Mumut segera meletakkan nampan di pantry dan menuju mushola untuk melakukan sholat dhuha. Selesai sholat dhuha ia kembali ke pantry dan mengambil sebuah al Qur'an kecil di lokernya dan mulai membacanya dengan suara yang lirih tapi terdengar sangat merdu.
Tiba-tiba ponselnya berdering, ada nama salah satu tetangganya terserah di situ, ia segera mengangkatnya.
"Halo.. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikum salam... Mut, ini bu Wati. Ibu kamu... ibu kamu kecelakaan, Mut. Tabrak lari... kondisinya... parah. Ia perlu penanganan.... segera, Di rumah sakit Cempaka."
Bu Wati tinggal di sebelah kontrakan Mumut, perempuan setengah baya itu selalu membantu Mumut dan ibunya ketika dalam kesusahan.
"Ya, bu. Saya ke sana," jawab Mumut dengan linglung.
Mumut segera berpamitan pada Harti untuk melihat kondisi ibunya di rumah sakit. Harti segera menyuruh Hari untuk mengantarnya, lelaki itu dengan senang hati mengiyakan. Sebenarnya Mumut ingin menolaknya tetapi dengan berbagai pertimbangan Mumut akhirnya setuju. Mereka segera berboncengan menuju rumah sakit Cempaka dan menemui bu Wati di depan ruang IGD. bu Wati segera memelukknya sambil menangis, ia menyeret Mumut memasuki ruang IGD dan meminta ijin ke petugas jaga untuk melihat kondisi ibunya.
Hari mengikuti mereka dari belakang. Mumut menangis melihat kondisi ibunya yang tidak sadar, selang infus terpasang di lengan kirinya, kakinya patah dan sebagian wajahnya tertutup perban.
Mumut kemudian menuju ruang perawatan untuk mendengar penjelasan lebih lanjut dari ptugas jaga. Ia hanya tertunduk mengiyakan saat petugas memintanya untuk membayar sejumlah uang sebagai uang muka sebelum ibunya mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Dalam perjalanan kembali ke kantor Mumut merasakan kepalanya mau pecah, ia tidak tahu bagaimana cara ia mendapatkan uang sebanyak itu. Hutangnya di perusahaan sudah sangat besar hingga menyisakan gaji yang sangat minim yang untuk transport saja masih kurang. Selama ini untuk menambah penghasilannya Mumut mengerjakan tugas teman-temannya yang tidak bisa atau malas mengerjakan tugas mereka tapi tentunya hal itu tidak bisa dijadikan andalan dan hasilnya juga tidak terlalu banyak. Pinjam ke bu Atmi tetangganya yang seorang rentenir? Mumut tak yakin akan dikabulkan, tak ada hal berharga di rumahnya untuk dijadikan jaminan.
Sampai di kantor, Mumut segera menuju ruang pantry dan menangis di sana. Hari hanya mengikutinya, ia juga bingung bagaimana harus membantu pujaan hatinya karena ia juga tak punya uang sebesar itu. Ia hanya duduk di sebelah Mumut dan menatap gadis itu dalam kebingungannya.
Tiba-tiba Mumut menghapus air matanya, ia kemudian melangkah menuju ruang Bu Padma untuk menemuinya. Mumut berfikir ia akan mencoba meminjam lagi dari kantor walaupun kemungkinan untuk dikabulkan sangat kecil. Bu Padma tersenyum mendengar permintaannya.
"Maaf ya, Mut. Ibu tidak bisa mengabulkan permohonan kamu kali ini, ada kebijaksanaan perusahaan yang sudah ibu langgar waktu kamu pinjam yg terakhir kali kamu pinjam uang perusahaan dan sekarang ibu tidak bisa membantumu lagi," ia kemudian menunduk beberapa saat sebelum akhirnya menyerahkan sebuah amplop. "Ini hanya sedikit bantuan dari ibu semoga bisa bermanfaat."
Mumut mengangguk dan mengucapkan terimakasih sambil menerima amplop itu. Bu Padma memang sangat baik padanya dan selalu membantu kesulitan keuangan Mumut. Bu Padmalah yang membuat kebijaksanaan untuk Mumut ketika ia meminjam sejumlah uang beberapa bulan yang lalu agar ia tetap menerima gajinya yang tak seberapa dengan memperpanjang lama angsurannya.
Mumut keluar dari ruangan bu Padma dengan langkah gontai, dulu ketika perusahaan masih dipimipin papanya Bian, ia sering kali dibantu lelaki tua itu ketika ia dalam kesulitan, bukan hanya dia tetapi hampir semua karyawan. Tanpa menyadari arah kakinya melangkah, Mumut baru menyadari ia telah berada di ruangan Bian saat lelaki itu bertanya apa keperluannya.
***