Ketika pria itu menoleh untuk menatap mata Mahendra, ingin rasanya dia meninju wajah berahang serupa dengan dirinya, kalau perlu bibirnya sampai robek.
Sayang seribu sayang, dibalik berdirinya kedua pemimpin yang melambangkan dua kekuasaan pembawa keluarga masing-masing, mereka membawa bala tentara yang selalu mengawasi di sana. Beberapa meter dari keduanya saling berjaga.
Mahendra mengeratkan giginya kuat-kuat, menahan kabut gelap datang, "Jika tidak ada yang lebih penting dari ucapan sampah anda. saya pergi," dia hampir berbalik ketika sebuah telapak tangan besar menyentuh pundaknya, yang spontan membuat ajudan-ajudan keluarga Djoyodiningrat bergerak satu langkah. Begitu juga para ajudan pria tersebut.