Tatsaka sedang bersemedi dengan posisi lotus. Duduk dengan kaki bersila dan kedua telapak tangan disatukan di dada. Matanya terpejam erat. Telinganya tumpul, tak mendengar suara apapun. Ia tampak menyendiri terpisah dari dunia. Deru nafasnya sangat lemah bahkan nyaris tak terdengar. Tatsaka laksana patung giok, diam tak bergerak, selama ia menyerap energi spiritual yang menyebar di udara.
Meskipun jumlah energi spiritual di Gua Terawang sangat menyedihkan hampir seperti tetesan air keran yang tertutup. Tapi daging nyamuk juga daging. Jumlahnya mungkin tidak bisa membantu banyak untuk budidaya seni beladirinya, namun itu masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Tatsaka tetap rajin berkultivasi untuk memelihara kekuatannya agar tidak lapuk diterpa angin dan diguyur hujan.
Tiba-tiba, di tahun ke lima puluhnya bersembunyi dalam pelatihan pintu tertutup, Tatsaka merasakan lonjakan energi yang besar menyerbu ke dalam Gua Terawang. Ia membuka matanya secara perlahan. Ia memindai obyek di depannya untuk melihat apa yang berbeda sebelum dan sesudah ia bersemedi. Alisnya tertarik kencang. Dalam satu lirikan arah jam tiga, ia menangkap adanya benda asing yang mengambang di udara.
Ia memejamkan mata, mencium energi spiritual yang melimpah bersumber dari benda itu. Tatsaka gembira dengan penemuan tak terduga ini. Ia cepat-cepat menyerapnya. Tapi, tatkala ia berniat mengedarkannya ke seluruh tubuh, energi itu menghilang.
Tatsaka tercengang. Aneh. Benda apa itu? Pikirnya. Ia pun bangkit dari posisi semedinya, menghampiri benda misterius itu. "Ya Dewa!" Pekiknya dengan mata terbelalak lebar. Itu adalah kitab Sabdo Sang Hyang yang ia tunggu-tunggu selama lima abad.
Wajah tercengangnya berubah menjadi sumringah. Matanya berbinar-binar. Ia memukul pahanya kuat-kuat untuk mengekspresikan kegembiraannya. Suara tawa terdengar menggelegar dari kedalaman gua Terawang, menembus bebatuan dan pepohonan hingga mencapai pemukiman penduduk di sekitar Gua Terawang sejauh setengah mil.
Akhirnya. Akhirnya penantiannya terbalas. Tidak sia-sia penderitaannya selama ini. Kesabarannya menunggu di tempat yang sangat miskin energi spiritual dan sangat tidak mendukung perkembangan budidayanya ini berbuah manis. Kitab maha sakti yang diperebutkan para jagoan di dunia persilatan selama ribuan tahun telah muncul, persis seperti ucapan mendiang gurunya, Resi Gyotama.
For your info. Para pendekar terdiri dari dua jalur yakni energi internal dan energi spiritual. Energi internal ditempa melalui pengembangan kekuatan dari dalam tubuh orang tersebut. Ini tergantung bakat. Semakin berbakat dia semakin kuat dia. Ini yang umum dipelajari masyarakat modern karena lebih mudah dan teknik mempelajarinya tidak hilang di telan oleh jaman.
Jalur kedua adalah energi spiritual. Pengembangannya tergantung dari teknik menyerap energi spiritual dari alam. Baca: bersemedi. Pendekar jenis ini di masa sekarang jumlahnya sangat langka, mengingat semakin sulitnya menemukan tempat yang kaya energi spiritual di dunia saat ini. Tekniknya pun tidak diajarkan secara masal, diwariskan dari guru ke murid pribadi dan seterusnya. Para pembudidaya ini terkadang diplesetkan menjadi dukun mengingat dekatnya mereka dengan alam gaib.
Yang mengembangkan teknik energi spiritual terdiri dari dua bangsa. Yang satu bangsa manusia. Umurnya lebih pendek. Dari tahun ke tahun rentang umur mereka kian pendek. Memasuki abad milenium, paling tua umurnya satu setengah abad. Rata-rata 75 tahun. Yang kedua bangsa jin. Umurnya lebih panjang. Bahkan ada yang berusia hingga berribu-ribu tahun. Hal ini wajar karena alam jin dengan alam manusia memiliki dimensi waktu yang berbeda. Jin berusia 100 tahun masih dalam wujud anak.
