Gelora 💗 SMA
SEJAK perkenalanku dengan Randy, makin hari aku makin dekat dengan cowok itu. Aku diam-diam memperhatikan dia. Selain memiliki tubuh dan wajah yang good looking, Randy juga mempunyai kepribadian yang sangat menarik. Tak hanya kalem dan tidak neko-neko, cowok tampan itu juga humoris. Dia selalu membuat suasana menjadi lumer dengan canda dan tawanya yang kocak menghibur teman-temannya.
Ada satu hal yang membuatku jadi agak bingung, setiap pulang sekolah dia selalu menghampiriku, dia datang dengan satu maksud yang cukup menggelitik, dia ingin menumpang dengan membonceng motorku karena kebetulan perjalanan pulang kita searah. Padahal banyak teman-teman dia yang juga bawa motor dan sendirian, tapi Randy malah lebih memilih pulang mendompleng bersamaku daripada dengan teman-temannya. Katanya, aku lebih asik dan lebih bersahabat, sehingga dia lebih nyaman bila berboncengan bersamaku. Alasan yang lumayan masuk akal, namun demikian aku masih tetap bertanya-tanya, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Randy. Entah ... sesuatu apa itu aku tidak begitu paham. Aku sendiri juga tidak pernah mempermasalahkan setiap kali dia membonceng di jok motorku. Aku justru merasa senang dan ikhlas setiap kali pulang sekolah bersama Randy.
''Polo ... hari ini, aku bonceng lagi, ya ... kamu tidak keberatan, 'kan?'' ujar Randy suatu hari saat kita hendak pulang dari sekolah.
''Tentu saja, aku tidak keberatan!" jawabku.
''Gimana kalau hari ini, aku yang bawa motornya, Poo ...''
''Kamu bisa mengendarai motor juga, Ran?''
''Bisa dong ...''
''Serius?''
''Iya ... karena aku juga sebenarnya punya motor sendiri.''
''Terus kenapa kamu tidak bawa ke sekolah motornya, Ran?''
''Aku malas aja ... ''
''Males kenapa, Ran?''
''Karena aku pengennya boncengan terus bersama kamu, Poo ... Hehehe ...''
''Ah, bisa aja kamu, Ran ...''
Randy ngakak, bibir tipisnya mengembang membentuk cekungan tawa yang terlihat manis. Suara cekikikannya benar-benar renyah seperti kerupuk dan mampu memancingku untuk ikutan tertawa.
''Oke ... ini kunci motornya!'' Aku menyerahkan kunci motorku ke tangan Randy, lalu cowok beralis tebal ini langsung menancapkan kunci tersebut ke lubang kunci di motorku, dan sejurus kemudian dia telah siap berkendara.
''Ayo, silahkan naik, Pak! Saya akan mengantar Bapak sampai ke tempat tujuan dengan selamat!'' ujar Randy menirukan gaya abang-abang tukang ojek sambil menderumkan sepeda motorku.
''Hahaha ... gaya kamu udah kayak tukang ojek profesional aja, Ran ...'' timpalku seraya melingkarkan kakiku di jok motor lalu tanganku berpegangan pada pundak Randy.
''Apa kamu sudah siap?'' kata Randy.
''Oke ... aku siap!'' jawabku.
''Baiklah ... mari kita pulang!'' Randy menarik gas motornya dan seketika itu pula kendaraan roda dua ini ngibrit meninggalkan gerbang sekolah.
Motor ini terus melaju dengan kecepatan konstan yang cukup kencang. Randy makin menambah kecepatannya ketika berada di jalanan yang sepi, dia seolah ingin menunjukkan kepadaku bahwa dia bisa bersikap bringas layaknya seorang biker sejati. Sungguh, hal ini membuatku heran, karena selama ini, aku mengenal Randy adalah sosok cowok cool yang tak terlalu banyak tingkah. Dan hari ini aku menyaksikan sisi lain yang jauh berbeda pada diri Randy.
Bagai orang yang kesetanan acapkali Randy menge-gas motorku hingga pada kecepatan maksimal, sehingga dengan refleks aku merapatkan tubuhku dan berpegangan erat ke tubuh Randy. Dan ketika dia mengetahui gerakan dan sikap dadakanku yang seperti orang ketakutan, Randy malah tertawa terbahak-bahak.

''Hahaha ... Kenapa, Poo?'' Randy memperlambat laju kendaraannya.
''Gila kamu, Ran ... bawa motor kayak orang lagi mabuk!" komenku ketus.
''Hahahaa ... kamu takut ya, Poo?''
''Tidak ...''
''Kok pegangannya erat sekali.''
''Hehehe ...'' Aku langsung melepaskan pegangan tanganku dari tubuh Randy.
''Sorry ya, Poo ... aku cuma mau memacu adrenalin aja. Hehehe ....''
''Somplak!'' Aku menabok punggung Randy dengan keras.
Randy hanya tertawa ngakak.