Aku merenung sejenak, rasa ragu mulai muncul, menyerang dengan begitu banyak pertanyaan. Di hadapan cermin wajah serta bayangan masa lalu muncul, khawatir tentang takdir yang belum terjadi, takdir yang takkan pernah sama antara jalan kehidupan Viona dan Mira.
"Mas, kok ngelamun?"
Tak ku sadari Mira telah berdiri di ambang pintu, sesaat memperhatikan rasa ragu yang bisa tergambar di wajahku.
"Gak ko, ini cuma lagi... "
Tanpa canggung, Mira mendekapku. Ia memberi semangat agar aku kembali percaya diri.
"Aku tahu apa yang kamu rasain, tapi... Terimakasih udah mau berusaha buat aku."
"Aku perjuangin kamu bukan cuma buat kita, tapi juga semuanya termasuk buat sesuatu yang belum terjadi, walau terkadang tanpa terlihat rasa ceria tapi itu tetaplah bagian dari rasa bahagia."
Pelukan Mira semakin erat lalu seketika mengendur bersama suara lembut yang datang memanggilnya.
"Bunda."
Giliran Syafina yang kini telah berdiri di ambang pintu, wajahnya begitu ceria melihat ayah dan calon ibunya bahagia, setidaknya seperti itulah yang mungkin gadis seusianya pikirkan. Ia belum mengerti bahwa beban mental untuk berkeluarga kembali cukup memberi tekanan bagi ayahnya.
Syafina berlari, melihat tangan Mira yang masih melingkar di pinggangku, ia pun memeluk Mira, namun sayangnya hanya sanggup menjangkau bagian paha saja.
"Eh, sayang mau Bunda peluk juga?"
Mendengar pertanyaan Mira untuk Syafina, aku masih belum terbiasa dengan kata-kata itu. Berbeda dengan Syafina, baginya Mira adalah kebahagiaan yang dulu pernah hilang.
Aku tertawa, walau hanya sebagai hiasan di wajah saja. Biarlah itu menjadi topeng atau obat agar mereka berdua tak ikut mennggung rasa khawatir yang saat ini sedang ku rasa.
"Udah siap semua kan? Berangkat yuk? Nanti kalau gak berangkat sekarang bisa-bisa telat loh."
Aku mengingatkan mereka tentang janji hari ini, aku tak mau kesan pertamaku bertemu orang tua Mira tak berjalan baik.
Hari ini Mira sengaja mengambil cuti selama satu hari untuk mempersiapkan diri, padahal jadwal berangkat ialah waktu sore hari dan mungkin akan pulang hingga malam menjelang.
Seperti yang sudah ku katakan sebelumnya, aku mengajak Mira berangkat hanya menggunakan motor besar milikku, aku tak mau berpura-pura menjadi apa atau siapa untuk bertemu mereka, aku lebih memilih menjadi diri sendiri dan tampil apa adanya, biarlah mereka yang memutuskan masa depanku dengan Mira, aku percayakan semua pada apa yang akan mereka putuskan.
Setelah beberapa lama dalam perjalanan, akhirnya kami tiba di depan rumah orang tua Mira, tak disangka ternyata Mira berasal dari keluarga berada, berbeda sekali dengan sikap Mira yang mandiri dan lebih sering tampil apa adanya tak mencerminkan keturunan dari orang berada. Halaman rumah mereka begitu luas dan bahkan garasinya sanggup menampung beberapa mobil, itu jelas terlihat dari beberapa mobil yang terparkir di sana.
Mira turun dari motor dengan serta menggendong Syafina. Aku tak langsung turun mengikuti mereka yang langsung berjalan menuju pintu utama rumah kedua orang tuanya. Menyadari aku yang belum memarkirkan bahkan turun dari motor, Mira menoleh lalu memanggil, namun sayangnya aku tak mendengar panggilannya karena terganggu dengan kenyataan bahwa ternyata Mira berasal dari keluarga berada. Namun aku juga merasa sangat bodoh, selama kenal dengan Mira aku tak pernah sekalipun menanyakan atau mengobrol tentang asal-usul keluarganya, itu karena aku tak terlalu mau ikut campur dengan urusan pribadi masing-masing, dan waktu itu pun hubungan kami belum memiliki komitmen seperti saat ini.
Mira harus rela berjalan kembali untuk menghampiriku yang masih tak menyahut atau menghampirinya.
"Mas, kamu kenapa?"
Aku sedikit menghela nafas, berusaha menutupi rasa tegang serta khawatir dengan sebuah senyuman.
"Gak apa-apa ko, cuma agak kaget aja."
Aku turun dari motor, sedikit merapikan diri lalu berjalan mengikuti Mira yang telah berjalan lebih dulu seraya menggandeng Syafina.
