Almira Shofia Prameswary
Hari ini sepertinya takdir benar-benar sedang mengujiku, setelah kejadian semalam yang membuatku tak bisa memejamkan mata hingga pagi, sekarang dalam perjalanan pulang mobil yang biasa menemani hari-hari ku kini harus bermanja ria mengikuti perawatan selama beberapa hari pada bengkel mobil yang menjadi langgananku. Padahal jarak yang harus ku tempuh untuk pulang masih cukuplah jauh, tapi dalam kondisi seperti ini masih saja ada yang membuatku tersenyum walaupun sebenarnya aku kasihan harus mengajaknya hingga dalam kondisi seperti ini.
"Mobilnya kenapa tante? Gak mau jalan?"
Dengan polosnya dari dalam mobil dia menanyakan hal itu. Aku tersenyum menanggapinya.
"Iya sayang, maafin tante ya, karena mobilnya gak mau jalan jadinya kita lama nyampe ke rumah."
Syafina tetap tersenyum, dia sama sekali tak merasa takut, khawatir atau rewel dengan kejadian yang menimpa kami berdua saat ini.
Beberapa saat telah berlalu, sebuah mobil berhenti tepat di belakang mobilku yang terparkir di samping jalan besar menunggu mobil derek untuk membawanya. Aku dan Syafina yang menunggu di dalam mobil memperhatikan mobil itu dengan seksama, khawatir kalau orang yang ada di dalamnya bermaksud jahat, karena hari pun kini sudah menjelang gelap.
Namun ternyata, aku seperti mengenal orang yang baru saja turun dari mobil di belakang itu, wajahnya cukup familiar, dengan perawakan tinggi putih dan berpakaian rapi. Dia berjalan menghampiri mobilku lalu mengetuk jendela. Aku menurunkan kaca pintu mobil setelah dirasa orang itu tak berbahaya.
"Halo, loh ini Mira, kan?"
Orang itu ternyata mengetahui namaku, sementara aku berusaha mengingat wajah familiar itu, namun sekejap kemudian aku masih tak bisa mengingatnya.
"Mmmhhh, maaf siapa ya?"
Orang itu mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri.
"Andrew, inget?"
Setelah dia mengucapkan nama, ternyata aku masih belum mengingat sedikitpun tentang orang yang mengaku mengenalku itu.
"Andrew? Yang mana ya? Maaf, aku lupa."
Dia tersenyum dengan senyum yang sangat manis, menambah daya tarik ketampanan dan wibawanya, aku rasa setiap wanita muda pasti akan menyukainya ketika melihat laki-laki sesempurna Andrew, namun sayang, hatiku tak tertarik sedikitpun padanya, karena aku telah jatuh cinta pada orang lain.
"Dulu kita pernah ikut seminar bareng."
Andrew menjelaskan secara singkat tentang perkenalan kami dulu. Aku mulai tersenyum ketika momen itu mulai terlintas dalam benakku.
"Oh, kamu? Apa kabar?"
Aku turun dari mobil setelah mengingat tentang dia. Dulu ketika aku mengikuti seminar kesehatan, aku bertemu dengannya dan kami sempat mengobrol tentang masing-masing namun setelah itu kami tak terlalu berkomunikasi karena sibuk dengan urusan masing-masing sehingga aku tak begitu mengingatnya.
"Baik, kamu ngapain di sini? Udah mau gelap loh."
"Mobilku mogok nih, lagi nunggu montir."
"Owh, itu siapa? Anak kamu?"
Andrew menunjuk anak kecil dalam mobilku, yang tak lain adalah Syafina.
"Bukan, dia anak tetanggaku. Sayang sini, kenalan sama temen tante."
Syafina turun dari mobil lalu berjalan menghampiri kami yang sedang mengobrol di samping mobilku yang mogok.
"Syafina." Ucapnya polos seraya mengulurkan tangan kecilnya. Andrew tak membalas uluran tangan Syafina, tapi justru malah menggendongnya.
"Syafina, kenalin nama om Andrew, kamu cukup panggil om En aja, ok?"