Tatsaka adalah pendekar energi spiritual dari bangsa jin. Umurnya saat ini seribu tahun. Sebelum gurunya meninggal, ia memberi tahu tentang kitab Maha Sakti bernama Sabdo Sang Hyang yang memiliki kemampuan mengendalikan dimensi waktu. Orang yang terpilih berkesempatan melakukan perjalanan waktu ke masa lalu atau masa depan untuk menempa bakatnya hingga ia menjadi penguasa alam gaib. Karena itulah, buku ini sangat diperebutkan. Sayangnya, Yang Terpilih selalu dari bangsa manusia.
Suatu waktu, dari kalangan bangsa jin menemukan teknik menumpang pada energi Yang Terpilih ini, untuk menyerap energi spiritual kitab Sabdo Sang Hyang. Teknik ini terus berkembang ke tingkat yang sangat berbahaya, sesat dan juga hitam. Teknik ini adalah teknik merebut kemampuan Yang Terpilih dengan cara membunuhnya terlebih dahulu sebelum ia berhasil menguasai kitab Sabdo Sang Hyang sepenuhnya.
Ini sangat berbahaya. Yang Terpilih tidak boleh dibunuh dengan cara yang tidak wajar agar tidak mengganggu keseimbangan alam spiritual dan manusia. Karena itulah, Resi Gyotama memerintahkan Tatsaka untuk mencari Yang Terpilih dan melindunginya.
Ia telah gagal beberapa kali. Dari sembilan Yang Terpilih, semuanya tidak ada yang berhasil keluar dari dimensi waktu kitab Sabdo Sang Hyang. Mati atau tersesat dalam perjalanan. Jika yang kesepuluh kalinya juga gagal, maka kitab Sabdo Sang Hyang akan musnah dan dimensi waktu akan kacau balau. Bangsa jin sekali lagi akan meraja lela di alam manusia dan menimbulkan bencana berdarah yang tiada henti.
Tatsaka yang masih satu garis keturunan jin umat Nabi Sulaiman tak ingin ini terjadi. Ia percaya jika bangsa manusia adalah inti kehidupan di dunia. Tanpa manusia yang saleh dunia hanya menuju pada satu tujuan, Kehancuran. Kiamat.
"Kitab Sabdo Sang Hyang sudah muncul, berarti Yang Terpilih juga akan muncul. Aku harus bersiap-siap. Kali ini, kegagalan bukanlah pilihan," katanya bermonolog penuh tekad. Matanya yang sehitam arang menembus kegelapan lorong gua. Berkilat dengan tekad yang kuat dan padat.
Sesudahnya, Tatsaka sibuk menyelesaikan senjata yang akan ia berikan pada Yang Terpilih. Senjata itu berupa cambuk dibuat dari bahan khusus. Ia ringan, tapi kuat, tajam, dan juga keras melebihi baja. Kelebihan lainnya adalah mampu menyerap energi spiritual lawan. Ini akan sangat membantu Yang Terpilih dalam menyelesaikan misinya.
40 hari lamanya, Tatsaka membuat cambuk itu. Ia memolesnya dengan hati-hati, memberikan sebagian esensi energi spiritualnya pada cambuk dengan tujuan untuk melindungi Yang Terpilih dalam perjalanan ke Dimensi Waktu dan sekaligus membantunya dalam kultivasi.
Tepat setelah senjatanya jadi, Yang terpilih pun muncul. Hati Tatsaka gemetar. Hatinya dipenuhi keluhan dan pesimistis jika Yang Terpilih ke-10 ini akan berhasil menyelesaikan tugas belajarnya. Diantara semuanya, Yang ke-10 ini yang paling lemah. Baik konstitusi fisik maupun mental. Ia bahkan tidak merasakan tautan energi spiritual sedikit pun. Sangat mudah benaknya diinfiltrasi. Sama sekali tak ada perlawanan. Jika seperti ini bukankah dia tampak seperti domba yang siap disembelih?
