Almira Shofia Prameswary
Aku telah selesai bersiap-siap dan menunggu Andrew datang menjemput, walaupun sebenarnya aku tak terlalu ingin pergi bersamanya, tapi sejak hubunganku dengan Angga semakin berjarak dan tak tentu arah, mulai saat itu aku lebih dekat dengan Andrew dan mungkin juga aku lebih merasa nyaman dengannya.
Dua minggu bukanlah waktu yang lama, setidaknya untuk menjalani kewajiban atau sesuatu yang biasa yang bersifat rutinitas sehari-hari, tapi bagiku saat ini, dua minggu itu waktu yang terlalu lama untuk tak saling bertegur sapa, bahkan dia seperti menjauhiku padahal aku lah yang terluka, dan luka itu semakin menjadi ketika hari sebelumnya Ana bertamu ke rumahnya dan Angga begitu menyambutnya dengan senyum yang sepertinya begitu tulus menerima kehadirannya.
Hubungan yang mereka jalani sepertinya sudah terjalin cukup jauh, Angga dan Ana pun telah berpengalaman dalam urusan rumah tangga yang menjadikan mereka bisa lebih memahami satu sama lain, mungkin mereka memang cocok dan kalau mereka memang berjodoh, aku bisa apa?
Bunyi klakson mobil dari Andrew membuyarkan lamunan, untuk sesaat aku kembali bercermin untuk sekedar memeriksa penmampilanku agar tak ada yang kurang, setelah yakin bahwa semuanya telah sempurna aku siap. Sebenarnya tak biasanya Andrew ketika mengajakku pergi memintaku berpakaian ini dan itu, aku lebih bebas untuk menentukan pilihan, tapi kali ini dia begitu memintaku untuk memakai pakaian yang anggun, entah apa maksudnya tapi aku tak keberatan sesekali menuruti permintaannya.
Andrew telah menunggu ku di samping mobilnya, dan ketika melihatku keluar dari rumah dia langsung membukakan pintu untukku.
"Silahkan tuan putri."
Hari ini ada yang berbeda dari Andrew, dia tampak begitu berlebihan memperlakukanku, tapi sebagai seorang wanita ketika mendapatkan perlakuan istimewa seperti ini pasti akan merasa tersanjung.
"Makasih."
Setelah memastikan aku telah merasa aman dan nyaman, Andrew bergegas masuk lalu mobilpun melaju. Dalam perjalanan, Andrew tak henti-hentinya memujiku membuatku sedikit merasa risih karena menurutku semua yang dilakukannya saat ini sudah berlebihan.
"En, sebenernya kita mau kemana sih?"
Aku mengalihkan ucapannya yang dari tadi hanya menunjukkan sifat gombalnya.
"Mmmhhh, nanti juga kamu tau."
Andrew tak memberitahuku tentang tujuannya kali ini, sepertinya dia ingin memberikan kejutan untukku.
Dan akhirnya kami tiba di depan sebuah rumah besar nan mewah, yang ternyata adalah rumah dari orang tua Andrew.
"En, ini rumah siapa?"
"Ko kamu ngajak aku ke rumah? Emang kita mau ngapain?"
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Andrew menjelaskan apa yang menjadi tujuannya.
"Jadi gini, aku mau ngenalin kamu sama orang tuaku, sekarang kan lagi ada acara keluarga, jadi kayaknya ini momen yang pas."
"Emang dalam rangka apa?"
Kembali, Andrew tak menjawab pertanyaanku lagi, ia turun dari mobil lalu membukakan pintu untukku.
Aku berdiri menatap rumah megah di hadapanku sebelum akhirnya Andrew menggandengku masuk ke dalam rumah megah itu.
Di dalam rumah keluarga besar Andrew ternyata meraka telah berkumpul, keluarga, kerabat, sahabat dan mungkin rekan kerja dari keluarga itu, aku mulai merasa canggung untuk mendekati mereka, tapi Andrew memaksaku untuk di kenalkan, terutama pada keluarganya.
"Pah, Mah, kenalin ini perempuan yang aku bilang kemarin."
Kedua orang tua Andrew sekilas memperhatikanku lalu tersenyum. Sebagai orang yang tau tata krama, aku pun menyalami mereka untuk memperkenalkan diri.
