Mumut terkejut saat laki-laki itu menyapanya, dia baru sadar kalau dia sudah berada di ruangan Bian. Laki-laki itu menatapnya dingin tanpa senyum di wajahnya.
"Baiklah, aku akan menanggung semua biaya ibu kamu selama di rumah sakit tapi ada syaratnya, Kalau kamu setuju aku akan segera membayarnya."
"Sepanjang syaratnya tidak melanggar perintah agama saya akan berusaha," jawab Mumut sambil meremas ujung bajunya.
Bian menyipitkan matanya, gadis itu tidak dalam posisi tawar yang bagus tapi ia berani menawar. Mumut mengangkat wajahnya, matanya segera bertemu dengan mata kelam milik Bian.
"Menikahlah denganku," kata Bian dengan acuh.
"Menikah?" Mumut mengangkat kepalanya. Matanya melebar menatap mata Bian.
Kalau saja kata-kata itu diucapkan oleh seseorang kepada kekasihnya tentu itu akan menjadi hal romantis yang paling diharapkan. Tapi lelaki di depannya bukanlah kekasih dan ia tau pasti Bian tidak mungkin mencintainya. Sebenarnya Mumut berharap kata-kata itu keluar dari mulut Andika tapi tampaknya itu mungkin dilakukan dalam waktu dekat ini.
Bian menunggu jawaban Mumut, ia tenggelam dalam pikirannya. Ia menawarkan pernikahan pada Mumut karena ia merasa yakin ia tidak mungkin mencintai gadis itu. Bian akan memanfaatkan Mumut untuk membuat Ristie cemburu dan berharap suatu saat Ristie akan meminta-minta untuk kembali padanya.
"Iya, dalam minggu ini!"
"Menikah, dalam minggu ini, gila!" desis Mumut.
"Aku dengar perkataanmu," kata Bian, dingin." Kamu butuh bantuanku, tidak? Kalau kamu tidak setuju, silakan keluar dari ruangan ini."
Mumut membayangkan kondisi ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit yang membutuhkan pertolongan lebih lanjut. Air matanya mengalir dan ia mengusapnya dengan punggung tangannya. Sebenarnya Mumut
"Ba.. baiklah," suaranya begitu lirih hampir tak terdengar.
Bian tersenyum dingin." Oke, siapa nama ibumu dan di bangsal apa?"
Mumut menyebut nama ibunya dengan gemetar, ia juga mengatakan ibunya masih di IGD, menunggumu kepastian untuk mendapatkan penanganan selanjutnya. Bian segera menelpon Randy untuk menangani masalah tersebut. Mumut menghela nafas dengan lega, ia tahu Randy bisa diandalkan.
"Terimakasih," kata Mumut dengan berurai air mata, ia merasa sangat terharu pada kebaikan Bian meski kebaikan itu bersyarat. Setidaknya ibunya mendapatkan pelayanan yang layak.
"Kapan kamu akan menengok ibumu?" tanya Bian kemudian.
"Setelah jam kerja, Pak."
"Oke, hubungi aku saat kamu akan menjenguk ibumu, aku akan mengantarmu,"
Bian lalu meminta ponsel Mumut, dengan ragu Mumut menyerahkan ponsel bututnya. Bian memandang ponsel itu dengan menyipitkan matanya, ponsel dengan merk yang tidak terkenal Bian bahkan baru tahu merk ponsel ini, dengan RAM dibawah satu gb. Bian kemudian mengetikkan sesuatu di layar ponselnya setelah itu menyerahkan ponsel itu kembali ke pemiliknya.
"Aku sudah menulis nomorku di situ, saat istirahat, telpon aku, setelah itu kita temui ibumu setelah itu kita bertemu mamaku,"
Deg! Mumut merasa sebuah beban berat menindihnya. Bertemu dengan mamanya Bian? Terlalu cepat, rasanya ia belum siap.
Mumut kemudian pamit, ia berjalan dengan langkah yang lebih mantap dibandingkan saat masuk tadi meski belum ada senyum diwajahnya. Bian menatap gadis itu hingga hilang dibalik pintu.