Kepala Tatsaka menunduk tertekan. Dengan yang lebih baik dari yang ini saja mereka masih gagal, lalu bagaimana dengan yang ini? Ia menghembuskan nafas. Yang bisa dilakukannya adalah berdoa dan juga pasrah. Biarlah alam yang menjawabnya. Tugasnya adalah menuntunnya pada kitab Sabdo Sang Hyang dan melindunginya dari jauh.
Sesudah menyelesaikan setengah dari tugasnya, Tatsaka kembali bersemedi. Ia menumpulkan indra-indranya. Ia baru membukanya saat gempa spiritual mengguncang kediamannya. "Celaka! Ada yang ingin membunuh Yang Terpilih," pekiknya panik. Ia tak menyangka musuh begitu bernafsu hingga mereka tidak sabar mengambil nyawa Yang Terpilih sesaat setelah jiwanya terhubung dengan kitab Sabdo Sang Hyang.
Tatsaka bergegas pergi meninggalkan gua. Ia mengubah wujudnya menjadi naga, memasuki lorong gua bawah tanah agar lebih cepat sampai lokasi. Jantungnya tersentak kuat saat ia tiba di lokasi dan melihat tubuh Yang Terpilih mengapung di atas udara. Di sebelahnya lagi ada sosok menakutkan Barongan yang sepertinya terluka parah karena aroma tebal darah tercium dari tubuhnya.
Tatsaka hampir terbang untuk menyelamatkan Yang Terpilih. Ekornya menjulur panjang untuk membungkus tubuh Yang Terpilih, tapi ia terlambat sebuah cahaya yang sangat kuat menelan tubuh Siluman Barongan dan Yang Terpilih, pertanda jika pintu dimensi waktu sudah terbuka. Ia pun tergesa-gesa mengeluarkan energi spiritualnya, memadatkannya menjadi lapisan pelindung untuk menjaga organ vital Yang Terpilih jikalau tubuhnya jatuh membentur dasar tanah yang terjal di tempat ia mendarat nanti. "Hanya ini yang bisa ku lakukan. Semoga kau berhasil." Katanya dan lalu menghilang, kembali ke kediamannya di Gua Terawang.
Skip Time
Wajah Tatar pucat pasi. Ia mengalami syok berat. Ia baru menyadari betapa berartinya hitungan detik. Hanya tertinggal lima detik dan Dee yang sebelumnya hidup dan sehat, kini tidak diketahui hidup matinya. Tangan yang sempat menyentuh tangan Dee gemetar hebat. Kenapa? Kenapa ia harus lebih lambat? Pikirannya berantakan penuh sesal.
Dolis dengan kemampuan batinnya berusaha menjangkau kesadaran Dee di dimensi lain. Butir-butir keringat dingin menghiasi dahi dan lehernya. Kepalanya bergerak resah. Matanya bekerjaban menahan sakit yang mensayat-sayat kepalanya, lembar demi lembar. Tapi, Dolis bertahan. Demi Dee yang tidak diketahui hidup matinya.
Dengan mata batinnya, Dolis hanya melihat kegelapan. Kegelapan yang mengerikan sedang membungkus Dee dan menyembunyikannya jauh dari pancaran cahaya. Semakin ia mendekat semakin kuat tekanannya. Kini, ia mencium aroma kematian mengintip. Sangat dekat. Hati Dolis merosot. "Dee!" Ia memanggil nama Dee dalam benaknya, cemas. Lalu, sebuah pusaran energi dengan kasar mendorongnya kuat-kuat hingga tubuhnya terjengkang dan ia muntah darah. Perlahan, kesadarannya ditarik. Kegelapan pun menelan kesadaran Dolis.
"LIS!" Jerit Lasminto yang sangat dekat dengan Dolis panik. Di saat seperti ini, Dolis adalah andalan mereka. Jika ia gagal, berarti... berarti. Wajah Lasminto pucat seperti selembar kertas HVS.
Sari Tresno si Big Goss, untuk saat ini mendadak berubah jadi yang bisa diandalkan. Ia mengambil alih kepemimpinan, karena Tatar yang syok, terguncang secara psikis tidak akan mampu menghandlenya. "Puah, Ruri, Astri dan kau, Parjo, bawa para peserta kembali ke lokasi camping. Lasminto dan Joko Ngadi mengurus Dolis yang masih tidak sadarkan diri. Ngasiman dan Andre hubungi pihak desa dan beritahu kecelakaan ini."