Andrew sesaat di ajak pergi oleh ayahnya untuk mengobrol, aku di tinggal bertiga dengan ibu dan satu orang perempuan muda yang ternyata adalah adik kandung Andrew.
"Kak, kenalin, aku Fransisca, panggil aja Sisca."
Sapa perempuan muda itu mengajakku berkenalan seraya mengulurkan tangan, aku menyambut uluran tangannya.
"Makasih ya, kak, udah mau datang ke pesta ulang tahunku."
Ucapnya lagi yang membuatku tau bahwa yang aku datangi adalah pesta ulang tahun dari Sisca.
"Jadi ini pesta ulang tahun kamu?"
Sisca tersenyum, namun aku sebaliknya. Bagaimana tidak, aku datang pada pesta yang tak tau tentang pesta itu untuk merayakan apa, dan setelah tau, aku malah merasa bersalah karena datang tak membawa apa-apa.
"Maaf ya, aku gak tau kalau ini pesta ulang tahun kamu, jadi aku gak bisa bawa apa-apa."
"Iya kak, gak apa-apa, aku ngerti ko."
Sisca memaklumi, dia sepertinya tau sesuatu tengangku dari Andrew. Dari yang ku lihat, Sisca adalah orang yang berpendidikan, sama seperti kakaknya, namun gelar pendidikan mereka masih berbanding lurus dengan adab yang mereka perlihatkan, ke dua orang tua Andrew mendidik putra dan putrinya dengan baik sehingga mereka bisa menjadi pribadi yang terhormat.
Waktu acara sepertinya telah tiba, salah satu dari mereka yang bertindak sebagai MC mulai memberikan arahan pada tamu undangan yang hadir.
Andrew telah berada di sisiku kembali dan kami berada dalam satu meja keluarga besarnya.
Acara demi acara telah dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah direncanakan, hingga akhirnya tiba pada acara inti dari pesta tersebut, namun tiba-tiba saja Andrew berdiri lalu berjalan menuju ke arah MC untuk berbicara dan memberikan kejutan untuk adiknya.
"Saya sebagai kakaknya akan memberikan sebuah hadiah yang mungkin akan selalu dikenang dan takkan terlupakan."
Setelah memberikan kode, sang hadiahpun keluar dari salah satu ruangan di rumah itu, semua orang bertepuk tangan, begitupun denganku hingga perlahan tupuk tanganku melemah lalu berhenti sebelum hadiah itu sampai pada sang penerima.
Hadiah itu menghampiri dengan membawa sebuket bunga diiringi tepuk tangan tamu undangan, Sisca sangat senang melihat orang yang ia kagumi datang dalam pesta ulang tahunnya, tak menyangka akan mendapat kejutan seperti itu dari keluarganya.
Syok, itulah yang kurasa ketika melihatnya berada di sini, dalam satu pesta yang sama namun datang bukan sebagai pasangan.
"Apa yang aku gak tau lagi dari dia? Berapa wanita lagi kah yang saat ini dekat dengannya?"
Itulah pertanyaan yang muncul dibenakku melihat ia berdiri bersanding dengan Sisca. Sepertinya ia belum menyadari keberadaanku.
Ia memberikan bunga itu untuk Sisca, dan sebagai gantinya pipi mereka saling bertemu lalu kemudian Sisca meluapkan rasa senangnya dengan memeluk hadiah yang ada di hadapannya.
Setelah selesai dengan hadiah yang begitu membuat Sisca bahagia, Andrew menghampirinya dan untuk sesaat mereka berbincang lalu tiba lah Andrew mengajaknya bertemu denganku.
Angga sepertinya kaget melihatku berada di sini, raut wajah yang sebelumnya nampak bahagia kini harus murung ketika kami bertatap muka, aku berusaha tersenyum dan berjabat tangan dengannya walau hati rasanya begitu terluka.
"Gak nyangka bisa ketemu di sini."
Ucapnya membuka pembicaraan kami berdua setelah Andrew pergi entah kemana.
"Iya, sebenernya berapa banyak lagi wanita yang deket sama kamu?"
Entah kenapa pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku, namun sudah terlanjur dan takkan ku tarik lagi demi menumpahkan sedikit rasa kesalku saat ini.
"Aku di sini cuma kerja."
Namun tak disangka, jawabannya tak begitu ku mengerti.
"Maksudnya?"