Mira memencet bel dan tak berapa lama, muncul seorang wanita yang mungkin saja seusia ibu dari Viona, menyambut senang Mira lalu tergambar ekspresi kaget serta heran melihat kehadiran aku dan Syafina.
"Kenalin Ma, ini calon yang aku ceritain waktu itu dan ini anaknya."
Rasa kaget itu semakin bertambah manakala Mira memberitahukan bahwa anak kecil yang ikut bersamanya adalah anak dari orang yang ia sebut sebagai calon suami.
"Sayang, kenalin, ini Mamanya Bunda."
Mira memperkenalkan Syafina pada Mamanya, namun tak ku sangka, ekspresi Mamanya saat ini berbeda setelah Syafina mengulurkan tangan lalu mencium tangan Mamanya Mira.
"Halo sayang."
Aku lebih tak menyangka lagi setelah bersalaman tadi, Syafina langsung di gendong lalu di bawa masuk oleh Mama Mira. Aku yang masih bengong dengan semua kenyataan yang terjadi saat ini langsung di tarik oleh Mira untuk masuk dan menemui ayahnya.
"Kalian langsung ketemu Papa ya, biar Syafina sama Mama. Kamu mau kan sayang main sama... Omah?"
Mama dari Mira menyuruh kami langsung menemui Papanya yang telah menunggu di ruang tamu. Sementara Syafina langsung dibawanya menuju ruangan belakang setelah Syafina mengangguk mau untuk di ajak bermain bersama Mama Mira.
Aku kembali berjalan mengikuti Mira menuju ke ruang tamu rumahnya yang memang besar. Mira dengan penuh percaya diri melangkahkan kaki, sampai pada akhirnya ia harus tertegun ketika sampai pada pintu penghubung tanpa daun pintu antara ruang tamu serta ruang keluarga.
"Kenapa?"
Mira tak menjawab, ia malah memilih memalingkan wajah untuk menatapku dengan tatapan yang belum ku mengerti. Papa Mira menyambutnya dengan hangat serta menyuruh Mira dan aku untuk bergabung bersama mereka.
Ya, mereka, karena kini aku sadar dan mengerti kenapa Mira tertegun lalu menatapku untuk sesaat, ternyata di sana ada seseorang yang lebih dulu bertamu, baru terlihat olehku karena sebelum melewati pintu penghubung aku hanya melihat Papa Mira duduk seorang diri di sisi yang terlihat, sementara di sisi lainnya ternyata sudah ada dia.
Mira menghampiri mereka dengan ekspresi tak terlihat senang walaupun ia berusaha untuk tetap tersenyum, sedangkan aku berusaha tetap tersenyum menyembunyikan rasa kecewa namun mencoba untuk tetap berlapang dada menghadapinya walau sebenarnya rasa panas ditubuhku mulai meninggi seiring rasa cemburu yang mulai bergejolak.
Mira langsung bersalaman dengan Papanya, tanpa mempedulikan Dudi yang berdiri untuk menyambutnya. Aku lebih dulu menyalami Dudi baru kemudian menyalami Papa Mira.
"Silahkan duduk."
Papah Mira ternyata menerima kehadiranku, tak menyeramkan seperti apa yang telah ku bayangkan, senyum ramah tak pernah lepas dari wajahnya. Aku duduk berseberangan dengan Dudi, sementara Mira duduk bersanding di samping Papanya.
"Kita langsung saja ya."
Papa Mira langsung akan membicarakan apa yang akan menjadi pembicaraan penting kali ini.
"Tapi sebelum itu, saya pengen tahu sekilas tentang masa lalu, kegiatan sekarang, terus apa yang akan kamu berikan pada Mira kalau kamu jadi suaminya?"
Pertanyaan dari Papa Mira langsung menuju ke inti masalah yang dibicarakan tanpa sedikitpun memberi jeda walau hanya untuk sekadar berbasa-basi, tapi aku telah siap dengan apapun resikonya. Hanya bermodalkan kejujuran, aku menceritakan kehidupanku sejak aku kecil hingga sampai seperti saat ini, tak ada rekayasa untuk mendramatisir kehidupan menyedihkan yang memang sulit agar mendapat secuil belas kasihan, semua itu takkan pernah ku lakukan demi masa depan yang penuh dengan kejujuran. Mereka bertiga mendengar ceritaku dengan ekspresi berbeda. Dudi jelas tak peduli, Papa Mira mendengarkan dengan serius, sedangkan Mira terlihat beberapa kali harus menahan rasa sedih. Aku tak pernah menceritakan hidupku pada siapapun, mungkin yang tahu semua tentang masa kelamku hanya Viona serta Ibu.
"Apa kamu sendiri yang merawat anakmu sampai saat ini?"
"Enggak Om, selama kurang lebih satu tahun sampai Syafina bisa berjalan, ibu bantu saya buat merawatnya, baru setelah itu aku pindah rumah."