Sari Tresno menoleh pada jurang yang menganga dan gelap. Hatinya tenggelam dalam emosi yang rumit. "Sisanya, bantu aku menyelidiki kondisi Dee. Hidup atau mati. Jika masih hidup, beri secepatnya pertolongan pertama pada kecelakaan. Jika ia..." Nafas Sari Tresno kian berat. Ia tak ingin memikirkan choice ini. Ini terlalu menyakitkan hati dan ia khawatir... Sari Tresno melirik Tatar prihatin. Trauma Tatar akan mengambil bentuk permanen. Secara tidak langsung, itu akan merusak masa depannya.
"Biar aku yang turun. Aku sudah pernah ikut pelatihan panjat tebing." Candra mengajukan diri sebagai volounter.
"Kau yakin?" Tanya Sari Tresno memastikan.
"En," sahut Candra dengan ekspresi serius. Saat ini, ia sedang dikejar oleh waktu. Kondisi Dee harus segera dikonfirmasi. Terlambat sedikit nyawa yang jadi taruhannya. Banyak kasus korban kecelakaan awalnya masih hidup, namun karena proses penyelamatan yang lambat, korban pun tak bisa diselamatkan. Dan, Candra tak ingin ini terjadi pada rekan Sakanya. Meski tak begitu akrab, setidaknya, ia masih memiliki respek baik pada Dee.
Candra dengan cekatan memakai full body hardness yakni alat penopang tubuh yang terikat di pinggang sebagai alat pengaman yang dihubungkan dengan tali. Selanjutnya, ia mengikat dengan simpul mati tali karmantel pada pohon yang kokoh. Untuk menyetabilkan ikatan, Candra memasang cincin carabiner. Cincin yang sama ia hubungkan antara tali carabiner dengan full body hardnessnya. Ia mengetes ikatan. Sesudah pasti kuat, baru ia berani turun.
Tubuh Candra melayang di udara, bak burung yang sedang mengembangkan sayapnya untuk membelah langit. Tangan Candra menggenggam erat alat descender yang memungkinkan dirinya tidak terjun bebas dan sekaligus kulit tangannya melepuh akibat kuatnya gaya gesek.
Sayangnya kedalaman jurang tidak bisa dicapai oleh tali karmantelnya. Candra dengan cerdik berhasil menemukan celah diantara tebing batu sebagai panjatan untuk mengurangi bobot mati badannya. Dengan berkurangnya beban, ia bisa menggunakan sebelah tangannya yang bebas untuk menyorot ke bawah celah. Jaraknya tidak terlalu dalam. Hanya tinggal satu setengah meter dari posisinya saat ini. Jika ia langsung terjun, ia sudah bisa mencapai tempat Dee. Tapi...
Candra menyipitkan matanya. Senternya bergerak, menyapu semua dinding cerukan, memastikan tidak ada yang terlewat. Cerukan itu tanpa lubang lorong menuju tempat lain dengan ukuran luas 2 x 3 meter. Menurut teori, dengan menghitung arah dan kecepatan Dee turun, seharusnya ia mendarat di cerukan itu. Tekankan pada kata seharusnya. Namun faktanya, tubuh Dee tidak ada. Her body is gone. Di sini bagian anehnya.
Candra ingin turun ke bawah untuk memeriksa, akan tetapi instingnya mengatakan untuk segera scram, angkat kaki dari sini. Tubuhnya menggigil hebat hingga tubuhnya hampir meluncur ke bawah karena berkeringat dingin. Matanya membelalak lebar, ketakutan yang amat sangat. Ia merasakan ada aura jahat yang sedang mengintainya. Itu... Candra menelan ludahnya kasar mungkin... aura mistis milik...
Candra dengan gerakan cepat dan efisien menarik tali, memberi isyarat agar temannya menariknya ke atas. Ia tidak punya tenaga apalagi keberanian untuk turun ke bawah. Terlalu menakutkan untuk ditanggung oleh indra-indranya. Lihat! Tangan dan kakinya seperti jelly yang tak memiliki tulang dan syaraf untuk bergerak saking ngerinya.
