Di dalam tenda, Dee mengemas tasnya. Ia memasukkan kotak P3K, air minum, camilan dan barang-barang yang kira-kira diperlukan. Tak lupa ia menenteng jaketnya dengan sebelah tangannya. Ia tahu udara sedang terik-teriknya tak cocok dengan jaket yang tebal dan cenderung membuat gerah, tapi Dee berfikiran lain. Menurutnya jaket ini akan melindunginya dari sengatan matahari. Ia nggak mau habis camping nanti, kulitnya jadi keling alias gosong.
"Dee!" Panggil Tatar dari luar tenda.
Dari nada bicaranya, Dee tahu jikalau Tatar sedang kesal padanya karena terlalu lama menunggu. Tapi, Dee cuek. Bodo amat. Ia saja nggak perduli dengan perasaannya. Suruh siapa melemparnya ke tim P3K? Dengan tubuhnya yang mungil dan rapuh juga kebodohannya dalam merawat orang, ia adalah pilihan terburuk di tim P3K. Sadisnya lagi, Dee ditempatkan dengan Ruri dan Astri, musuh besarnya untuk saat ini. Apa itu namanya kalau bukan penyiksaan?
"Dee!" Panggil Tatar lagi. Lebih dari sekedar kesal. Ada kemarahan terpendam tercampur dalam nadanya.
"Ya. Sebentar lagi," sahut Dee setengah berteriak. Dia dengan cekatan mengenakan jaketnya. Tasnya ia cangklong di punggung. "Aku siap. Yuk!" Katanya sambil memamerkan senyum lebarnya.
Bibir Tatar berkedut. "Apa-apaan ini, Dee? Kita ini cuman menjelajah di sekitar kawasan Wanawisata Gua Terawang, bukannya menginap di alam terbuka." Katanya gemas. Giginya terdengar saling beradu saat mengatakannya. "Kau tak perlu bawa barang sebanyak ini." Imbuhnya dengan mata melotot garang pada tas Dee yang menggembung.
"Nggak usah bawel. Tenang aja. Gue nggak bakalan nyuruh elo bawain ini." Katanya acuh. Wajahnya agak sedikit cemberut. "Tunggu apalagi? Ayo lekas berangkat! Nanti yang lain ngomel."
Tatar menelan cairan asam di kerongkongannya. Kan tadi Deenya yang lelet, yang bikin mereka terlambat. Eh, sekarang ia bertingkah seolah dialah yang menghambat. "Dasar cewek! Nggak jelas." Gumamnya ngedumel lirih menyusul Dee yang berjalan jauh di depan.
Jika bukan karena pesan Dolis sebelum berangkat ke posnya yang telah ditentukan, Tatar juga enggan merawat cewek centil sok manja ini. Pagi itu, dengan wajah serius, Dolis menghampirinya. Ia tanpa basa-basi memintanya untuk bicara empat mata. "Nanti, selama gue nggak ada, apapun yang terjadi, jangan sampai elo berpaling dari Dee." Katanya lugas begitu mereka hanya berdua saja.
Sudut bibir Tatar terangkat sedikit membentuk senyuman yang menambah ketampanannya. "Maksud loe, gue harus jadi ekornya Dee?" Katanya dengan nada bergurau.
Dolis mengangguk tanpa ragu.
Tatar sweatdrop. Ceile..! Yang lagi kasmaran. Belum juga jadian, sudah posesif amat sih, Bro. "Termasuk ke toilet?" Goda Tatar.
"Pastikan, ada orang lain yang menemaninya."
Bibir Tatar kembali berkedut. "Loe perhatian sekali sama Dee. Elo naksir?" Tanyanya ingin tahu.
Dolis terdiam. Kedua alisnya berkerut. Matanya berkilat spekulatif sebelum kembali tenang. "Mungkin." Ujarnya ambigu. Tidak mengiyakan, tapi tidak pula menepisnya. "Ingat pesan gue!"
Gara-gara permintaa Dolis itulah, Tatar yang tidak sabaran, yang paling tidak suka menunggu. Khususnya menunggu cewek berbenah, hari ini dengan segala kebesaran hatinya menelorir keterlambatan Dee.
Mereka berdua berjalan berdampingan, menyusuri jalan setapak menuju pintu gerbang Wanawisata Gua Terawang. Di depan sana, sudah ada orang lain yang menunggu mereka. Dilihat dari jaraknya yang sangat dekat dan posisinya yang terbilang intim, orang lain tak mungkin salah mengartikan hubungan keduanya. Mereka adalah Ruri-Astri. Pasangan kekasih yang baru jadian seminggu ini. Keduanya agak menjauh begitu Tatar mendekat, sekedar memberi wajah pada Tatar.