Syafina tersenyum mengangguk. Tak ku sangka Andrew ternyata mudah dekat dengan anak kecil.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya montir dari bengkel mobil yang tadi ku hubungi tiba, namun setelah mengecek kerusakan pada mobilku ternyata mereka tak bisa memperbaikinya dan menyarankan untuk membawanya dengan mobil derek ke bengkel untuk diperbaiki di sana, dengan terpaksa akhirnya mobilku harus di bawa oleh mobil derek bengkel yang menjadi langganan mobilku.
"Pulangnya aku anterin ya?"
Sebenarnya aku tak enak ketika Andrew menawarkan diri untuk mengantarku pulang, tapi untuk saat ini aku tak mempunyai pilihan lain, hari telah semakin gelap dan perjalanan ku menuju rumah masih cukup jauh, mungkin bisa bahaya kalau wanita sepertiku pulang menggunakan kendaraan umum di malam hari dengan kondisi jalanan yang cukup sepi.
"Oya, kenapa kamu ada di sini?"
Dalam perjalanan aku menyempatkan untuk mencari tau tentang Andrew, juga tentang alasan dia berada di daerah sini, karena setau ku Andrew tak bekerja pada rumah sakit di sekitar sini.
"Ceritanya panjang, tapi intinya aku pindah tugas pada rumah sakit swasta besar yang ada di kota ini."
Ternyata Andrew memang bukan tenaga medis sembarangan tak sepertiku.
"Oya, kamu udah ada pasangan? Atau mungkin udah berkeluarga?"
Tak ku sangka Andrew menanyakan hal itu tanpa basa-basi terlebih dulu.
"Belum, emang kenapa?"
"Gak apa-apa, cuma takut ada yang salah faham aja."
Aku tak mennanggapi lagi ucapan Andrew dan lebih memilih mengusap-usap rambut dan kepala Syafina yang ternyata telah tertidur dalam pangkuanku.
Setelah sampai di rumah, Andrew langsung pergi tak sempat untuk mampir, namun kami sempat bertukar nomor ponsel sebelum aku turun dari mobilnya.
Aku berjalan dengan menggendong Syafina yang masih tertidur nyenyak. Namun sesaat kemudian suaranya mengagetkanku.
"Tante."
Tangan mungil Syafina mengucek kedua matanya lalu menguap dan setelah itu kembali memelukku, menadakan kantuknya yang masih tersisa.
"Loh, kok bangun sayang?"
Syafina tak menjawab pertanyaanku, namun matanya tak kembali terpejam.
"Kamu laper ya? Soalnya kan kita belum sempet makan."
Syafina mengangguk pelan. Setelah menaruh semua barang bawaan, aku segera memasak mie instan dengan di tambahkan telur mata sapi di atasnya untuk sekedar mengisi perut, walaupun sebenarnya makanan ini kurang baik di konsumsi untuk anak seusia Syafina, tapi untuk sekali ini saja tak apa asalkan jangan terlalu sering mengkonsumsinya.
Setelah selesai makan, aku dan Syafina memutuskan untuk segera beristirahat karena malam sebelumnya aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Syafina tidur dalam dekapanku berbalut selimut hangat untuk menjaganya agar tak masuk angin. Aku kembali mengusap lembut rambut dan kepalanya hingga tanpa terasa pipiku mulai kembali basah mengingat apa yang telah terjadi kemarin, suara sesegukan tertahan semakin menambah rasa sesak di dada, namun segera ku singkirkan semua kesedihan itu ketika tiba-tiba saja Syafina berbalik dan mendekapku dalam tidurnya, aku tersenyum lalu ku kecup keningnya, tak terasa selama dia berada di sini aku semakin menyayanginya.
Pagi ini mentari membangunkanku yang terlambat untuk bangun, usapan hangatnya pada wajah dan tubuhku memaksaku untuk membuka mata, silau yang kurasa membuatku berpaling darinya hingga ku sadari Syafina tak ada di sisiku.
Segera ku beranjak dari sana yang tak hentinya menggodaku untuk bermalas-malas ria. Suara gemericik air di kamar mandi menuntunku untuk ke sana dan ketika ku buka pintu, ku dapati Syafina yang sedang menyabuni tubuh kecilnya. Aku yang sebelumnya tak berencana untuk langsung mandi justru tergoda oleh keceriaan Syafina ketika air mengguyur tubuhnya.