Candra tipe orang yang logis. Ia sejujurnya seorang pemberani, namun ia bukan tipe pemberani-idiot. Ia tidak akan bercanda dengan hidupnya, sok berani maju ke depan padahal tahu di depan ada mulut singa sedang membuka lebar siap untuk menelannya secara utuh. Sebaliknya, sebelum yakin itu sesuatu yang ada dalam wilayah kekuasaannya, ia tak berani menyentuh ataupun turun tangan. Dan, kondisi dimana ia tak berani bertindak sembrono adalah daerah yang menyangkut hal-hal mistis. Sebisa mungkin menghindar.
Candra percaya jika yang menunggunya dibawah adalah... ia bergidik. Ia tak berani memikirkannya. Setidaknya sampai ia berhasil tiba di tempat yang aman. Ia akan menyerahkan sepenuhnya masalah ini pada Dolis. Wilayah ini yang bercampur dengan hal-hal mistis adalah koridor yang dikuasai Dolis. Ia yang hanya orang awam, bukanlah tandingannya.
"Bagaimana?" Seru Puah yang menolak kembali ke tenda langsung menodong Candra. Hatinya dipenuhi kegelisahan akut. Oh, ya Allah semoga Dee baik-baik saja. Ia terus-menerus berdoa dan berharap sahabat baiknya selamat. "Dee... Dee masih... hidup kan?" tanyanya dengan hati was-was. Menilik ekspresi mati Candra, pikiran buruk mulai menginvasi otaknya. Jangam katakan! Please jangan katakan Dee... Otak Puah macet, berasa lumpuh.
Candra tidak menjawab. Ia berjalan lurus menghampiri Dolis yang baru siuman. Ia hendak membuka mulutnya, tapi Dolis sudah menanyainya lebih dahulu. "Kau tidak menemukan Dee?" Tanyanya dengan nada cemas. Wajahnya pucat hingga hampir seputih kertas.
Candra menatap Dolis dalam cahaya pengagungan. Ia belum memgucapkan sepatah kata pun, tapi Dolis sudah mengetahuinya lebih dulu. Candra tidak menjawabnya. Ia hanya mengangguk sebagai jawaban.
Suasananya langsung jatuh dalam keheningan yang mencekam. Tidak ada satu pun dari mereka yang ingin bersuara. Pikiran tiap orang berantakan khususnya yang berhubungan dengan peristiwa sesaat sebelum Dee menghilang. Sesal dan sedih menyengat hati mereka. Seharusnya ini jadi hari yang paling berbahagia, menghabiskan waktu untuk bersenang-senang bersama teman-teman. Tapi, satu kesalahan merubahnya menjadi hari penuh duka.
Tatar yang masih terjebak dalam trauma psikis terduduk lunglai di tanah. Baru sekarang ia menyadari arti hitungan detik. Kurang dari satu menit yang ia butuhkan untuk meraih tangan Dee, tapi ia gagal. Kini, Dee tidak hanya terjatuh ke dalam jurang seperti persangkaannya semula. Dia hilang tanpa jejak bagai ditelan bumi. Duak! Tatar memukul batang pohon untuk melampiaskan amarahnya. Buku jarinya memar hingga berdarah menunjukkan kekuatan pukulannya.
Di sisi lain, Puah di samping Yeti menangis tersedu-sedu. Kepalanya terus menggeleng-geleng, menolak percaya. "Tidak. Bohong. Semua ini bohong. Dee tidak mungkin hilang di udara tipis. Pasti kau yang tidak teliti mencarinya." Sangkalnya.
Candra membuka mulutnya, berniat membela diri, tapi ia menutup mulutnya kembali. Melihat tatapan putus asa Puah, kesedihannya yang mendalam, membuat ia tidak tega mengungkap kebenaran pahit ini. Yach adagium populer dewasa ini ada benarnya, jika tak semua kejujuran berbuah manis. Seringkali pahit. Ada kebahagiaan tersendiri dalam ketidak tahuan.