"Kita berangkat sekarang?" Tanya Ruri.
"Ya." Sahut Tatar memberi Ruri bahu dingin. Awalnya, ia cukup simpatik pada Ruri yang sekolah di STM. Ia cukup berbakat dan terampil di bidangnya. Tapi, setelah tahu ia suka selingkuh, nilai baik Ruri di mata Tatar langsung minus.
Tatar paling benci pengkhianatan. Sesuatu yang tak termaafkan. Lebih-lebih pada kekasihnya. Ia pikir, jika pada kekasihnya saja ia tega mengkhianati apalagi pada orang asing yang hanya kenalan. Karena itulah, Tatar menjaga jarak darinya. Hanya menjadikannya kenalan bukan orang kepercayaan.
Melihat reaksi Tatar yang acuh, perut Astri terasa asam. Ia tidak terima dicuekin khususnya oleh Cogan (Cowok Ganteng) nan populer seperti Tatar. Jangankan diajak bicara, dilirik saja tidak. Itu sangat menyinggung perasaannya.
Kemarahan Astri kian berkobar melihat bagaimana perhatiannya Tatar pada Dee, cewek jelek otak pas-pasan yang jauh lebih rendah levelnya darinya. Kebanggaannya seperti diinjak-injak. Dengan amarah yang berkobar di dada, Astri melempar tatapan beracun ke punggung Dee yang telah mencuri perhatian yang seharusnya miliknya.
Menyadari pasangan Astri-Ruri tidak menyusulnya, Tatar pun membalikkan tubuhnya, menghadap ke belakang. "Tunggu apalagi?" Tanyanya dengan wajah mengerut jelek. Ia paling benci terlambat. Lebih benci lagi orang lelet. Mulutnya terasa gatal untuk memakinya. Jika tidak demi memberi wajah pada Ruri, ia tidak akan segan-segan menahan diri.
Astri membuka mulut hendak membantah, tapi Ruri menghentikannya. "Turuti saja. Dia itu benci keleletan."
Wajah Astri kian jelek. Bibirnya komat-kamit ngedumel tidak terima. "Kok gue sih yang disalahin? Gue udah siap dari tadi kali." Dumelnya lirih. Matanya melempar tatapan sengit pada Dee yang tampak tersenyum bahagia. Hatinya seperti digaruk, merasa tidak bahagia melihat Dee bahagia. Apalagi tertawa. Dia sangat tidak bahagia.
Sejak kecil, Dee memang seperti itu. Ia seperti seleb yang secara alami selalu dikelilingi oleh orang-orang yang memujanya. Berjemur dalam kemuliaan tinggi. Padahal, Dee itu dalam satu lirikan bisa digambarkan biasa saja. Standar dari segi manapun memandang. Tidak ada yang istimewa. Akan tetapi, entah kenapa ia tak pernah kekurangan barisan pengikut.
Berbeda dengannya yang harus penuh perjuangan, belajar keras, bekerja sungguh-sungguh all-out, selalu tersenyum menjilat untuk dapat memperoleh sinar seorang ratu yang dipuja seperti Dee. Jurang perbedaan mereka terlalu dalam dan lebar hingga sulit disebrangi. Hal ini perlahan menumbuhkan setan hati di hati Astri dan meracuninya. Lalu bersemailah kedengkian dan kebencian. Di otaknya terpatri pikiran untuk selalu merebut apapun milik Dee dan membuatnya hidup dalam ketidak bahagiaan.
Kesempatan itu muncul saat hubungan Dee dengan kekasihnya merenggang karena beda sekolah. Saat itulah Astri menyusup masuk menjadi roda ketiga. Dengan mengandalkan kecantikan, kelemah lembutan sisi feminimnya, dan perhatiannya, Astri berhasil memalingkan Ruri dari Dee. Dengan menjadi kekasih Ruri, ia berharap dapat berjemur dalam kepopuleran dan jadi sasaran iri hati orang-orang sama seperti yang diterima Dee.
Dee pikir ia tak sengaja memergoki perselingkuhan mereka. Yang tidak diketahuinya, Astrilah yang sengaja memperlihatkannya untuk mempercepat mereka putus. Ia ingin Ruri tidak punya pilihan lain selain memilihnya. Rencananya berhasil sukses di paruh awal. Tapi, ia lupa menghitung dampak negatif sebagai pelakor.
Sejak dicap sebagai pelakor, nilai baik Astri tergerus dalam. Antara kepuasan melihat Dee terluka dengan jatuhnya imagenya, itu tidak sebanding dan Astri rugi besar. Inilah yang membuatnya tidak puas dengan hubungannya dengan Ruri.
