Angga Abimana
Berdiri di depan sebuah pintu yang akan membawaku pada masa depan. Saat ini di dalam sana masih sebuah pertanyaan. Berat rasanya kaki ini untuk melanjutkan langkah, pemilik kaki sama sekali tak memiliki keberanian untuk menapaki serta menghadapi.
"Mas, ayo."
Mira menyadari bahwa aku tak lagi berada di sampingnya, ia kembali menjemputku lalu membawaku masuk untuk memastikan apa yang berada di sana, sebuah masa depan atau hanya akan menjadi kenangan.
Aku datang menghadapi ini tanpa di dampingi malaikat kecilku, Syafina. Obrolan pada malam itu menghasilkan sebuah keputusan bahwa kami sepakat untuk menitipkannya pada Ibu, khawatir dengan keputusan yang tak sesuai harapan. Aku dan Mira pun tak berangkat bersama, kami membawa kendaraan masing-masing. Seandainya kita tak sanggup menerima kenyataan, maka Mira akan berada di rumah orang tuanya untuk sementara.
Jawaban tengah duduk di sana, menungguku dengan tatapan yang membuat keyakinan semakin luntur. Pria berwibawa yang pernah mendidik ke dua putrinya menjadi sukses hingga seperti saat ini. Sangat wajar ia khawatir dan selektif dalam memberi restu untuk masa depan putri bungsunya.
Aku dipersilahkan duduk. AC di rumah itu begitu dingin, berbanding terbalik dengan suhu tubuhku yang terasa panas, keringat bercucuran, menempel pada kemeja hitam yang saat ini ku kenakan.
"Kamu sudah siap?"
Papa Mira memulai pembicaraan, suasana semakin menegang. Aku tak berani memberi jawaban apalagi untuk membalas tatapan. Aku tahu ini tak sopan, tapi aku tak berdaya, saat ini aku merasa seperti pecundang.
Almiera Shofia Prameswary
Sampai di depan rumah, untuk sesaat aku tak langsung keluar dari mobil. Beberapa kali ku hirup nafas dalam lalu membuangnya secara perlahan. Cara ini cukup ampuh untuk membuat ketakutanku berkurang. Aku tak menyadari Angga telah berdiri di samping mobil menungguku keluar.
Aku keluar dengan rasa lebih lega, seulas senyum Ku edarkan untuk menutupi rasa takut. Dapat sekilas ku lihat, ia merasa tegang. Ia yang biasanya selalu tersenyum dan tak banyak bicara, kali ini begitu dingin.
"Mas, ayo."
Ia berhenti sejenak di depan pintu. Wajahnya masih tetap seperti itu.
"Mbak."
Sampai di dalam rumah, aku di sambut oleh kakak perempuan serta suaminya, Mama juga berada di sana. Sedangkan Angga, ia telah di tunggu oleh Papa di ruang tamu. Aku memeluk Mama dan Kakakku bergantian. Mereka memberiku semangat agar siap menerima keputusan. Aku bersama mereka menunggu di ruang keluarga. Dari tempat ini, suara Papa serta Angga sedikit terdengar, namun sejak tadi Angga tak sedikipun bicara.
Angga Abimana
"Setelah saya berpikir dan mempertimbangkan semuanya, saya kira kamu belum bisa."
Harapanku runtuh seketika. Aku tak berani membantah ataupun berucap walau beberapa patah kata. Kalau semua itu yang terbaik, aku akan berusaha tegar menerima. Yang ada dalam benakku saat ini justru Syafina, bagaimana aku akan menjelaskan padanya kalau harapannya memiliki bunda kini telah sirna.
Tak ada lagi kata dari orang tua Mira, sepertinya ia memberiku masa untuk berduka. Aku berusaha menengadahkan kepala, lalu tersenyum semampu yang ku bisa.
"Gak apa-apa, Om, aku ngerti, terima kasih buat kesempatannya."
Papa Mira tersenyum, sepertinya ia lega melihatku ikhlas melepas Mira, yang pada akhirnya memang mustahil untuk ku miliki.
"Maaf, saya tidak bisa memberimu kesempatan lebih dari ini."
Papa Mira mencoba menghibur, namun justru kata-katanya membuatku merasa lemah.
Almiera Shofia Prameswary
Deg, aku tak kuasa mendengar apa yang Papa katakan pada Angga. Aku mulai menutupi wajah dengan ke dua telapak tangan, berusaha menahan rasa sedih tak menerima kenyataan bahwa semua harus berakhir sampai di sini, padahal rasa yang ada dalam dada tengah semakin tak terkendali, namun air mata itu tetap bisa keluar melewati celah hingga jatuh bersama semua harapannya. Mama memelukku, begitu juga dengan Kakak, seakan merasakan kesedihanku, merekapun berderai air mata.
"Sabar nak, mungkin Papa punya pertimbangan tentang hubungan kalian."