Dolis terdiam, merenungkan semuanya. Ia sudah memiliki firasat samar begitu ia menginjakkan kaki di depan gapura Gua Terawang. Ia merasa ada sebuah kekuatan tak kasat mata tengah mengintai mereka. Atau, tepatnya Dee. Tuhan di atas sana tahu betapa takutnya Dolis. Betapa ia sudah bekerja keras mencegah hal buruk ini, tapi malang tak bisa ditolak untung tak bisa diraih. Dee hilang tepat di depan matanya.
Tes tes tes...
Bulir-bulir air mata mengalir membasahi pipinya. Ia sedih merasa sangat buruk. Baru hari ini Dolis tersadar betapa lemahnya dia hingga ia gagal menyelamatkan orang yang dalam hatinya ia akui, ia sayangi. "Dee..." desahnya lirih penuh duka. Dolis bangkit dan melangkah pergi meninggalkan kerumunan.
"Kau mau apa?" Tanya Candra penasaran dan juga khawatir. Dolis belum pernah terlihat lemah tak berdaya seperti ini. Kecelakaan Dee telah memberi pukulan pada mentalnya dengan sangat banyak.
Dolis tidak melambatkan langkahnya. Dengan cekatan ia mengatur perbekalannya seperti air minum dan senter. Ia tidak membawa obat karena kotak P3K ada di tangan Dee.
"Lis?" Panggil Candra dengan nada cemas.
Dolis menjawab tanpa menoleh. "Aku ingin menyelidikinya. Siapa tahu ada petunjuk." Ia berjalan dengan punggung tegak lurus menyerupai tiang bendera saat berjalan. Bahunya yang lebar memberi kesan jika ia adalah orang yang bisa diandalkan. Sampai di bibir tebing, barulah ia menoleh pada Candra. "Silahkan pimpin jalan!" Pintanya, meminta Candra untuk memandu.
"Err..., silakan duluan! Aku akan mengajarimu caranya." Candra mengatakannya dengan pipi merona malu.
Sudut mulut Dolis berkedut, tapi ia tidak berniat memperpanjangnya. Ia setuju untuk turun lebih dulu. Ia melakukan repling dibawah bimbingan Candra karena ia belum pernah mendapat materi ini. Apalagi praktek. Meski demikian, ia tidak terlihat canggung dan kaku. Sebaliknya, gerakannya sangat alami seolah-olah ia sudah melakukannya berkali-kali. Ia berhasil meluncur ke bawah diikuti Candra dan Sari Tresno yang setuju masuk dalam tim berturut-turut.
Dolis menjejakkan kakinya kuat-kuat ke tanah kering di bawah kakinya. Ia baru memberi isyarat jika ia berhasil mendarat dengan selamat, ketika hawa mistis menyerangnya. Hawanya menyerupai anak panah yang menusuk tajam sekujur tubuhnya hingga tubuhnya limbung.
Candra yang turun setelahnya dengan sigap membantunya menyetabilkan tubuhnya. "Astaga! Kau masih sakit?" Tanya Candra terdengar kalut. Ia yang tak pernah mengurus orang sakit kebingungan. Tangannya bergerak acak.
"Aku baik-baik saja. Tidak usah cemas." Dolis berusaha mengucapkannya dengan normal untuk mengurangi kepanikan total temannya. Diam-diam, ia menahan rasa sesak di dadanya.
"Kau yakin?" Tanya Candra sangsi. Ia menggosok-gosok tengkuk yang kembali meremang begitu ia menginjakkkan kaki di tempat ini lagi. Hawa mistis yang ia rasakan sebelumnya muncul lagi, meski tidak seintens sebelumnya. Ia memiliki firasat kuat jika ini adalah tempat yang tidak boleh ia provokasi dan ia sentuh serampangan.
"En." Dolis lalu memutar senternya, memindai seluruh tempat. Matanya beredar mencari jejak yang berbeda. Ia melangkah ke tempat yang membuat rambutnya tegak. Aura mistisnya sangat kental. Ia berjalan sambil komat-kamit membaca ayat-ayat suci. Sari Tresno yang muncul paling terakhir membantu Dolis meencari jejak di tempat yang berbeda. Matanya memindai setiap sudut dan jengkal tanah.
