Hari ini jadwal keberangkatanku tiba, sudah sejak satu bulan yang lalu buku yang kutulis dan selesai direvisi masuk ke salah satu penerbit besar dan tak butuh waktu lama bagi mereka menerbitkannya karena mereka melihat peluang pasar yang bagus pada buku ke lima yang telah aku tulis. Satu minggu ke depan pihak penerbit akan mempersiapkan acara launching buku yang akan di adakan pada salah satu pusat perbelanjaan besar di ibukota.
"Udah siap?"
"Siap ayah."
Syafina dengan terpaksa aku titipkan pada ibu mertuaku, ibu dari mendiang istriku Viona yang berarti nenek dari Syafina. Mendengar Syafina akan datang berkunjung dan bahkan menginap ibu begitu senang dan sama sekali tak keberatan.
"Nanti selama kamu di sana jangan ngerepotin Oma ya!"
"Iya yah."
Dan kami pun berangkat tanpa memberitahu siapapun kecuali ibu mertuaku.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di sana, jarak dari rumahku ke rumah ibu mertuaku hanya sekitar setengah jam perjalanan, dan ketika kami sampai di sana, ibu sudah terlihat menunggu Syafina di depan rumahnya.
Setelah turun dari motor, Syafina langsung berlari menghampiri neneknya yang sudah cukup lama tak ditemuinya.
"Eh cucu kesayangan oma udah dateng."
Ibu langsung mencium Syafina lalu menggendongnya.
"Ternyata cucu oma udah nambah berat aja."
Ibu langsung menyuruhku ke dalam untuk beristirahat sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Jadwal selama seminggu ke depan sudah jelas, termasuk untuk menghadiri beberapa acara yang berhubungan dengan buku yang kubuat.
Setelah satu jam beristirahat di rumah ibu, aku bersiap kembali melanjutkan perjalanan panjangku yang sudah terbayang sangat melelahkan. Aku melanjutkan perjalanan hanya menggunakan sepedah motor saja karena hanya itu yang ku punya, namun selain itu motor juga akan memudahkan ku beraktifitas di sana.
"Sayang, kamu jangan nakal yah, jangan ngerepotin Oma."
"Bu, aku pamit dulu."
"Ya sudah, kamu hati-hati, nanti kalau kamu sudah sampai hubungi ibu ya."
Aku memacu kuda besi milikku dengan kecepatan tinggi agar lebih cepat sampai ke tempat tujuan, yaitu sebuah kostan kecil yang tak jauh dari tempat acara yang akan berlangsung sore ini. Aku lebih memilih untuk tinggal di kostan selama di sana agar bisa menghemat semua pengeluaranku, setidaknya uang tabungan dan hasil dari royalty akan semakin menambah saldo tabungan untuk masa depan putri kecilku.
Setelah beberapa jam perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya aku tiba pada tempat yang menjadi tujuanku, tak begitu sulit menemukannya mengingat aku pernah beberapa kali ketempat ini. Langsung ku rebahkan diri pada ranjang empuk yang sudah tersedia serta tertata rapi dan bersih hingga aku terlelap.
Almira Shofia Prameswary
Setelah seharian menjalani kewajiban yang menjadi rutinitas, tak sabar rasanya ingin segera melihat mereka hanya untuk sekedar menyapa. Namun setelah sampai di rumah, tampak rumahnya begitu sepi seperti tak berpenghuni.
"Ko sepi ya? Gak kaya biasanya."
Ucapku dalam hati, namun aku berfikir positif bahwa mungkin saja mereka sedang berada di dalam dan tak ingin diganggu siapapun. Sambil merebahkan diri, ku buka akun media sosialku untuk sekedar mencari tahu, karena mungkin saja dia telah mengunggah status atau foto terbaru yang belum ku lihat, tapi ternyata taka ada, semua akun media sosial yang dia gunakan sama sekali tak ada aktifitas apapun sejak dari beberapa hari yang lalu.
"Dia kemana ya? Ko aku jadi kangen?"
Aku tersenyum-senyum sendiri membayangkan kejadian-kejadian yang pernah aku lewati bersamanya, rasanya apa yang kurasakan saat ini semakin kuat dan aku pun meyakini apa yang kurasa ini adalah sebuah rasa yang akan berakhir indah, namun ada yang membuatku sedikit terganggu yang entah apakah aku akan bisa menghadapinya atau tidak, namun bukan tentang Ana melainkan Syafina. Anak itu memang baik, setidaknya dari semua kejadian yang ku lihat, aku bisa sedikit menyimpulkan tentang sifatnya, belum sekalipun aku melihat sifat kurang baiknya selain hanya sifat ke kanak-kanakan yang memang masih dalam batas wajar.
Lelah memikirkan hal itu, aku segera beranjak dari tempat tidur lalu mengambil sweater yang tergantung pada kapstok di samping lemari pakaian kamarku. Mungkin dengan meluangkan sedikit waktu mengobrol bersama mereka bisa mengobati rasa rinduku yang sejak tadi ku tahan. Sehari saja tak bertemu terasa begitu lama.
Setelah mengunci pintu depan rumahku dan memasukan kuncinya pada saku sweater, dengan perasaan dek-dekan ku langkahkan kaki setapak demi setapak hingga akhirnya sampai pada halaman kecil di depan rumahnya.
Aku memperhatikan sekeliling rumahnya yang memang tak seperti biasanya, tak tampak tanda-tanda kehidupan ada di sana. Otakku mulai berfikir kembali tentang perkiraanku kalau mereka sedang tak berada di rumah. Namun ketika aku sedang mengendap-endap memperhatikan rumah tetangga idamanku, tiba-tiba saja seseorang mengagetkanku.