Mama berusaha memberiku kekuatan untuk tabah menjalani semuanya, namun kali ini aku benar-benar tak sanggup, rasa serta keyakinanku padanya sudah terlalu dalam, terlebih bagi Syafina. Aku tak sanggup membayangkan gadis sekecil itu harus bisa menerima kenyataan bahwa ia tak lagi bisa memanggilku bunda. Mengingat kenangan indah bersamanya semakin membuatku terluka. Aku menangis dalam pelukan Mama, ku tumpahkan semua air mataku di sana.
Aku terpekik, ketika samar terdengar oleh ku bahwa Papa berbicara pada Angga lagi, bahkan ia sampai tak mengizinkan Angga untuk pergi.
"Aku mohon Pa, cukup, biarin Angga pergi," ucapku dalam hati.
Tak sanggup lagi untuk membiarkan Angga berada di sana seorang diri, aku bermaksud pergi untuk memohon pada Papa untuk membiarkan Angga pergi menyudahi semuanya, biarlah kami tak bersama asal jangan membuatnya tersiksa lebih dari ini, tapi Mama menarikku, ia tak mengizinkan.
"Ma."
Aku merajuk serta tak bisa menahan tangisku lagi.
"Jangan."
Namun Mama melarangku dengan lembut serta mengembalikanku dalam pelukannya.
Angga Abimana
Aku berdiri, bermaksud untuk segera pergi. Aku yakin takkan sanggup bertahan lebih lama lagi dalam kondisi seperti ini.
"Saya pamit, Om."
Mungkin untuk terakhir kalinya, aku memberikan salam sopan sebagai tanda perpisahan.
"Loh, mau kemana? Saya belum selesai ngomong, duduk!"
Tapi rupanya ia tak memberi izin. Entah apa lagi yang ingin dikatakannya. Aku duduk kembali untuk mendengar sesuatu yang mungkin lebih menyakitkan lagi.
"Kamu tau alasan saya tak memberimu kesempatan lagi?"
Kali ini, nada bicaranya berbeda. Senyum ramah sebelumnya telah hilang berganti amarah tertahan. Mungkin sikapku sebelumnya telah membuatnya tersinggung.
Aku hanya bisa menggeleng menjawab pertanyaannya, tak mau memperpanjang lagi masalah.
"Apa kamu ikhlas?"
Seperti tadi, aku pun hanya mengangguk menjawabnya. Tapi rupanya aku salah memberi jawaban.
"Jawab!"
Deg, emosiku mulai terpancing, namun tetap sebisa mungkin menahannya.
"Saya ikhlas om, saya memang menyayangi Mira, tapi... Saya gak akan membuat Mira durhaka pada orang tuanya."
Ia nampak tersenyum, bahkan mungkin hampir tertawa. Entah apa yang ada dalam pikirannya sehingga merasa kata-kataku terkesan konyol.
"Ternyata memang benar, kamu memang gak pantes buat dapet kesempatan lebih."
Senyumnya semakin lebar, semakin membuatku merasa jengah berada di tempat ini.
"Saya sadar, Om. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih."
Kali ini, ia benar-benar tertawa dengan apa yang baru saja ku ucapkan. Darahku mulai bergejolak menahan iblis yang sejak tadi selalu menggoda untuk mulai membenci.
"Waktumu cuma satu bulan, tidak lebih dan tidak kurang."
Ia kembali serius, yang justru malah membuatku bingung.
"Maksudnya?"
Aku mencoba memastikan apa yang diucapkan olehnya.
"Ya, kamu harus mempersiapkan pernikahan kalian dalam waktu satu bulan."
Apa ini? Aku benar-benar tak mengerti dengan pembicaraan yang kami bahas sejak awal.
"Jelas kan kata-kata saya? Inget, cuma satu bulan, jangan membuat Mira menunggu."
Papa Mira pergi dengan tersenyum meninggalkanku yang masih tak bereaksi. Terdengar langkah cepat setengah berlari, suaranya semakin keras menghampiri. Ternyata, Mira serta keluarganya mendengarkan pembicaraan kami. Aku berdiri menyambutnya, Mira memelukku tanpa ragu di depan keluarganya yang menyaksikan dari jauh.
Ada rasa lega di sana. Lega dengan kasih sayang yang akhirnya akan bisa ia dapatkan, kasih sayang yang selama ini ia butuhkan.
Mama Mira menghampiri, membuat kami menyudahi semua rasa yang hari ini menjadi satu.
"Sudah, sekarang kita ke ruang makan. Papa udah nunggu kalian."
Kami berjalan mengikutinya. Di sana, Kakak peremuan Mira beserta suaminya dan juga Papa menatap kami dengan tersenyum, sepertinya sambutan pada calon keluarga baru.
"Yuk, duduk. Siang ini Mama sengaja masak banyak buat kalian, buat ngerayain Mira yang akhirnya sebentar lagi jadi seorang istri."