Candra menggigit bibirnya. Pikirannya kusut terjebak dalam dilema antara bergabung dengan dua temannya mencari jejak Dee atau menjauh sejauh mungkin karena rasa takut yang amat sangat mencengkram hatinya. Huff! Ia menghembuskan nafas panjang, menenangkan dadanya yang bergemuruh. Dengan tangan terkepal erat dan sepotong sisa keberaniannya, ia buru-buru menghampiri dua orang temannya. Sekarang bukan saatnya takut. Sekarang waktunya berani karena setiap detik berharga.
Candra buru-buru memgikuti Dolis yang ia nilai lebih kompeten daripada Sari Tresno. "Bagaimana? Kau menemukan sesuatu?" Tanyanya melihat Dolis menunduk dengan wajah serius.
"Mungkin." Sahut Dolis tidak yakin. Jemari tangannya menyentuh jejak tidak wajar di tanah. Jarinya dengan sabar mengikuti tiap garis dan lekukan, menebak kira-kira apa jejak ini. Jejak yang ditinggalkan berupa parit selebar 25 cm dan sedalam 10 cm dan juga panjang. Entah jejak apa. Tekstur dindingnya halus seperti bukan hasil dipacul, melainkan dibor langsung. Tanahnya terlihat basah dan berwarna hitam segar seperti baru digali. Kening Dolis mengerut. "Ini..." gumamnya ragu.
Debaran di jantungnya kian kuat. Thump thump thump! Ini mirip jejak tubuh ular yang melata. Pikirnya. Tapi, ular apa yang sebesar ini? Ini bukan jejak naga seperti mitos yang ia dengar tentang Gua Terawang, kan? Dolis menghisap udara untuk menenangkan debaran jantungnya. "Tolong bantu aku dengan doa," pinta Dolis pada Candra seraya fokus meneliti jejak mencurigakan itu. Paritnya panjang sedikit meliuk-liuk dan berakhir pada ujung cerukan dasar jurang. Di dekat dinding cerukan ada jejak seperti motif sisik roda mobil. Tapi.., mobil mana yang akan melewati tempat ini? Pikiran Dolis semrawut. Semakin dekat dengan kebenaran, semakin takut dia.
"Hey kemarilah!" Teriak Sari Tresno dari arah yang berbeda.
"Kau menemukan sesuatu?" Tanya Candra antusias.
"Lihat saja sendiri!" Balas Sari Tresno.
Di dinding cerukan, Sari Tresno menemukan sobekan kulit berwarna hijau dengan corak khusus. Ia menunjukkannya pada dua rekannya.
"Apa itu?" Tanya Candra yang terus menempel di punggung Dolis seperti ekor tambahan. Sobekan kulit dengan corak garis strip warna hijau bersisik. Ini mengingatkan Candra pada hewan bertubuh panjang, lembek, berlendir, tak punya tangan dan kaki. "Ini tidak seperti yang ku pikirkan, kan?" Cicitnya dengan wajah pucat pasi.
Sari Tresno tersenyum miring, menggoda Candra. "Kau takut ya? Ha ha... Tidak ku sangka Candra yang macho ternyata takut ular." Ejeknya.
"Jangan bercanda!" Tukas Candra penuh keluhan. Jantungnya berdebar-debar. Matanya jelalatan, menyapu seluruh cerukan, takut hewan yang ditakutinya muncul. Jujur, ia tidak begitu takut dengan ular. Hanya jijik. Tapi, lain ceritanya jika jumlahnya banyak. Kakinya melangkah mundur ke arah tali yang akan membawanya pergi dari tempat berbahaya ini. "Jangan bercanda di tempat seperti ini, oke? Di sini seram." Imbuhnya lirih menyerupai cicitan tikus. Ia terus-menerus mengusap tengkuknya yang merinding.
"Candra benar. Jangan bicara sembarangan di tempat ini." Dolis menengadah menatap langit yang mulai gelap. "Hari sudah hampir gelap, lebih baik kita meninggalkan tempat ini." Dolis mengatakannya dengan wajah cemberut. Ia bangkit dari posisinya menghampiri Candra yang sudah siap kabur. "Sari Tresno yang naik lebih dahulu. Selanjutnya Candra dan terakhir aku."
