Lamanda akan terus mengingat hari ini. Hari dimana seorang Kalka secara tidak langsung menunjukkan seberapa besar rasa sayangnya terhadap dirinya. Semenjak pulang dari Amerika, ia hanya melihat Kalka marah besar sebanyak dua kali. Pertama, pada saat ayahnya menampar dan menghina bundanya.
Dan yang kedua adalah sore ini saat Liora tiba-tiba saja menghampirinya di halte, menanyainya tentang kecelakaan Alta, lalu menamparnya begitu saja setelah ia mengatakan yang sebenarnya.
Sehingga Kalka yang baru saja sampai di depan halte sekolah langsung turun menghampirinya. Menariknya menjauh dari Liora lalu menatap tajam Liora yang mendadak diam.
"Aku udah bilang sama kamu jangan bikin aku punya alasan buat aku benci kamu! Sekarang maksud kamu apa nampar Lamanda?!"
Lamanda mencengkram lengan Kalka. Di depan mereka, Liora bungkam.
Kalka berdecak. Sekali lagi ia melihat Liora yang masih enggan buka mulut.
"Jangan kira karena aku masih cinta sama kamu, aku bakal diem aja lihat kamu seenaknya nampar dan mukulin adik aku!!"
Mendengar pengakuan Kalka, Lamanda melihat wajah lelaki itu memerah. Tipikal Kalka jika marah, raut lembut yang biasa tampak di wajah lelaki itu menguap begitu saja.
"Jangan diem aja, Ra!! Jawab!!" bentak Kalka lagi.
Liora yang menunduk akhirnya berani bersitatap dengan Kalka. "Dia bikin Alta kecelakaan!!"
"Maksud kamu apa?"
"Alta kecelakaan sepulang dari rumah dia! Kalau aja dia nggak biarin Alta pulang hujan-hujanan, Alta pasti nggak kecelakaan."
"Sejak kapan kamu jadi picik gini? Kamu nggak tahu apa-apa jadi berhenti berasumsi sembarangan. Lagian, apa urusannya sama kamu?"
Liora tersenyum sinis. "Gue cinta Alta."
Jelas ada gelayar aneh ketika Liora mengatakan hal itu. Kalka merasakan punggung dan dadanya memanas.
"Alta pacar kamu?"
Liora tidak menjawab. Kalka mengalihkan pandangan pada Lamanda seakan meminta penjelasan.
Lamanda menunduk.
Kemudian Kalka kembali memandang Liora. "Raa?" panggil Kalka.
"Gue sama Alta emang nggak pacaran. Tapi, gue cinta sama Alta!! Dan dia.." Liora menatap Lamanda penuh benci." Dia nggak boleh deketin Alta!!"
"Ini bukan Liora yang gue kenal," ucap Kalka lalu memandang ke arah lain. Apapun itu asal jangan mata Liora yang mulai tergenang air mata. "Apa yang bikin kamu beda?"
"Lo," jawab Liora. Hal itu menarik Kalka untuk kembali menatap Liora.
"Dulu lo pacarin gue dan bikin gue cinta ke lo tapi kenyataannya lo cuma jadiin gue pelarian. Lo ke gue cuma waktu lo bosen dari Alinka. Lo nganggep gue cuma selingan sedangkan gue nganggep lo segalanya!! Gue--"
"Raa," sela Kalla.
"Apa?!!" Pertahan Liora hampir saja runtuh ketika suaranya benar-benar terdengar bergetar.
Kalka menarik napas panjang. Kali ini ia menatap Liora lembut. "Maaf, karena aku udah nyakitin kamu. Jadiin kamu pelarian dan datengin kamu cuma disaat aku butuh."
Kalka memandang ke arah leher Liora. Ia tersenyum kecil ketika melihat kalung yang melingkar disana.
"Kamu beda, Ra. Aku tahu Alinka benci banget sama kamu karena menurut dia kamu blagu, songong, dan sok berkuasa. Tapi, menurut aku.. kamu cuma jadiin hal itu tameng buat nutupin diri kamu sebenernya."
"Ada sisi lain yang membuat aku perlahan cinta ke kamu. Waktu dimana perasaan aku ke kamu semakin berada di titik teratas, aku ngerasa egois kalau aku nggak pilih salah satu antara kamu dan Alinka."
"Waktu itu... aku udah yakinin diri aku. Dan...milih kamu," ujar Kalka kemudian kembali menatap Liora.
"Tapi telat. Kamu udah milih pergi dan ngebenci aku bahkan sebelum aku ungkapin perasaan aku yang sebenarnya. Tapi aku maklum, mungkin itu karma buat aku," ucap Kalka sambil tersenyum.
Tidak mendapat respon berarti, Kalka meraih kedua bahu Liora. "Jadi, sekarang kamu cinta sama Alta?"