"Bisa nggak lebih cepat jalannya? Kita sudah sangat terlambat ini." Gerutu Tatar. Ia tidak menyebutkan nama, tapi semua orang tahu pada siapa kalimat itu ditujukan.
Astri tidak menyahut. Dengan wajah yang kian cemberut, ia berjalan cepat, berusaha mengimbangi langkah panjang Ruri dan Tatar.
Mereka berjalan di bahu jalan yang tak beraspal agar tidak mengganggu para pemilik kendaraan yang lewat. Mereka melakukan perjalanan dalam keheningan. Maklum tiga dari mereka memiliki hubungan yang sangat buruk.
Tak terasa perjalanan mereka sampai di pos 1, ternyata para junior sudah berangkat semua ke pos 2 dan menurut senior yang jaga pos 1 tak ada yang luka. Mereka pun kembali berangkat melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka tak lagi bertiga, teman-teman di pos 1 juga ikut menemani mereka. Mereka saling ngobrol sehingga suasana lebih ramai kecuali Dee. Ia lebih sibuk memotret tanaman liar, pemandangan dll dari pada terlibat dalam pembicaraan nggak penting.
"Loe motret apaan sih dari tadi? Kayaknya asyik betul," Tegur Yeti heran.
"Rumput." Jawab Dee singkat yang hanya diberi tatapan aneh Yeti.
"Apa bagusnya rumput?" Komentar Puah ikutan nimbrung. Mumpung lagi nggak sibuk.
"Rumput itu ya rumput," sahut Dee asal.
"????" Kata Puah dan Yeti.
"Ya gue lagi ingin aja motret rumput. Nggak ada alasan khusus. Just for fun." Dalih Dee.
Puah dan Yeti saling pandang. Tatapan mereka berubah jadi prihatin. Apa gara-gara putus dari Ruri, Dee berubah jadi eror begini? Dari kemarin, sejak mereka tiba di bumi perkemahan Gua Terawang tingkah Dee aneh banget. Ia sibuk motret tanaman liar, sering linglung, dan terlihat sangat gelisah. Kalau ditanya jawabannya selalu 'tak ada apa-apa."
Dia juga terlihat sering memisahkan diri dari teman-temannya dan memilih menyendiri di suatu tempat. Meski sudah dibujuk, selain untuk kegiatan camping, Dee enggan bercampur. Jika ditanya alasannya, "Lagi ingin merenung." Dia bertingkah seolah-olah tak ingin lagi berhubungan dengan teman-temannya.
Yeti dan Puah menghela nafas panjang. Mungkin ini yang terbaik untuk Dee. Mungkin, dengan menyendiri Dee akan lebih bisa merawat luka-luka batinnya dan pada akhirnya Dee yang mereka kenal, yang riang bisa kembali lagi.Setidaknya, dengan menyendiri, Dee tidak perlu melihat pasangan menjijikan itu bersama. Pikir keduanya berpositif thinking.
Pos demi pos tim P3K lalui. Rekan mereka yang menjaga pos ikut bergabung karena memang itu rutenya, sekalian membantu rekan mereka yang berjaga di pos di depan. Akhirnya mereka sampai di pos 3. Mereka beristirahat sejenak. Dia bertemu orang yang ingin dihindarinya. Siapa lagi jika bukan dua orang paling rese yakni Big Goss kita, Lasminto dan Sari Tresno.
"Eh, Dee." Sapa Lasminto sambil tersenyum malas.
Dee tertegun, waspada melihat mata Lasminto yang berkilat spekulatif. Ini tidak bisa lebih salah lagi. Ia pasti tengah merencanakan sesuatu yang buruk yang pastinya tidak Dee sukai. Ia memijit dahinya yang berdenyut. Astaga! Apa sekarang aku yang jadi sasaran gosip dua Big Goss ini? Dee mengerang penuh keluhan. Wajahnya tidak sedap dipandang.
Lasminto sok akrab, langsung merangkul dengan intim bahu Dee. Ia dengan sengaja agak menjauhkan Dee dari ekornya yang tidak imut, alias Tatar. Ia pura-pura berbisik sambil mencuri-curi pandang nakal Tatar. "Katakan padaku! Apa dari tadi 'Dia'..." Lasminto melirik Tatar untuk menjelaskan orang yang dimaksud.
Tapi, sebelum Lasminto sempat meracuni otak Dee dengan prasangka dan rumor liar, Tatar menarik Lasminto pergi. Niatnya memang begitu. Namun, karena Dee berganti posisi tanpa pemberitahuan, ia justru salah menarik tangan Dee. Tatar terkesiap, salah fokus. Jadi salah tingkah sendiri. Wajahnya memerah hingga ke telinga. "A-ano maaf. Gue..." Tatar meminta maaf.