"Lalu, bagaimana dengan Dee?" Tukas Sari Tresno tidak setuju. Ia termasuk pemberani. Tidak takut menghadapi hal-hal berbau mistis karena pondasinya sudah kuat. Satu-satunya yang ia takuti adalah menghadapi soal matematika yang bejibun banyaknya. Jangankan menjawab, melihatnya saja ia sudah pusing tujuh keliling.
"Kita akan membicarakannya nanti di tempat yang tepat dan itu bukan di sini. Cepatlah sebelum matahari tenggelam." Dolis menyuruh Sari Tresno cepat memanjat.
Sari Tresno tidak lagi protes. Ia segera memanjat ke atas dengan posisi setengah memanjat dan setengahnya lagi ditarik ke atas oleh teman-temannya yang menunggu di atas. Candra urutan kedua. Ia bergerak cepat ke atas, menunjukkan kepiawaiannya dalam urusan panjat tebing. Mungkin karena dipengaruhi oleh kebutuhan untuk mencari tempat yang aman. Terakhir Dolis yang cerdas secara alami bisa menduplikasi teknik Candra dalam memanjat tebing. Sama persis.
Sang matahari sore menyapu lembut tubuh Dolis begitu ia tiba di atas. Eh! Ia tersentak melihat suasana ramai hiruk pikuk. Banyak warga desa sekitar yang berdatangan bercampur dengan teman-temannya. Entah untuk memberi bantuan atau sekedar dorongan rasa ingin tahu. Lasminto memberi penjelasan kronologis peristiwa kecelakaan yang menimpa kawan mereka, menggantikan Tatar yang masih terjebak dalam jebakan trauma psikis.
"Bagaimana?" Tanya Puah bergegas menghampiri Dolis dkk diikuti yang lainnya.
"Tidak ada jejak Dee di bawah. Tidak ada bekas orang jatuh. Barang yang tercecer pun tidak ada. Bekas darah pun tidak. Kami hanya menemukan selongsong kulit ular di bawah." Aku Dolis memaparkan hasil penyelidikannya.
"Mungkin teman kalian jatuh di tempat lain." Ujar Pak Marno selaku kepala desa.
"Tidak mungkin, Pak. Teman kami, Dee, jatuh dari sini. Kami semua melihatnya dengan mata kepala kami sendiri." Sanggah Puah. Ia melangkah hati-hati menunjuk bekas tanah yang dipijak Dee sebelum jatuh ke tebing, sebagai saksi perjuangan Dee. "Lihat! Di sini ada bekas goresan kuat pada kulit batang pohon ini. Di sini ada bekas ceceran darah dan sobekan kain pada lengan baju Dee. Ini adalah bukti memang di tempat inilah Dee terakhir sebelum jatuh ke dalam jurang."
"Mungkin ia tertiup angin."
¬_¬ Puah speechless. Kehilangan kata-kata. Kok ada ya kepala desa sebodoh ini di dunia ini. "Teman kami manusia dengan bobot mendekati 50 kg, bukannya kertas. Mana mungkin ia tertiup angin. Hari ini bahkan angin bertiup lembut." Ujarnya.
"Ya mungkin saja." Pak Marno dengan keras kepala bersikukuh pada pendapatnya. Ia lebih percaya jika remaja putri malang itu terjatuh di tempat lain daripada hilang tanpa jejak di udara tipis. Itu lebih tidak masuk akal.
Pencarian dilanjutkan selama berhari-hari dan diperluas, tapi Dee tidak juga ditemukan menyisakan duka yang mendalam pada orang-orang yang ia tinggalkan. Berita hilangnya Dee saat camping di Gua Terawang menjadi berita hit tahun itu. Banyak media khususnya yang berbau klenik meliputnya. Para paranormal bahkan didatangkan untuk mencari jejak Dee, tapi mereka juga gagal. Jika ada yang bilang menemukan jejak, itu adalah sebuah kebohongan besar.
Pasca hilangnya Dee, nasib Astri kian terpuruk. Banyak yang mencercanya. Bahkan ada yang dengan tidak masuk akal menuduhnya mendorong Dee hingga jatuh ke jurang karena iri. Hubungannya dengan Ruri pun mendingin. Apapun itu faktanya Dee hilang tertelan dalam misteri yang melingkupi Gua Terawang.