Liora diam. Ia tidak menjawab.
"Oke." Kalka mengangguk paham. "Rasanya percuma aku nyoba perbaikin semuanya kalau hati kamu udah kamu jatuhin ke orang lain," mengusap pipi Liora, Kalka kembali bicara. "Kamu berhak bahagia. Kalau kamu cinta Alta, buat dia cinta kamu dengan cara yang baik tanpa nyakitin siapapun. Kalau kamu ngerasa Lamanda saingan kamu. Mulai sekarang bersaing yang sehat sama dia."
Lalu Kalka menepuk pundak Liora. "Sekarang kamu bebas. Aku nggak akan ganggu kamu lagi. Nggak akan minta harapan lagi. Aku...aku lepas kamu, Ra."
Rasanya cukup adil ketika Kalka melepas Liora. Tidak banyak berharap dan mengganggunya lagi.
Sedangkan Liora masih menetralkan perasaanya. Kalka mulai berbicara lagi. "Gue balik duluan."
Gue?
Tanpa sepengetahuan keduanya, pertahanan Liora runtuh.
Ia menggeleng.
Sebagian dirinya mendoktrin bahwa...
bukan ini yang ia mau.
***
"Gue nggak nyangka lo beneran pernah pacaran sama Liora," ujar Lamanda saat mereka sudah berada di mobil menuju rumah sakit.
"Gue juga nggak nyangka," balas Kalka.
Lalu Lamanda memilih untuk tidak membahas hal sensitif itu lagi. Menurut Lamanda hal itu sudah menjadi pilihan Kalka yang penting sekarang, semuanya sudah Kalka selesaikan.
Lamanda memilih melihat roomchatnya dengan Raskal yang menunjukkan letak kamar Alta dirawat. Ia seakan larut dalam kemungkinan-kemungkinan yang ada dipikirannya dan mengabaikan puluhan chat beruntun Raskal lainnya.
"Udah sampe," ujar Kalka.
Lamanda melihat ke depan. Bangunan dominan putih berdiri kokoh di depannya. Ia baru sadar jika sudah sampai di parkiran rumah sakit.
Mereka akhirnya turun dan menuju lobi dengan cepat karena gerimis mulai turun. Tanpa perlu bertanya, keduanya langsung menuju lantai dua sesuai arahan dari chat Raskal.
Koridor yang mereka lewati lumayan ramai oleh pengunjung yang duduk di luar. Namun, semakin ke ujung koridor, suasana semakin lengang. Lamanda berbelok di pertigaan lorong. Saat matanya menangkap sosok yang ia kenali, ia mempercepat langkahnya.
"Kak Kendy," panggil Lamanda bahkan sebelum tiba didepan lelaki bernama Kendy tersebut.
Kendy yang sejak tadi fokus pada ponselnya menoleh. Meskipun terlihat sangat tidak tepat untuk tersenyum, lelaki itu memilih tersenyum.
"Apa kabar?" tanya Kendy saat Lamanda sudah didepannya.
"Baik," jawab Lamanda.
Kendy melihat Kalka yang baru saja tiba di dekat Lamanda. "Lo ngapain bawa kacung segala kesini, Al?" gurau Kendy yang dibalas umpatan oleh Kalka. Lalu Kendy tertawa.
"Mau jenguk dia?" tanya Kendy setelah tawanya reda. Ia mengedikkan dagu ke arah pintu.
Lamanda mengangguk. Terdengar helaan napas dari Kendy. Lalu Kendy menepuk pelan pundaknya, beberapa kali.
Setelah itu, Kendy menuntun Lamanda untuk mendekat. Ia berbalik dan membuka pintu perlahan.
Decitan pintu terdengar jelas karena suasana hening membuat penghuni di dalamnya refleks menoleh saat ketiganya memasuki ruangan dingin dan wangi tersebut.
Lalu semuanya bersitatap satu sama lain.
Lamanda merasa bahwa dunianya berhenti berputar ketika ia melihat keadaan didepannya dan matanya bertubrukan dengan mata seseorang. Ia merasakan tubuhnya meluruh jika saja Kalka tidak menahannya.
Bahkan Lamanda lupa caranya bernapas karena pikirannya terpusat pada satu hal yang membuatnya seperti membeku dan tidak bisa bergerak sekarang.
Kemudian, dengan sisa tenaga Lamanda menoleh memandang Kendy. "Kak Ken?"
Hanya dua kata itu yang sanggup keluar dari mulut Lamanda. Dua kata yang mewakili semua pertanyaan di benaknya. Dengan perasaan berkecamuk, ia berjalan mendekat ke arah brankar.
Lamanda menutup mulutnya dan menahan air matanya untuk tidak keluar. Sekarang, ia merasa bahwa dunianya benar-benar berhenti.
"Al.."