"Ciee... ciee.., ehem ketua. Ternyata gerak cepat." Goda Sari Tresno. Alisnya naik turun dengan kilau nakal di matanya.
Tatar menggiling giginya karena kesal. Dua orang ini ya... suka banget mempermalukan orang lain. Nggak lihat orang lagi tengsin apa? Tatar penuh keluhan. Ini semua gara-gara Dolis. Gara-gara permintaan anehnya, ia dua kali kehilangan muka. Ia menata ekspresinya hati-hati, berusaha mempertahankan ekspresi calm dan berwibawanya, "Lekas berangkat! Waktu kita tidak banyak." Ia berhasil meludahkannya tanpa disertai lepasnya kendali diri.
Dee yang merasa dimarahi cemberut, penuh keluhan. Kok gue yang dimarahi? Kan yang bikin masalah mereka. "Hn!" Gumamnya sebagai balasan.
Mereka berangkat paling belakang setelah para junior berangkat ke pos berikutnya. Rombongan bertambah panjang. Dee kembali memilih posisi paling belakang diikuti Tatar.
Sari Tresno yang melihatnya tersenyum nakal. Ia punya bahan bakar gosip baru setelah peristiwa 'Hot' pagi tadi. Ia menoleh ke belakang, sambil jalan mundur. "Hati-hati Dee! Nanti diterkam buaya."
"Dasar kau buaya buntung.. tung.. Pacaran kok dihitung hitung tung... Dasar kau buaya buntung mencari untung.." Timpal Lasminto sambil menyanyi lagu soundtracknya Inul.
Wajah Tatar kian jelek. Giginya digiling kasar hingga terdengar suara gemeletuk. Matanya melotot tajam seolah ingin menembus batok kepala Lasminto dan Sari Tresno. Jika memungkinkan memberinya satu dua pukulan, biar mereka tidak terlalu ringan. "Sabar. Sabar. Orang sabar disayang Allah," katanya pada dirinya sendiri memberi motivasi.
Dee yang digoda tersenyum kecut. Meski dari luar Tatar terlihat memberinya perhatian lebih, namun ia tidak berani mengklaim 100% Tatar ada hati dengannya. Instingnya mengatakan perasaan Tatar padanya hanya berdasarkan nilai baik Dee.
Perjalanan dari pos 3 ke pos 4 relatif singkat. Jaraknya memang tidak terlalu jauh dari pos sebelumnya. Ditambah lagi, sepanjang jalan, mereka terus bercanda, sehingga perjalanannya tidak terasa.
Dari jauh Dolis, berjalan tergopoh-gopoh menyambut mereka. Wajahnya yang biasanya datar, tampak lebih hidup, penuh semangat kali ini. Ia langsung menghampiri Tatar dan meludahkan satu kata tanya, "Bagaimana?"
Wajah Tatar ditekuk masam sebagai bentuk protes. "Save,"
"Baguslah. Selanjutnya serahin semuanya pada gue."
Dee melihat Tatar-Dolis dengan tatapan bingung. Dua orang ini lagi ngomongin apaan, sih? Ngomongin jalannya acara ya? Tapi, kok gue dicuekin? Gue kan juga panitia. Aneh.
Dee lalu melupakan percakapan keduanya karena sibuk memantau para peserta. Saat istirahat siang tiba, ia memilih memisahkan diri. Ia duduk di bawah pohon untuk berteduh. Ia membuka tasnya yang isinya sudah berkurang setengahnya. Tangannya tanpa sengaja menyentuh sebuah buku di dasar tas, tersembunyi dengan baik diantara tongkol jagung dan ubi mentah.
Dahinya mengerut. Seingatnya tadi, ia tidak memasukkan buku ke dalam tasnya. Bukan hanya buku, ia juga tidak memasukkan cemeti dan belati yang bagus yang bentuknya menyerupai kunai ke tasnya. Jangankan memasukkan ke dalam tas, ia bahkan nggak ingat bawa dua benda itu dari rumah. "Jangan-jangan ada yang salah naruh barang. Tapi, siapa? Dari tadi kan hanya gue yang megang tas ini. Aneh." Gumamnya heran. Kerutan di dahinya bertambah banyak.
