangis.
"Tapii uhukkk uhukkkkk ..."
"Ibuuu ibuuuuuuuu" teriak Viona panik ketika melihat ibu Maria memuntahkan banyak darah, Viona dengan cepat memanggil taksi yang ada didepan rumah kemudian segera pergi ke rumah sakit.
"Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuu ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuu."jerit Viona dalam tangisnya ketika melihat ibunya tak berhasil diselamatkan oleh dokter.
Dokter dan perawat menenangkan Viona, kemudian mereka menutup jenasah ibu Maria dengan kain putih untuk segera di semayamkan.
Dengan langkah tertatih Viona berjalan mendekati makam ibunya yang sudah sepi dari para peziarah, Viona menjatuhkan kakinya ditanah keras untuk memeluk makam ibunya. Suara Viona sudah habis setelah menangis selama dua hari meratapi kepergian ibunya, banyak orang yang datang menguatkan Viona.
"Anjie harus kemana bu? Anjie hanya punya ibu huhuuhu,"tangis Viona terbata, dipelukannya terdapat figura foto ibunya tersenyum dengan cantik.
Perlahan Viona meletakkan foto ibunya di batu nisan, Viona menatap makam disebelah pusara ibunya. Terpampang foto seorang lelaki muda memakai tuxedo hitam menggunakan jas putih khas dokter tertulis nama GEORGE ROBERT HORRISON dinisannya, di batu nisan ibunya tertulis nama MARIA JESICCA HORRISON.
"Ayah jaga ibu baik baik disana, walau aku tak mengenalmu secara langsung tapi ibu sudah banyak menceritakan tentangmu padaku,"ucap Viona lirih didepan nisan kedua orang tua angkatnya, karena hari sudah malam Viona akhirnya meninggalkan pusara kedua orang tuanya dengan separuh jiwanya yang sudah hilang.
Keesokan harinya Viona merapikan beberapa barang tersisa milik ibunya dikamar untuk dimasukan ke koper terahir, mata Viona menatap sendu ke ruangan tempat biasanya ia dan sang ibu berbagi keluh kesah bersama selama delapan belas tahun ini.
Kaki Viona terhenti didepan rumah yang tertulis " Panti Asuhan Cahaya " air matanya mengalir menatap tulisan itu yang sedang diturunkan oleh beberapa orang petugas untuk dimasukkan ke mobil yang disewa viona untuk pindah ke sebuah apartemen kecil di kota, rumah milik ibunya yang diubah menjadi panti asuhan sebentar lagi akan dirubuhkan dan diubah menjadi sebuah pub oleh pemilik barunya. Viona memegang erat surat surat penting milik ibunya kemudian berjalan kemobil untuk karena harus segera meninggalkan rumah itu.
"Akan kunyalakan cahaya ditempat lain ibu, itu janjiku,"ucap Viona lirih saat menatap rumah itu terahir kalinya.
Bersambung.