"Aku seorang penulis, dan aku dipanggil ke sini buat jadi kejutan buat dia, karena dia menyukai buku-buku yang aku bikin."
"Jadi..."
Belum selesai aku berkata-kata dan menerima rasa bingung tak menyangka dengan semuanya, Andrew telah datang kembali dan langsung menarikku untuk menemaninya bergabung dengan ayah dan ibunya serta Sisca, Angga pun kini telah kembali berada di samping Sisca sebagai hadiah atau memang bekerja.
"Dalam momen yang bahagia ini, izinkan saya menyampaikan berita bahagia untuk keluarga dan semua hadirin yang telah menyempatkan untuk hadir pada acara ulang tahun adik saya tercinta, namun yang akan saya lakukan selanjutnya ialah untuk masa depan saya sendiri dan keluarga, dan bertepatan dengan momen bahagia ini saya berencana untuk melamar seorang wanita yang akan menjadi pendamping hidup saya, dan wanita itu adalah..."
Andrew tak melanjutkan kata-katanya, dia berjalan menghampiriku, dengan membawa sesuatu di salah satu tangannya.
"Apa kamu mau menikah denganku?"
Tanpa menunggu lebih lama, Andrew langsung melamarku di depan semua yang ada di sana dengan memberikan sebuah cincin yang siap melingkar pada salah satu jari manisku. Aku tak menyangka bahwa wanita yang akan dilamarnya adalah diriku sendiri. Untuk sesaat aku terdiam dan menatap satu persatu wajah mereka hingga akhirnya tatapanku dengannya bertemu.
Dengan gemetar aku mengulurkan tangan pada cincin yang telah siap di pasangkan untuk mengikatku hingga ke pelaminan. Beberapa kali aku melirik ke arahnya untuk melihat reaksi apa yang akan dilakukan olehnya, namun hingga jariku semakin dengan dengan cincin itu, dia sama sekali tak bereaksi apa-apa, dia hanya terdiam dengan ekspresi yang tak ku mengerti, sepertinya harapanku padanya memang sia-sia belaka.
"Maaf, aku gak bisa."
Aku menarik tangan ku dari masa depan serta kebahagiaan yang berusaha Andrew janjikan. Dengan berurai air mata, aku pergi meninggalkan mereka semua yang kecewa termasuk harapan Andrew dan kebodohannya yang tak memiliki keberanian untuk mencegahku menjadi milik orang lain.
"Apa emang aku gak berharga? Apa aku emang terlalu berharap?"
Aku segera pergi meninggalkan tempat itu dengan semua kecewa yang semakin menjadi. Dengan sebuah taksi aku bergegas pulang.
Dalam perjalanan, air mata ini tak hentinya mengalir menumpahkan semua kecewa pada keadaan yang tak kuinginkan dan juga kebodohannya yang tak mengerti tentang begitu tingginya harapan yang ku taruh padanya. Namun tak berapa lama ketika mobil melaju dengan kecepatan cukup tinggi mendadak begitu saja berhenti seketika karena hampir saja menabrak seorang pengendara motor yang menyalip lalu berhenti tepat di depan mobil yang ku tumpangi. Pengendara itu turun lalu memaksa membuka pintu mobil.
"Jalan aja pak, gak usah peduliin."
"Maaf mba, gak bisa, motor itu menghalangi jalan, sebaiknya mba turun dulu."
Dengan terpaksa aku turun dari mobil untuk menemuinya.
"Mau apa kamu? Belum puas hah? Apa masih belum cukup?"
Dengan masih berurai air mata emosi tak terkendali aku meluapkan semua amarah dan kecewa yang sampai saat pada puncaknya tadi, aku tak peduli dengan apa lagi yang akan dilakukannya. Angga tak bereaksi, dia hanya terdiam mendengarkan dan menerima amarah yang ku luapkan yang membuat emosiku semakin menjadi dan ketika aku telah merasa lelah dan percuma menumpahkan semuanya, aku pun pergi tapi ternyata Angga tak membiarkanku, dia menarik satu tanganku lalu membawaku dalam pelukannya, sontak aku berontak memukul dadanya dengan emosi yang tersisa namun dia tetap bergeming hingga akhirnya aku menyerah lalu mendekap seerat mungkin untuk bisa menenangkan diriku sendiri.