Ia mengeluarkan buku itu dari dalam tas. Matanya berkilau penasaran pada buku yang ia temukan dari dalam gua. Ditilik dari sampulnya yang sudah menguning dan compang-camping, sepertinya buku ini sudah uzur. Dee mencium aroma kuno. Rasa penasarannya bertambah dalam. Ia buka perlahan halamannya dan hati-hati takut rusak mengingat kertasnya sudah sangat rapuh. Begitu membuka, mata Dee dimanjakan oleh deretan tulisan kuno yang pernah Dee lihat di prasasti masa kerajaan.
Hati Dee bergetar karena was-was. Bagaimana jika buku ini adalah buku peninggalan sejarah Indonesia kuno? Dee bisa ditangkap atas tuduhan mencuri, dong? Tapi... jika benar, kenapa buku ini bisa di dalam tasnya sendiri? Ia ingat kok. Ia sudah memberikannya pada Bu Indah selaku pembina Pramukanya. Tubuh Dee bergidik, teringat rumor yang ia dengar semalam dari percakapan para junior.
"Eh, kalian pernah dengar mitos tentang Gua Terawang nggak?" Tanya Imaniar, junior Dee dari SMUDA melempar wacana.
"Apa?" Tanya Eros yang juga berasal dari sekolah yang sama.
"Katanya di Gua Terawang tersimpan sebuah buku kuno yang jadi penghubung mesin waktu. Dengan buku itu, kita bisa menjelajah waktu lampau maupun masa depan."
"Ah, bercanda loe? Mesin waktu mana ada?" Tukas Agus yang dari STM tidak percaya.
"Yei, gue kan tadi dah bilang mitos." Bela Imaniar.
"Gue malah dengernya beda. Katanya, di Gua Terawang ada lorong waktu yang akan membawa orang ke masa lalu atau masa depan. Beruntung bagi yang bisa kembali. Jika tidak, selamanya ia akan terjebak di masa antah berantah itu." Kata Dodot menambahkan.
"Ih syerem, ah. Jangan ngomongin itu lagi! Pamali." Tegur Asnawi yang memang paling penakut di tim itu.
Gimana kalau yang dimaksud mereka itu, 'Ini'? Jantung Dee berdesir. Mendadak tubuhnya menggigil. Ia cepat-cepat menyimpannya kembali ke dalam tasnya. Mungkin, ia bisa memberikannya pada penduduk desa yang lewat agar memberikannya pada Pak Kades untuk diteliti.
Ia lalu mengambil bekalnya dan makan beberapa suap untuk menenangkan perutnya yang keroncongan. Ia mengakhiri makan siangnya dengan meminum air beberapa teguk. Rasanya menyegarkan dan manis.
SKIP TIME
Di waktu yang sama di dalam kegelapan, seorang pria dewasa berusia sekitar 40 tahun membuka matanya. Tubuhnya menggigil karena kebahagiaan. "Dia tidak jauh dari sini. Aku bisa merasakannya. Buku Sabdo Sang Hyang juga ada bersamanya. Kebetulan sekali. Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Aku bisa menyingkirkan 'manusia yang ditakdirkan' yang jadi musuhku dan sekaligus memiliki buku Sabdo Sang Hyang untuk diriku sendiri." Kata pria itu dengan senyum kepuasan di bibirnya. Ia mengelus janggutnya yang panjangnya sedada puas akan keberuntungannya hari ini.
Pria itu berdiri tegak, meregangkan otot-ototnya yang kaku karena terlalu lama bertapa menunggu munculnya buku Sabdo Sang Hyang selama berabad-abad lamanya. Hampir setengah milineum. Meskipun, ketua sudah memberi tahukannya jauh-jauh hari 'Nubuat Illahi' ini, namun ia tak percaya. Sebelum ia melihatnya secara langsung, ia tidak akan percaya. Dan, sekarang, indranya menangkap pancara magis buku sakti itu, siapa yang tidak akan tenggelam dalam kebahagiaan.
"Aku harus menemukannya secepatnya. Jangan sampai didahului yang lain!" Ujarnya bermonolog. Ia secara sadar mengabaikan peringatan ketua tentang tidak boleh menyentuh orang terpilih itu sebelum dia memasuki buku. Semua itu omong kosong. Ia tak percaya ia Ki Sapu Jagat yang terkenal di seluruh kawasan Alas Bonggan bisa kalah dari bocah ingusan yang baru belajar merangkak.
Ki Sapu Jagat layak jumawa, menyombongkan dirinya sendiri. Ia adalah kinasih Nyi Suketi, Ketua Padepokan Harimau Loreng. Sang guru telah mewariskan hampir seluruh kesaktiannya padanya. Di samping itu, ia juga telah menempa dirinya dalam tapa brata maha berat, melakukan pati geni, untuk mencari wahyu kesaktian baru. Berkat lelaku yang dijalaninya, ia dianugerahi ilmu Barongan yang tak tertandingi dan membuat saudara-saudaranya hijau karena iri. Wajar jika ia memandang sebelah mata manusia lemah yang bahkan tidak pernah belajar ilmu kanuragan sebelumnya.