"Mba, lagi ngapain?"
Satpam komplek perumahan tempatku tinggal rupanya telah sejak tadi memperhatikan gerak-gerikku yang menurutnya mencurigakan, walaupun menurutnya orang sepertiku mana mungkin akan melakukan tindakan pencurian, tapi tetap saja demi menjaga keamanan dia berusaha mencari tau dengan cara menghampiriku langsung.
"Eh pak Diman, enggak pak, anu..."
Aku menjadi salah tingkah ketika tertangkap basah seperti ini, entah alasan apa yang harus ku berikan agar aku tak malu ketahuan mengendap-endap dan mengintip rumah orang lain.
"Kalau mba Mira nyari mas Angga, orangnya lagi gak ada di rumah mba."
Aku lega karena tak harus mencari-cari alasan tentang kenapa aku berada di sini, tapi juga tak menyangka kalau aku akan mendapat kabar tentang Angga yang saat ini tak berada di rumah.
"Owh, bapak tau gak dia pergi kemana?"
"Maaf mba, saya kurang tau, cuma mas Angga tadi perginya bawa tas gede, kayanya mau pergi lama."
Mendengar pernyataan itu, aku segera kembali ke rumah bermaksud untuk mengambil ponsel dan menghubungi Angga, tapi setelah ponsel dalam genggaman tiba-tiba rasa ragu mulai menyerang, rasa gengsi mulai mencoba mempengaruhi isi hatiku dan menyuruhku untuk membatalkan niatku untuk menghubungi Angga, namun pada akhirnya aku tetap meneguhkan hati untuk sekedar memastikan kabar keberadaan mereka berdua. Pada layar ponsel tertera nama "Angga" dengan huruf kapital didepannya. Aku mulai memposisikan ponsel pada telingaku setelah sebelumnya menekan tombol dengan logo telefon berwarna hijau. Setelah beberapa detik akhirnya aku mulai mendengar suara di ujung ponsel pertanda ada yang menjawab panggilanku, namun sayangnya bukan suara Angga yang terdengar, melainkan suara wanita dengan sopan berkata "Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi." Sekali dua kali panggilan selalu berakhir dengan suara yang sama hingga akhirnya aku menyerah untuk menghubunginya.
Kembali aku merebahkan diri dengan kepala dipenuhi sejuta tanda tanya tentang keberadaan mereka berdua yang pada akhirnya fikiran negatifku muncul. Mataku mulai menajam, bibirku sedikit ku majukan seiring membayangkan bahwa saat ini Angga sedang bermesraan bersama Ana. Segera ku ambil kembali ponsel yang sebelumnya sudah ku letakkan di samping bantal, dengan tak sabar aku segera menghubungi nomor Ana yang ku simpan setelah mengobrol dengannya waktu dia menginap di rumahku. Tak butuh waktu lama hingga suara di ujung sana berubah menjadi suara bising seperti sedang berada dalam sebuah konser band ternama.
"Halo."
Ana sedikit berteriak mengimbangi suara bising disekitarnya.
"Boleh bicara sebentar?".
Aku mencoba berbicara dengan tenang dan berusaha mengendalikan diri untuk tak langsung menuduhnya.
"Sebentar, aku nyari tempat sepi dulu."
Aku menunggu selama beberapa saat hingga suara di ujung telefon hanya menyisakan suara Ana saja.
"Ya, ada apa ya?"
"Boleh nanya sesuatu?"
Aku tak langsung bicara pada intinya, sengaja ku lakukan untuk mengangkat gengsiku yang terlalu tinggi.
"Ya, nanya apa Mir?"
Ada sedikit keraguan kembali menyerang, namun demi mengetahui keberadaan Angga, aku menepisnya.
"Hhhmmm Angga lagi sama kamu gak?"
"Angga? Bukannya dia ada di rumah ya? Emang gak ada?"
Ana sepertinya sedang tak bersama Angga, terbukti dari nada bicaranya yang berubah menjadi antusias setelah aku menanyakan keberadaan Angga.
"Iya, Angga gak ada di rumahnya, kata satpam komplek dari tadi pagi dia pergi sama Syafina bawa tas gede segala, kirain kamu tahu Angga sekarang di mana."
Niatku yang awalnya hanya ingin menanyakan keberadaan Angga justru malah memberikan informasi untuknya tentang Angga yang saat ini tak berada di rumahnya.
Setelah selesai mencari tahu yang ujungnya malah memberitahu tentang kepergian mereka, aku memberanikan diri untuk menulis pesan singkat dari jejaring sosial pribadi yang sering kami gunakan.
"Kalau kamu baca pesan ini, tolong hubungin aku atau kasih aku kabar."
Pesan terkirim dengan tanda satu ceklis diatasnya, menandakan pesan terkirim namun belum diterima oleh orang yang dituju. Dengan kejadian seperti ini, bisa dipastikan aku takkan tidur dengan nyenyak untuk malam ini.
Ponsel kutaruh tak jauh dari posisi tidurku saat ini, menanti dan berharap mendapat kabar secepatnya dari orang yang ku rindu. Semenit dua menit telah berlalu berganti menjadi hitungan jam hingga lewat tengah malam. Lebih dari sepuluh atau dua puluh kali aku membuka kembali jejaring sosial pribadi hanya untuk sekedar mengecek pesanku sudah dibaca olehnya atau belum, dan ternyata sampai saat terakhir semua masih tetap sama dengan satu tanda ceklis di pojok atasnya.