Aku kembali menceritakan dari awal tentang pernikahanku sebelumnya yang harus terpisah oleh takdir hingga bercerita tentang bagaimana aku menjaga serta merawat buah hati seorang diri, bahkan aku pun menceritakan awal mula aku bertemu dengan Mira dan awal mula aku mulai menyayanginya namun tak berani mengungkapkan sehingga semua ku simpan sendiri. Mira tak menyangka bahwa aku telah menyayanginya dari sebelum hubungan kita akrab, sebagai teman.
"Lalu, bagaimana caranya kamu akan menjaga anak saya kalau kalian menikah?"
Aku terdiam sejenak untuk merangkai kalimat agar bisa lebih enak untuk didengar serta memahami apa yang akan ku katakan.
"Saya gak pernah punya apa-apa untuk bisa menjaminnya, saya cuma akan bertanggung jawab mengisi semua kekurangan serta melengkapi hari-harinya sebagai keluarga dengan cara bekerja keras, karena saya sadar saya tak memiliki sesuatu yang berharga selain itu, namun yang bisa saya janjikan, saya gak akan membiarin satu tetes tangispun keluar dari mata indahnya."
Mendengar jawaban terakhirku, Papa Mira tak berkomentar, ia terdiam untuk sejenak. Sekilas ku lihat, tangan Mira mengggenggam erat tangan Papanya sendiri entah dengan maksud dan tujuan apa.
"Ya sudah, untuk saat ini saya tak bisa memutuskan apa-apa, satu minggu ke depan kalian harus kembali ke sini lagi."
Setelah itu, Papa Mira mengajak kami semua untuk makan malam bersama yang telah disiapkan di atas meja makan, namun sebelum itu, Papa Mira terlihat berbicara berdua dengan Dudi masih di ruangan yang sama ketika aku dan Mira berjalan menuju dapur, entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi sepertinya begitu penting karena dapat terlihat dari ekspresi wajahnya yang begitu serius.
Aku dan Mira duduk lebih dulu, kami duduk bersebelahan. Mama Mira datang dengan masih menggendong Syafina, lalu duduk berseberangan.
"Kamu duduk d sini ya, makannya sama Oma."
Entah itu hanya perasaanku saja atau memang Mama Mira menyukai Syafina, beruntung Syafina hanya menurut saja dan tak sedikitpun berani membantah.
"Anak siapa ini? Kok cantik?"
Papa Mira baru datang bersama dengan Dudi, pembicaraan mereka sepertinya cukup panjang sehingga cukup memakan waktu. Syafina hanya tersenyum menanggapi.
Makan malam tak bisa begitu di nikmati, Papa dan Mama Mira lebih senang mengobrol serta menggoda Syafina, sementara aku, Mira dan Dudi tak terlalu banyak bicara. Dudi duduk tepat di sebelah Mira, namun Mira seperti tak menganggapi, bahkan ketika mengambil makanan, Mira hanya mengambilkan untukku saja.
Selesai makan, Aku dan Mira beserta Syafina langsung pamit, sebenarnya Mama Mira menyuruh kami untuk menginap, tapi kewajiban Mira memaksanya untuk tetap pulang.
"Ya sudah, kalian hati-hati di jalan."
Dinginnya malam membuat perjalanan pulang tak secepat waktu berangkat, terlebih Mira tak menggunakan jaket tebal. Di tengah perjalanan aku menghentikan laju kendaraan.
"Kamu pakai jaket aku ya, dingin."
Aku melepaskan jaket yang ku kenakan lalu ku berikan pada Mira.
"Loh, mas, nanti kamu kedinginan."
Mira menolak, tapi aku tetap memaksanya untuk mengenakan jaketku dengan alasan demi Syafina, Mira tak bisa menolak lagi, ia terpaksa menerimanya.
Sesampainya di rumah, Mira tak langsung pulang ke rumahnya. Mira menggendong Syafina yang tertidur sejak dalam perjalanan, ia langsung membawanya masuk serta membaringkannya di kamar, setelah itu Mira langsung menuju ke dapur berinisiatif membuatkanku minuman hangat, namun kali ini sedikit berbeda, Mira membuat dua cangkir teh susu hangat untuk menghangatkan tubuh kami yang kedinginan di terpa angin malam.
"Terimakasih."
Mira duduk menyandarkan kepalanya pada pundakku, tangannya menggenggam erat tanganku hingga tatapan kami saling bertemu. Aku tersenyum sayu mendapati hasil tak sesuai harapan.
"Kita akan tetep bisa bersama."
Mira begitu optimis dengan usahaku tadi, tapi aku tetap tak merasa percaya diri.
Dalam suasana sepi, kami tak saling bicara, Mira lekat menatapku dan aku tak berani balas menatapnya hingga sesaat kemudian wajah kami semakin mendekat dan kembali melakukan dosa yang sama.