Ki Sapu Jagat merapal mantra. Asap putih muncul menutupi seluruh tubuhnya, ketika asap itu menipis dan lalu hilang, ia telah berubah menjadi Barongan yang nggegirisi, menyeramkan. Tubuhnya bagian bawah masih sama, tapi kepalanya menyerupai kepala harimau. Mulutnya lebar dan sobek hingga mendekati telinga. Giginya tajam dan juga runcing. Dua pasang taring tampak menonjol keluar. Terlihat mengerikan ketika ia menyeringai. Matanya besar dan menonjol keluar. Rambutnya awut-awutan, gimbal seperti tidak pernah di sisir.
"Graooo!" Raungnya menggeram. Kepalanya mendongak ke atas, memanjatkan puja pada sang Dewi Malam yakni bulan yang ia sembah. Setelah itu, ia menghilang dalam kepulan asap. Tempat itu kembali hening.
SKIP TIME
Saat sedang beristirahat, Ruri menghampiri Dee, entah apa maunya orang ini.
"Kita nanti potong kompas biar cepat sampai ke tempat kita kemah. Tatar dan yang lain sudah sepakat." Kata Ruri memberi tahu.
Oh jadi itu maksudnya. Dee menganggukkan kepala sebagai respon. Ia terlalu malas untuk bicara dengan orang yang satu ini.
"Kamu masih sanggup berjalan?" tanyanya sok perduli. Memang apa urusannya ia masih sanggup jalan atau enggak? Memang ia mau menggendongnya gitu jika ia kepayahan? Dee mengacuhkannya. Dengan sengaja pakai headset untuk memblok percakapan dengan Ruri.
Wajah Ruri menjadi jelek. Ia tidak mengharapkan akan dianggap tamu lewat yang tidak penting oleh mantannya. "Kamu masih sanggup berjalan?" Ulangnya, siapa tahu Dee tidak dengar.
Meski mereka sudah putus dan ia melakukan sesuatu yang buruk pada mantan kekasihnya ini, ia tak memungkiri sudut hatinya ia masih perduli padanya. Ia sendiri juga tak mengerti. Ia selalu merasa ada Dee di sudut otaknya, walaupun sekarang ada Astri di sisinya. Ia sebenarnya tak ingin putus, tapi ia juga tak sanggup meninggalkan Astri, cewek yang diam-diam ditaksirnya semenjak diperkenalkan oleh Dee kala awal masuk SMU dulu.
Ini sulit. Dee terus mengabaikannya semenjak ia memergoki dirinya sedang berciuman dengan Astri. Sejak itu mereka tak lagi bertegur sapa. Entah mengapa ia merindukan suara Dee yang berisik dan cempreng abis. Ia rindu senyum manis Dee yang eksklusif hanya untuknya. Seandainya ia mengakhiri hubungan mereka dengan baik, mungkin saja ia masih bisa berteman dengan Dee. Mungkin. Entahlah. Hati Ruri bimbang.
Setelah mengatakan keperluannya, Ruri kembali duduk di samping Astri yang sedang tersenyum manis untuknya tak jauh dari tempat Dee istirahat. Ia tak pernah tahu kalau itu terakhir kalinya ia bicara dengan Dee.
Baru saja Dee mau istirahat, ia dikejutkan dengan suara langkah malu-malu Isti, teman baiknya di SMP dan juga Ruri. "Ada apa? Kamu ada masalah?"
"Tak usah pura-pura sok perduli. Itu memuakkan."
"Sorry Dee. Gue emang nggak peka. Tapi gue mau bilang elo gak sendiri. "
Dee secara sadar mengabaikan kata-kata bulshit Isti. Pura-pura perduli padanya sedangkan faktanya ia mengabaikan perasaannya. Ia tak perduli dengan sakit hatinya dan tetap selalu berusaha membuat hubungannya dengan Ruri tidak renggang. Seolah masalah perselingkuhan adalah masalah paling sepele sedunia. Udah gitu, ia selalu mengusulkan agar Dee sekelompok dengan Ruri pula. Siapa yang percaya kata-kata 'elo gak sendiri' darinya?
Kalau mau bejat ya bejat aja. Nggak usah sok baik. Munafik tahu. Masih mending Tatar. Ia berhati hitam, mulutnya berbisa, tapi ia lugas di permukaan. Tidak punya niat tersembunyi seperti Isti.