Ku lihat, Mira sedikit kaget oleh ucapan Mamanya.
"Istri? Loh, jadi Mama sama Mbak udah tahu kalau Papa... "
Mereka serempak tertawa, sedangkan Mira terlihat cemberut manja.
"Lucu deh Dek ngeliat muka kamu tadi, sayang aja Mbak gak ngevideoin."
Di tengah hangatnya keluarga, Mira menunjukkan sisi kekanak-kanakannya yang membuat suasana kembali hangat. Acara makan siang di mulai, ceria seraya membahas topik-topik sederhana.
"Oh ya, kalian sudah punya konsep pernikahan nanti?"
Mira terbatuk, makanan yang dikunyahnya belum sempat tertelan. Aku mengambilkan gelas berisi air putih untuknya.
"Papa, kan restunya juga baru dapet tadi."
Mira ingin membantah, atau mungkin mendapat keringanan, tapi keputusan sudah bulat, tak ada negosiasi lagi. Namun mereka hanya memberikan kemudahan biaya, agar kami fokus untuk mengurus semuanya.
"Pokoknya satu bulan, masalah biaya, kalian gak perlu mikirin, biar semua Papa yang urus."
Mira menatapku. Aku mengerti maksudnya, ia meminta persetujuan atau kesiapan. Aku mengangguk, siap dengan semuanya.
Aku pulang tanpa membawa motor kesayangan, Papa Mira menyuruhku untuk meninggalkannya di sana, tapi tentunya bukan sebagai jaminan. Papa Mira menyuruhku untuk membawa mobil Mira, dan selama kami mengurus persiapan, mobil itu akan menjadi kendaraan yang menemani. Mira menyetujui usul Papanya dengan syarat aku harus mengantar jemputnya selama bekerja. Beruntung sebelumnya aku pernah memiliki mobil, sebelum akhirnya ku jual untuk membeli rumah yang membawaku pada rumah tangga baru. Sepertinya memang akan melelahkan, tapi aku menganggap ini bagian dari perjuangan. Menjadi suami pun akan jauh lebih berat dari ini, karena harus memastikan keluarganya bahagia.
Sebelum pulang, kami menyempatkan diri untuk menjemputnya sesuai janji. Tak sabar rasanya memberitahu kabar gembira ini.
Sampai di rumah Ibu, Mira mengetuk pintu, tak lama pintu itu pun terbuka.
"Bunda."
Syafina langsung memeluk Mira, begitu juga sebaliknya. Aku menyalami ibu lebih dulu.
"Jadi Bunda aja nih yang di peluk? Ayah udah dilupain?"
Syafina langsung berpindah gendongan padaku. Ibu menyuruh kami masuk dan duduk, ia tak sabar ingin mendengar berita baik dari kami. Ibu sebelumnya telah tahu lebih dulu tentang rencana hubungan kami, bahkan kami telah lebih dulu meminta restu darinya. Walau bagaimanapun, ibu adalah salah satu keluarga dari Syafina.
"Aku akan jadi bundanya Syafina, Bu, aku minta izin sama Ibu."
Ibu terlihat senang mendengar kabar baik dari Mira. Dengan senang hati ia mengizinkan karena sebelumnya pun telah memberi restu, bahkan waktu pertama ia melihat hubungan Mira dan Syafina, ia merasa bahwa mereka telah memiliki ikatan batin antara ibu dan anak.
"Ibu mengizinkan sayang, Ibu berharap kamu bisa menyayangi Syafina sepenuhnya."
Sebelum pulang, Ibu meminta kami untuk mengunjungi makan mendiang Viona. Kami pun menyetujuinya, bahkan tanpa Ibu minta pun, Mira berencana pergi ke sana.
Di depan makam Viona, Mira bersimpuh.
"Vi, aku dan kamu memang gak pernah saling kenal atau sekadar tahu, tapi aku di sini pengin minta izin sama kamu. Tolong izinin aku buat jadi ibu bagi Syafina, izinin aku buat sayang sama dia sama kayak kamu sayang sama dia dan yang terakhir aku berharap bisa menjaganya sampai mengorbankan semuanya, sama kayak kamu yang juga rela mengorbankan semuanya."
Mira menangis, entah apa yang ia rasakan. Syafina yang berada di sampingnya mulai memeluk Mira dengan lembut, ia mengerti bahwa saat ini Mira sedang bersedih.
Aku masih terdiam di belakang mereka, tak sedikitpun bicara, walau dalam hati aku pun meminta restu padanya.
Selesai dari peristirahatan terakhir Viona, kami langsung pulang.
"Bunda, terimakasih udah mau jadi bundaku" ucap Syafina lirih.
Mira mencium kening Syafina yang berada dalam dekapannya dengan lembut. Kini ia bisa lebih leluasa untuk meresapi perannya sebagai calon ibu.
Sampai di rumah, suasana hati harus kembali berubah melihat seseorang tengah berdiri di sana.