"Tante ikut mandi ah."
Akhirnya aku dan Syafina mandi bersama, cukup lama kami berada disana menikmati canda tawa yang ternyata bisa membuatku bahagia dan untuk sejenak lupa dengan masalah yang menimpa. Setelah kurang lebih dua puluh menit kuputuskan untuk menyudahi apa yang baru saja kami nikmati.
"Sayang udah ya, nanti kalau kelamaan malah sakit lagi."
Setelah selesai mandi, aku dan Syafina bersiap-siap untuk pergi menjalankan aktifitas seperti biasa, Syafina dengan terpaksa selalu ku ajak pergi ke tempat kerja selama ayahnya belum pulang, ini ku lakukan karena mana mungkin aku meninggalkannya sendirian di rumah, aku tak tega untuk melakukan hal seperti itu, terlebih aku menyayangi Syafina.
Ttiit...ttiit...
Ketika hampir selesai, terdengar suara klakson mobil yang sepertinya ada di depan rumah, ku intip dari jendela rupanya itu mobil yang sama dengan yang kemarin mengantarku pulang.
"Andrew? Ngapain pagi-pagi ke sini?" Gumamku sendiri.
Aku beranjak membukakan pintu depan untuk menemuinya. Andrew keluar dari mobil lalu menghampiriku.
"Pagi."
Sapanya masih dengan senyum yang sama.
"Pagi juga, Andrew kamu ngapain pagi-pagi udah di sini?"
"Mau jemput kamu, buat anter kamu ke tempat kerja, mobil kamu masih di bengkel kan?"
Aku bukannya tak bisa menebak apa yang menjadi tujuannya datang kemari, tapi aku tak mau terlalu percaya diri untuk yakin bahwa Andrew datang kemari untuk menjemputku.
"Iya sih, tapi gak usah repot-repot En, aku bisa naik kendaraan umum ko."
"Gak perlu, selama mobil kamu masih belum beres, aku yang anter jemput kamu."
Aku tak bisa menolak ajakkan Andrew, lagi pula walaupun aku menolak, sepertinya dia akan memaksa.
"Ya udah, tapi aku sama Syafina loh, gak apa-apa?"
"Anak kecil yang kemarin kan?"
"Iya, soalnya ayahnya belum pulang."
"Iya, gak apa-apa ko."
Tak mau membuatnya lama menunggu, aku dan Syafina bergegas dan langsung berangkat dengan di antarkan ke tempat kerja oleh Andrew, dia tampak begitu mudah dekat dengan Syafina sehingga kami terlihat seperti sebuah pasangan keluarga bahagia.
"Oya sayang, ayah kamu kerja apa?"
Andrew penasaran dengan apa yang dilakukan oleh ayah Syafina sehingga harus menitipkannya pada Mira.
"Ayah suka nulis-nulis om."
"Ayahnya penulis?" Tanya Andrew padaku. Namun aku pun tak tau apa pekerjaan ayahnya, karena selama ini dia tak pernah memberitahuku tentang semua latar belakang hidupnya, tapi aku juga sadar karena mungkin aku bukan siapa-siapa untuknya jadi tak berhak untuk tau semua tentang kehidupan pribadinya.
Aku mengangkat bahu menndakan tak tau tentang hal itu.
"Emang nama ayahnya siapa?"
Andrew sepertinya penasaran tentang Syafina, sampai harus tau tentang apa yang dilakukan oleh orang tua Syafina.
"Namanya Angga, Angga Abimana."
Seketika Andrew terdiam mendengar nama itu keluar dari mulutku, sepertinya ada yang mengganggu fikirannya.
"Kenapa? Ada yang lagi di fikirin?"
Andrew menggeleng, namun sesaat kemudian dia sudah kembali seperti sebelumnya.
"Aku kayak yang pernah tau nama itu, tapi di mana ya?"
Aku tak terlalu menanggapinya karena mungkin saja nama yang di maksud oleh Andrew itu nama yang mirip atau sama namun dengan orang yang berbeda.