Dee memalingkan wajahnya, menatap gemericik air di bawah sana. Ia menjulurkan lehernya untuk melihat ke bawah. Ia berfikir, jika jatuh pasti sakit tuch. Pasti akan ada tulang yang patah. Itu pun jika tidak mati dengan tengkorak kepala yang pecah duluan. Memikirkan hal itu membuat Dee parno sendiri. Ia beringsut menjauhi tebing setinggi 3 meter.
Sraak! Sebuah suara mengusik keheningan yang Dee sukai. Ia menghela nafas lelah. "Apalagi sih? Bisa nggak sih elo biarin gue tenang?" Katanya lelah tanpa membalikkan badan.
"Graooo!" Sebuah auman harimau menjawab keluhan Dee.
"Eh," gumam Dee tersentak. "Seperti suara auman harimau. Tapi, bukannya harimau adanya hanya di kebun binatang? Di sini mana ada? Jangankan harimau, monyet pun sekarang sudah tak ada di hutan kawasan Gua Terawang." Ujarnya bermonolog. Ia menoleh ke belakang. Matanya membulat sempurna. Untuk sesaat, ia terkejut. Sebelum tenang kembali. Ini pasti temannya yang tengah jahil, ingin mengerjainya.
Dee cemberut. Dengan langkah yang dihentakkan kesal, ia menghampiri makhluk tersebut. "Elo tuh apa-apaan sih Tar? Nggak lucu tahu." Keluhnya tanpa basa-basi. "Tadi aja bilang, gue boros, buang-buang tenaga bawa tas segede gentong. Lah elo sendiri bawa barang ginian," imbuhnya mencibir.
Tatar atau orang yang ia kira Tatar karena ciri fisiknya yang mirip, yakni tinggi, ramping, dan suka jahatin Dee. "Lepas gih! Elo tuch nggak pantas pakai yang beginian," ia berkata sambil berusaha melepas kepala Barongan.
"Grr..!" Geram pria dengan kepala Barongan. Ia menepis lengan Dee kasar. Ia melangkah maju ke depan mengintimidasi Dee.
Dee yang melihat situasinya mulai di luar kendalinya, hatinya was-was. Ia selangkah mundur, berusaha menjaga jarak. "Elo mau apa?" Tanyanya panik.
Dia tidak menanggapi. Ia justru terus mendesak Dee mundur hingga ke bibir jurang sedalam 10 meter dan curam. Begitu jatuh, ia selesai. Minimal koma. Dee dilanda panik. Wajahnya pucat sepucat kapas. Tubuhnya menggigil. Thump! Thump! Thump! Jantungnya berdentam kuat hingga membuat nafasnya memburu. Lalu, refleks bertahan hidupnya mengambil alih kendali tubuhnya. Ia mencengkram erat batang pohon untuk menyeimbangkan tubuhnya dan mencegah laju kejatuhannya.
"Elo jangan gila, Tar! Di bawah ada jurang." Dee mencoba membujuk sosok yang ia kira Tatar.
Sosok tersebut tak menggubrisnya. Ia merajutkan kedua alisnya heran. Ia masih bertahan. Pikirnya heran. Gadis ini adalah makhluk fana yang lemah. Dengan satu dorongan kecil, seharusnya ia sudah terlempar ke dalam jurang. Tapi ia tidak. Kenapa ya? Mata merah itu berkedip memindai tubuh Dee. Ia berhasil menangkap senjata semi ilahi tersembunyi di tubuhnya, melindungi gadis itu dari kekuatannya yang merusak. Secuil energi spiritual yang ia kenal melekat erat pada senjata semi ilahi itu.
Ia meraung marah. Graooo... "TATSAKA!" Raungannya melolong tinggi, tapi tidak satu pun dari teman Dee yang mendengarnya. Hanya Dee dan hewan-hewan yang menangkap suara lolongannya.
Tubuh Dee menggigil ketakutan. Kakinya berubah seperti jelly yang lunak. Hampir tidak bisa menopang tubuhnya. Kukunya menusuk ke dalam lapisan kulit hingga serpihan kulit kayu menusuk ke dalam kuku. Sakit tak tertahankan, tapi tidak dirasa oleh Dee karena indranya mati rasa.
Dee menghisap udara dingin, menyadari hal-hal tidak lagi normal. Ada yang aneh dari orang ini yang membuatnya ingin menjauh sejauh mungkin. Yang jelas dia bukan Tatar bukan pula temannya yang berniat jahil padanya. Ia meneguk ludahnya susah payah. Sosok ini mungkin makhluk halus penghuni hutan. Jika dia orang normal seharusnya teman-temannya menyadari raungannya.
"Tolong! Semuanya tolong!" Jerit Dee putus asa, berharap teman-temannya menyadari kondisinya yang ganjil. Sesuai perkiraannya, tak ada yang mendengar, seolah dimensi Dee terpisah dari teman-temannya. Dee yang ketakutan hanya ingat satu hal dan itu adalah Allah, kekuatan Maha Tinggi di atas kekuatan lainnya. "Allah! Allah!" Sebutnya pasrah.
"HENTIKAN!" Raungnya marah merasakan tekanan kuat pada tubuhnya. Kekuatannya begitu kuat mirip kekuatan seorang pendekar berilmu tinggi yang sangat sakti mendekati kemampuan Dewa. Ia jadi tidak sabaran dan mengirimkan angin penyayat yang mendorong tubuh Dee ke dalam jurang.
Dee berusaha bertahan di tengah cabikan pisau angin, tapi tubuh terus mundur, terdorong ke belakang hingga kakinya menyentuh pingggir tebing. Sraakkk.. Suara gemerisik batu kerikil diinjak-injak oleh kakinya, berguguran di bawah tebing. Kekuatan itu tak berhenti mendorongnya membuat tangan Dee terlepas dari batang pohon. "Gyaa..!" Jeritnya histeris. Jantungnya seperti melompat, ketika kakinya terpeleset jatuh menggantung di udara. Ia menggaruk kukunya ke dalam tanah, berusaha mencengkram apapun yang bisa ia jadikan pegangan.
Sosok itu menyeringai puas. Ia lalu memberi dorongan terakhir yang membuat tanggul akar yang tumbuh menonjol di atas tercerabut. "Ha ha ha!" Tawanya menggelegar puas. Akhirnya. Akhirnya ia bisa menghabisi Yang Terpilih dan sekaligus merampas Buku Sabdo Hyang. Satu kali kerja dua hasil.
Tubuh Dee merosot ke bawah tertarik oleh gaya gravitasi bumi. Dee gelap mata, tak lagi bisa berfikir jernih. Seperti kecoa, ia berjuang hingga titik darah penghabisan dengan memanfaatkan segala yang ada. Tangannya berhasil meraih akar yang menjulur keluar ke jurang. Ia bergantung pada akar dengan sebelah tangan. Sebelahnya lagi berjuang merayap ke atas.
Saat kepalanya menyembul ke atas, matanya bertemu mata merah makhluk halus yang ingin membunuhnya. Dadanya berdesir. Lalu, tenang setelah menyebut nama Allah. Bahkan, meski sosok menakutkan itu menginjak tangannya tubuhnya merosot turun ke dalam jurang, ia masih damai. Sebelum tubuhnya terhempas, tangannya mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Dee tak tahu benda apa itu dan bagaimana ia memperolehnya, ia hanya tahu benda itu adalah tali penyelamatnya. Ia mengayunkannya ke udara. Ujung cemeti menyentuh tubuh makhluk halus itu.
Ctarrr! Suara cambukan terdengar keras merobek dimensi pemisah antara dimensi real dengan dimensi ciptaan Ki Sapu Jagat.
Tatar sudah beranjak dari tempat duduknya berniat memimpin sebagian rekannya kembali ke lokasi camping, ketika terdengar suara gemuruh kencang seperti gempa. Ia menoleh ke arah Dee asal suara gemuruh. Kepalanya tersentak kuat. Selanjutnya semua berputar cepat. Secepat kilat ia berlari ke arah Dee dengan wajah pucat pasi.
Belum pernah Tatar setakut ini. Di sana ia melihat tanah yang jadi alas duduk Dee terbelah jadi dua, menarik sang empunya ke dalam lubang yang menganga lebar. Sekuat tenaga ia berusaha menarik lengan Dee, sayangnya terlambat. Lubang itu terlanjur menarik tubuh mungil itu. "Dee.." teriaknya histeris. Ia melongok lubang nan dalam yang tercipta yang telah menelan tubuh salah satu temannya.
Semua orang tak beranjak dari posisi karena masih syok ditambah lagi kejadiannya begitu cepat. Saat sadar Dolis segera menghampiri Tatar. Ia ikut melihat lubang nan dalam itu. Ia menyorotkan lampu senter yang tak pernah absen dibawanya. Cahaya lampu senter tak cukup menggapai dasar lubang itu.
Buruk ini sangat buruk. Kecil kemungkinan Dee masih hidup. Tapi harapan tetaplah harapan. Dengan tegar ia memberi intruksi beberapa temannya menggantikan Tatar yang syok berat karena kejadiannya tepat di depan matanya.